Pemerintah jangan ambigu. Indonesia adalah negara cinta damai, seperti tersirat dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia seharusnya bisa menjadi obor peradaban dunia lewat adat dan budayanya yang kaya.
Oleh
Adjie Suradji
·4 menit baca
Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo menjelang peringatan 75 tahun proklamasi kemerdekaan, Agustus lalu, sungguh keras. ”Jangan ada yang merasa paling benar sendiri, yang lain dipersalahkan. Jangan ada yang merasa paling agamis sendiri. Jangan ada yang merasa paling Pancasilais sendiri. Semua yang merasa paling benar dan memaksakan kehendak, itu yang biasanya malah tidak benar!”
Proklamasi 1945 adalah pernyataan kehendak bangsa menentukan nasib sendiri; berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Namun, 75 tahun Indonesia merdeka, ini masih menjadi mimpi.
Tiga virus mematikan
Suasana peringatan proklamasi tahun ini sungguh berbeda. Pandemi Covid-19 akibat virus korona baru yang disebut SARS-CoV-2 membuat ulang tahun kemerdekaan yang biasanya diperingati dengan meriah berlangsung dalam kesederhanaan.
Namun, benarkah hanya faktor Covid-19 yang membuat ”pekik merdeka” pada peringatan 75 Indonesia merdeka ini terasa hambar?
Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo menjelang peringatan 75 tahun proklamasi kemerdekaan, Agustus lalu, sungguh keras.
Faktanya, Indonesia tengah dihadapkan pada tiga ”pandemi virus” yang mematikan. Pertama, Covid-19 yang telah menyebabkan lebih dari 7.750 orang meninggal. Kedua, virus ideologi radikal kelompok intoleran. Ketiga, virus big problem syndrome.
Tulisan ini fokus pada virus big problem syndrome karena virus korona baru pemicu Covid-19 sudah banyak dibahas, demikian pula dengan virus ideologi radikal.
Big problem syndrome atau sindrom persoalan besar adalah politik kebohongan dan pembiaran persoalan kemanusiaan yang diidap aparat pemerintah. Terminologi big problem syndrome ada dalam naskah akademis; Propaganda and Credulity karya ilmiah Andrew Little, profesor di Cornell University, Ithaca, New York, dipublikasikan 2015.
Setara Institute mencatat, sepanjang periode pertama pemerintahan Joko Widodo (November 2014-Oktober 2019) terjadi 846 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB).
Pelanggaran KBB dilakukan oleh kelompok intoleran yang berideologi radikal, baik oleh aktor non-negara (organisasi massa/ormas keagamaan, warga, hingga tokoh agama dan forum keagamaan) maupun aktor negara dalam bentuk peraturan daerah bernuansa keagamaan, pemerintah desa, hingga militer/polisi dan lembaga peradilan.
Jenis pelanggaran meliputi pelarangan ibadah atau mendirikan, merenovasi tempat ibadah, perusakan atau pembakaran tempat ibadah, persekusi, diskriminasi, hingga larangan aktivitas keagamaan.
Karena itu, merdeka dalam arti seutuhnya yang mewadahi empat dimensi; fisik, mental, sosial emosional, dan spiritual (Bung Hatta: Brosur ”Ke Arah Indonesia Merdeka”, 1932), sesungguhnya belum terjadi di Tanah Air hingga hari ini.
Pelanggaran KBB adalah propaganda kaum puritan yang secara faktual merapuhkan kebinekaan dengan sangat kasatmata. Pelanggaran KBB mengindikasikan menguatnya ekspresi konservatisme dan narasi intoleransi.
Peristiwa di Solo (Sabtu, 8/8/2020) berupa pembubaran acara midodareni adalah bukti pelanggaran oleh aktor non-negara (ormas), direspons oleh aktor negara (polisi) dengan pembiaran (big problem syndrome), sehingga aksi anarkistis terus berlangsung.
Pelanggaran KBB mengindikasikan menguatnya ekspresi konservatisme dan narasi intoleransi.
Posisi strategis
Indonesia yang kaya sumber daya alam sebenarnya jadi daya tarik investor asing untuk tujuan ekonomi. Di sisi lain, Indonesia dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia juga menjadi daya tarik bagi ”juru dakwah agama”.
Sayang, tak semua ”cara” dan materi ”dakwah” bisa diterima dan bersesuaian dengan adat istiadat atau budaya bangsa Indonesia. Pengeboman Candi Borobudur (1985), bom Bali (2002 dan 2005), pembakaran wihara dan kelenteng di Tanjung Balai (2016), perobohan patung Dewa Kwan Sing Tee Koen (2017), hingga lebih dari 200 gereja yang disegel, dirusak, dan dibakar dalam 10 tahun terakhir, serta penyegelan makam Sunda Wiwitan (2020) adalah bukti terjadinya pemaksaan kehendak dalam dakwah.
Kebangkitan Islam politik semakin menumbuhsuburkan intoleransi. Ini sangat mengerikan karena ketika toleransi menjadi delusif, maka kebencian berlatar agama tak ragu lagi akan menindas orang (agama) lain, memunculkan sikap bengis, represif, hingga mengafirkan orang.
Sebenarnya, telah muncul kesadaran bahwa dogma dan doktrin Islam telah disalahgunakan oleh ”oknum” berjubah agama. Islam telah dijadikan alat politik dan simbol untuk mencari keuntungan materi sekaligus alat devide et impera, membelah bangsa secara sosial dan politik.
Islam telah dijadikan alat pembenci budaya bangsa dan Tanah Air mereka sendiri (Indonesia) lewat jargon ”tak Islami”. Yang semakin memprihatinkan, virus radikal ini telah memapar kaum muda.
Yang mengkhawatirkan, bahkan setelah 75 tahun merdeka, propaganda kaum puritan ini dibiarkan aktif oleh negara. Padahal, anak bangsa yang secara spiritual terjajah dan menjadi korban jumlahnya semakin banyak.
Sikap ambigu pemerintah semakin membuat virus big problem syndrome bekerja sangat efektif. Bagaimanapun meski lewat propaganda dakwah, ini bisa digolongkan sebagai imperialisme. Apalagi disertai dengan kekerasan.
Indonesia adalah negara cinta damai, seperti tersirat dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia seharusnya bisa menjadi obor peradaban dunia lewat adat dan budayanya yang kaya. Namun, dengan virus-virus yang dibiarkan negara menginfeksi, apakah kedamaian, adat, dan budaya bangsa Indonesia bisa terus terjaga? Atau justru akan punah seperti di Suriah? Semua berpulang kepada kita, bangsa Indonesia, untuk menjaga keberagaman dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Jangan merasa benar sendiri.
(Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan)