Akuntabilitas Penggunaan Anggaran Jadi Tantangan Berat Pemerintah
Akuntabilitas penggunaan anggaran penanganan Covid-19 menjadi tantangan berat bagi pemerintah. Seluruh penggunaan anggaran akan diaudit BPK secara menyeluruh melalui analisis ”big data”.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akuntabilitas penggunaan anggaran penanganan Covid-19 menjadi tantangan berat bagi pemerintah. Selama ini, kecepatan respons kebijakan belum didukung ketepatan penyaluran anggaran yang memadai.
Tahun ini, alokasi anggaran penanganan Covid-19 mencapai Rp 695,2 triliun untuk bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta dukungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); dunia usaha, dan pemerintah daerah. Secara umum, penyerapan anggaran masih terkendala di level operasional dan proses administrasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, efek domino akibat pandemi Covid-19 harus dicegah agar krisis tidak meluas. Di satu sisi, krisis memerlukan respons kebijakan yang cepat. Namun, di sisi lain, kecepatan respons kebijakan belum dibarengi data dan ketepatan target yang memadai.
Anggaran penanganan Covid-19 belum sepenuhnya tersalur dan tepat sasaran, misalnya belum semua tenaga medis mendapat insentif karena terkendala pendataan. Data ganda dan salah juga masih terjadi dalam program perlindungan sosial. Perbaikan akan terus dilakukan.
”Pemerintah akan menghadapi tantangan akuntabilitas penggunaan anggaran satu tahun dari sekarang,” kata Sri Mulyani dalam telekonferensi bertajuk ”Solusi Perekonomian Penanganan Covid-19 Menghadapi Tantangan Akuntabilitas, Fleksibilitas, Kecepatan, dan Risiko Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional”, Sabtu (27/6/2020).
Menurut Sri Mulyani, pemerintah menghadapi kondisi yang tidak mudah setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Indonesia dan banyak negara di dunia belum pernah mengalami krisis kesehatan yang meluas ke bidang ekonomi, sosial, dan politik.
Koreksi pertumbuhan ekonomi menyebabkan dilema kebijakan makin pelik. Pertumbuhan ekonomi tahun 2020 diproyeksikan minus 0,4 persen sampai 1 persen. Jauh lebih rendah dari proyeksi awal 5,3 persen. Dalam situasi serba terbatas, respons kebijakan harus diarahkan untuk mencegah pemburukan lebih dalam.
Landasan hukum untuk merespons Covid-19 pun dibuat dalam kondisi mendesak dan tanpa naskah akademis. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan dalam Penanganan Covid-19 dan aturan turunannya dirumuskan kurang dari 1,5 bulan.
”Tidak ada naskah akademis karena (perubahan) situasi luar biasa cepat. Pemerintah menyadari dalam implementasinya akan hadapi banyak tantangan,” kata Sri Mulyani.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo berpendapat, perlu ada landasan hukum baru dalam kondisi luar biasa dengan tetap memprioritaskan akuntabilitas dan transparansi. Trauma pengalaman dipidanakan atau menjadi temuan BPK pada masa lalu akan menjadikan tata kelola saat ini lebih ketat.
Pemerintah tetap berupaya menjaga akuntabilitas dengan melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan lembaga penegak dalam rapat perumusan kebijakan. Setiap rapat juga direkam khusus untuk kebutuhan transparansi.
Audit menyeluruh
Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono mengatakan, kebijakan dan implementasi pengelolaan keuangan negara dalam penanganan Covid-19 berisiko tinggi. Pemerintah diberikan kewenangan mengelola keuangan negara yang luar biasa. Beberapa ketentuan perundang-undangan dianulir untuk mendukung kecepatan dan ketepatan.
BPK memetakan ada lima risiko yang mesti diidentifikasi dan dimitigasi, yaitu risiko dalam pencapaian tujuan dan implementasi kebijakan, terkendalanya implementasi kebijakan di lapangan karena kompleksitas sistem, kecurangan dan penyalahgunaan anggaran, kesinambungan fiskal, dan kepatuhan terhadap UU.
”BPK akan melakukan pemeriksaan berbasis risiko secara menyeluruh. Cakupan pemeriksaan meliputi penajaman dan realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19, tambahan belanja negara/daerah, serta skema pemulihan ekonomi nasional,” kata Agus.
Cakupan pemeriksaan BPK adalah alokasi penajaman APBN sebesar Rp 190 triliun dan realokasi anggaran Rp 54,6 triliun, alokasi APBD terkait penanganan Covid-19 sebesar Rp 67,21 triliun, tambahan belanja untuk pemulihan ekonomi nasional Rp 695,2 triliun, dan pelebaran defisit APBN menjadi 6,34 persen.
Audit menyeluruh BPK akan menggunakan analisis big data. Beberapa data yang diperlukan, antara lain, adalah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, peserta BPJS Ketenagakerjaan, nomor induk kependudukan (NIK), data perusahaan, serta data dalam sistem perbendaharaan dan anggaran negara (SPAN).
Agus menambahkan, pemangku kepentingan diharapkan melengkapi laporan penggunaan anggaran dengan catatan kondisi kedaruratan. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahpahaman audit pascakrisis. BPK tidak bisa merekam seluruh kondisi kedaruratan karena lingkup sektor yang terdampak sangat luas.