Pernahkah Anda menghormati diri Anda sendiri? Kalau jawaban Anda untuk pertanyaan itu adalah pernah, apa bentuk penghormatan itu?
Oleh
Samuel Mulia
·4 menit baca
Saya percaya bahwa dalam hidup Anda, Anda tahu arti penghormatan dan melakukannya. Penghormatan pada sang saka merah putih, dari sejak zaman sekolah dulu, misalnya. Penghormatan terhadap orang tua, perkawinan, terhadap atasan, bawahan, dan sebagainya.
Akan tetapi, pernahkah Anda menghormati diri Anda sendiri?
Kalau jawaban Anda untuk pertanyaan itu adalah pernah, apa bentuk penghormatan itu? Apakah bentuknya menjaga kesehatan, baik menjaga asupan makanan, berolahraga, dan memeriksa kesehatan secara rutin ke dokter? Apakah berhenti melakukan perusakan terhadap diri sendiri dalam berbagai bentuknya?
Apakah Anda melakukan perawatan tubuh? Ke salon dengan rutin, potong rambut tepat waktu, merias wajah dengan sempurna, menata rambut seperti helm, sehingga tidak bergerak ditiup angin, mencegah agar badan tak berbau. Apakah begitu?
Mengapa saya menanyakan pertanyaan di atas pada hari di mana Anda sedang bersantai, pada waktu yang tepat untuk mengistirahatkan raga dan pikiran?
Begini ceritanya. Beberapa waktu lalu saya menjadwalkan untuk membersihkan tempat tinggal saya di lantai 15 itu. Untuk saya, membersihkan itu bukan hanya membersihkan debu, menyapu, kemudian mengepelnya. Membersihkan itu, selain ketiga hal di atas, juga termasuk membongkar dan membuang barang-barang yang sudah tak diperlukan atau tak pernah digunakan lagi. Termasuk menurunkan baju-baju yang sudah tak pernah dikenakan lagi.
Acara membongkar itu termasuk juga melihat kembali barang-barang lama seperti buku-buku, album foto, misalnya. Kalau sudah begitu, acara bersih-bersih itu biasa berlangsung hingga enam jam.
Dengan melihat buku-buku itu, saya seperti memiliki waktu untuk membacanya kembali. Kadang acara bersih-bersih itu bisa terhenti sekian menit, karena saya terpancing untuk membaca buku yang lama tak tersentuh itu.
Demikian juga saat melihat kembali foto-foto lawas. Saya dipicu untuk mengenang peristiwa yang sudah lama dan tak bisa diulang kembali. Jadi, semacam bernostalgia sesaat.
Nah, saat melihat foto-foto lawas itulah, dua foto memperlihatkan saya sedang mengenakan pakaian super minim yang mengabadikan ketelanjangan. Saat saya melihat kedua foto itu saya sampai mengatakan: ”Aku tu pernah segila ini, ya?”
Tak senonoh
Kedua foto itulah yang menginspirasi saya menulis dan menginspirasi saya untuk mengajukan beberapa pertanyaan di atas. Apakah saya pernah menghormati diri saya sendiri? Kalau melihat dua foto itu, bisa saya katakan pada masa itu mungkin saya tak mengerti soal menghormati diri sendiri, khususnya menghormati raga dan menghormati perilaku.
Di masa itu saya juga tak mengerti bahwa dengan foto yang nyaris menggambarkan ketelanjangan itu, saya telah tidak menghormati orangtua saya yang telah melahirkan dan tak pernah mendidik saya untuk menjadi anak yang dengan seenaknya mempertontonkan ketelanjangan dan tidak menghormati tubuhnya.
Dari dua foto itu, saya kemudian bertanya pada diri saya sendiri. Bagaimana saya mau dihormati orang lain kalau saya sendiri tak mampu menghormati diri dan raga saya sendiri? Bagaimana saya berhak untuk merasa tersinggung dengan perkataan orang kalau mereka mengatakan saya seperti orang tak punya nurani dan bejat, kalau saya yang punya badan saja tidak berkeberatan menjadi bejat?
Bagaimana saya menuntut orang untuk menghormati saya, lha wong saya sendiri tak merasa keberatan melakukan sebuah perbuatan yang membuat orang mencibir dan tidak menghormati saya?
Bagaimana saya dengan tidak malu melakukan pembelaan diri dengan mengatakan bahwa foto tak senonoh itu atau perbuatan yang tak senonoh itu adalah hak saya untuk melakukan apa pun terhadap tubuh saya, dan sama sekali bukan untuk bercita-cita menjadi tak bermoral.
Kalau sekarang ini saya mengunggah foto-foto setengah telanjang saya, kalau saya mempertontonkan gaya yang sensual dan mengundang pada akun media sosial saya, sehingga yang menyukai dan mengikuti akun saya bertambah jumlahnya, lalu saya menjadi salah satu selebgram dengan ketelanjangan saya, apakah saya tak bermoral?
Apakah saya menjadi seperti seorang yang sedang menjajakan raganya, yang melacurkan tubuhnya, dan tidak menghormati eksistensi sebagai manusia yang memiliki akal sehat?
Setelah sekian jam membersihkan apartemen yang mirip sangkar burung itu, saya kemudian berbicara sendiri. Mungkin masalahnya bukan soal mengunggah foto yang mengundang atau melakukan perbuatan yang tak senonoh. Mungkin itu bukan soal hak. Akan tetapi, yang utama adalah ketika saya berani jujur kalau sejak awal, apa yang saya lakukan itu memang saya sadari adalah sesuatu yang tak senonoh. Saya memang bersikeras untuk menjadi tak senonoh.
Kalau sudah begitu, sebaiknya saya diam saja, dan tak perlu memaksa orang untuk menghormati saya.