Supremasi negara dengan kontrak fiskal baru bisa terwujud jika pemerintah bersedia membuka diri, bergandengan dengan masyarakat sipil, dan warga negara berpartisipasi dalam membantu membangun budaya politik kondusif.
Oleh
Yuna Farhan
·5 menit baca
Dalam situasi krisis tak menentu, ketergantungan warga kepada negara semakin tinggi. Instrumen fiskal jadi kunci mengatasi krisis yang masih jauh dari selesai. Ratusan triliun rupiah tengah dipertaruhkan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN demi menyelamatkan nyawa dan kehidupan warga.
Berbagai langkah dilakukan. Halangan aturan dan birokrasi dihilangkan, fleksibilitas dan kecepatan dalam perumusan dan pelaksanaan anggaran ditempuh, perppu yang menunjang dikeluarkan, batas defisit APBN dinaikkan, birokrasi tender dilonggarkan, serta berbagai relaksasi lain dilakoni.
Sayangnya hal itu tak mampu mendongkrak serapan anggaran PEN. Hingga pertengahan Agustus, komitmen anggaran PEN baru terserap 25,1 persen. Untuk kesehatan bahkan 13,8 persen, terendah dibandingkan program PEN lain. Pemulihan ekonomi sangat tergantung efektivitas mengendalikan pandemi. Makin lamban dan tak efektif penanganan kesehatan, makin tinggi biaya pemulihan ekonomi dan resesi.
Makin lamban dan tak efektif penanganan kesehatan, makin tinggi biaya pemulihan ekonomi dan resesi.
Sebagai instrumen pemerintah, anggaran merupakan terjemahan janji konstitusi dan rencana pembangunan ke dalam program dan kegiatan. Anggaran adalah bentuk ”kontrak sosial” konkret antara pemerintah dan warga negara, di mana warga membayar pajak untuk dipertukarkan dengan pelayanan dan barang publik (Wildavsky, 1984). Maka, kredibilitas anggaran dapat diartikan sebagai sejauh mana pemerintah mengeksekusi anggaran sesuai yang dijanjikan atau disetujui legislatif (De Renzio, Lakin, Cho, 2019).
Lambannya realisasi anggaran sesungguhnya ”lagu lama” yang kerap berulang, bahkan sebelum krisis. De Renzio (2020) mengungkapkan faktor yang menentukan kredibilitas anggaran antara lain kemampuan memproyeksi pendapatan, kualitas manajemen keuangan publik, termasuk perencanaan yang buruk.
Rendahnya serapan tak terlepas dari penyusunan desain program PEN itu sendiri. Kita menyaksikan perubahan anggaran PEN yang terus membengkak sejak Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 diberlakukan. Perubahan ini terjadi hanya dalam kurun tiga bulan, mulai dari Rp 405,1 triliun menjadi Rp 677,2 triliun, dan terakhir Rp 695,2 triliun.
Kita memahami, pemerintah membutuhkan fleksibilitas dan melakukan proyeksi pendapatan dan belanja bukanlah perihal gampang dalam kondisi krisis. Masalahnya, dengan performa serapan anggaran yang lelet, pemerintah terus mendongkrak alokasi anggaran PEN.
Bahkan berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga 19 Agustus, masih terdapat 27,2 persen atau Rp 189,23 triliun anggaran PEN yang belum memiliki DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran). Artinya, dari sumber daya anggaran yang tersedia atau dijanjikan, belum diketahui program atau kegiatan yang akan dikerjakan.
Desain dan anggaran program PEN yang terus mengalami perubahan adalah manifestasi kredibilitas anggaran PEN yang patut dipertanyakan sejak anggaran itu dirumuskan. Sampai kini, indikator kinerja program kegiatan yang berada dalam payung PEN belum dipublikasikan atau mungkin belum dibuat.
Ketiadaan indikator kinerja tambahan anggaran penanganan virus ini menambah sulit mengukur efektivitas anggaran yang dialokasikan. Tambahan anggaran tak mampu melandaikan kurva laju kasus Covid-19.
Kredibilitas serapan anggaran tak hanya menyangkut kuantitas, tetapi juga kualitas belanja yang rendah. Atas nama pemulihan ekonomi, misalnya, belakangan ini pemerintah menggeber perjalanan dinas ke daerah-daerah wisata. Program pemulihan sosial ekonomi masyarakat juga mengonfirmasi, anggaran yang terbatas menjadi tak efektif akibat adanya fragmentasi anggaran.
Kredibilitas serapan anggaran tak hanya menyangkut kuantitas, tetapi juga kualitas belanja yang rendah.
Program bantuan ke masyarakat digelontorkan dalam aneka bentuk mulai dari bantuan sembako, bantuan tunai, perluasan program perlindungan sosial, padat karya, kartu prakerja, hingga bantuan pendapatan karyawan dengan gaji di bawah Rp 5 juta. Rupa-rupa program ini dikeluarkan dari berbagai kantong kementerian/lembaga dan dinas, dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga desa.
Tak heran kerap kali bansos tumpang tindih karena dikelola secara terpisah oleh setiap institusi pusat dan daerah dengan basis data dan kepentingan politik berbeda-beda. Fragmentasi politik anggaran ditambah persoalan klasik ego sektoral dan validitas data menjadi pangkal persoalan kredibilitas anggaran untuk mengatasi dampak sosial ekonomi krisis ini.
”Kontrak sosial” baru
Pandemi Covid-19 jadi momentum berharga untuk mengoreksi arah politik fiskal kita. Ragam pilihan kebijakan fiskal yang dipilih pemerintah dalam mengatasi Covid-19 menguak tabir rapuhnya aspek politik dan tata kelola anggaran kita.
Meminjam usulan Krafchik dan De Renzio (2020), kita perlu kontrak fiskal baru yang memajukan agenda pembangunan inklusif yang berpusat pada penguatan jaring pengaman sosial dasar yang bersifat inklusif dan akuntabel dalam prosesnya.
Prioritas utama adalah segera merealokasi anggaran PEN dengan mempertahankan dan meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin untuk menjamin kehidupan dasarnya. Ada dua alasan. Pertama, Badan Pusat Statistik mencatat tambahan orang miskin baru sebanyak 1,63 juta orang.
Kedua, perkembangan realisasi PEN saat ini menunjukkan penyerapan anggaran perlindungan sosial tertinggi dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi pada sisi konsumsi. Ke depan, reformasi dengan mengonsolidasikan program perlindungan sosial dan subsidi yang berserakan di sejumlah kementerian/lembaga dan daerah yang bersifat universal harus segera dikerjakan.
Prioritas penting selanjutnya, mengakselerasi anggaran PEN untuk kesehatan dengan memperbanyak tes dan pelacakan untuk mengendalikan dan mencegah penyebaran Covid-19. Dengan orientasi jangka panjang, tentu hal itu memperkuat sistem layanan kesehatan.
Target ambisius ini tentu butuh anggaran yang besar. Untuk itu, kita harus me-reset ulang politik fiskal yang selama ini didikte disiplin fiskal ketat berfokus pada defisit rendah, pengetatan belanja (fiscal austerity), serta tarif pajak rendah untuk menstimulus pertumbuhan. Sistem pajak berkeadilan dan lebih progresif terutama terhadap kelompok super kaya dalam pendapatan, kekayaan, dan properti adalah jawaban atas ruang fiskal yang terbatas.
Supremasi negara dengan kontrak fiskal baru bisa terwujud jika pemerintah bersedia membuka diri, bergandengan dengan masyarakat sipil, dan warga negara berpartisipasi dalam evolusinya untuk membantu membangun budaya politik yang lebih kondusif bagi perubahan transformatif demi memperkuat kepercayaan dan akuntabilitas publik.
(Yuna Farhan,Country Manager Indonesia, International Budget Partnership)