Penyelidikan independen dan transparan terhadap kasus terbakarnya Gedung Kejaksaan Agung diperlukan untuk memulihkan kepercayaan publik. Tak perlu ada yang ditutup-tutupi daripada ketertutupan itu dibongkar publik.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Terbakarnya Gedung Kejaksaan Agung, Sabtu, 22 Agustus 2020, malam, memicu spekulasi liar. Peristiwa itu musibah atau ada unsur kesengajaan.
Pihak Kejaksaan Agung serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD berupaya meyakinkan dan meminta publik untuk tidak berspekulasi berlebihan soal penyebab kebakaran. Biarlah tim penyelidik—syukur-syukur tim yang independen dan terbuka—menjalankan tugasnya menyelidiki kebakaran itu.
Merebaknya spekulasi di tengah masyarakat seharusnya menjadi introspeksi. Mengapa spekulasi liar dengan cepat berkembang? Apakah itu pertanda menurunnya kepercayaan publik kepada aparat penegak hukum? Atau, adakah fakta lain yang bisa menjadi dasar publik berspekulasi.
Adalah fakta bahwa Kejaksaan Agung tengah menangani kasus korupsi besar, termasuk kasus korupsi Jiwasraya. Namun, yang justru menjadi sorotan publik adalah kiprah jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam kasus Joko S Tjandra yang disebut-sebut menyerempet elite kejaksaan.
Posisi dan peran jaksa Pinangki inilah yang patut disoroti lebih jauh. Pinangki bukan jaksa penyidik dan jaksa yang ditugasi memburu Joko Tjandra. Namun, Pinangki tampak begitu leluasa menemui Joko Tjandra di Kuala Lumpur. Bahkan, disebut-sebut, jaksa Pinangki ikut menerima dana dari kaki tangan Joko Tjandra sebesar Rp 7 miliar.
Kiprah dari jaksa Pinangki inilah yang sedang disoroti. Dalam dokumen yang beredar di berbagai media—keaktifan jaksa Pinangki termasuk pertemuan dengan Joko Tjandra di Kuala Lumpur—dilaporkan kepada elite Kejaksaan Agung.
Upaya memproteksi jaksa Pinangki juga coba dilakukan, termasuk dengan pemeriksaan jaksa harus seizin pimpinan Kejaksaan Agung, termasuk pemeriksaan oleh Komisi Kejaksaan. Surat itu kemudian dicabut setelah dipersoalkan sejumlah pihak.
Pinangki tampak begitu leluasa menemui Joko Tjandra di Kuala Lumpur.
Fakta-fakta itu bisa saja membuat spekulasi terbakarnya Kejaksaan Agung memicu spekulasi liar. Kita menggarisbawahi pernyataan pihak Kejaksaan Agung dan Menko Polhukam bahwa tak ada dokumen perkara yang hilang. Pernyataan itu menenangkan. Namun, tetap belum cukup.
Penyelidikan yang transparan dan melibatkan ahli bidang konstruksi diperlukan lebih menambah bobot dan kredibilitas penyelidikan. Seandainya memang terjadi kecelakaan, mengapa tidak ada langkah pencegahan sehingga kebakaran bisa demikian parah? Penyelidikan independen dan transparan diperlukan untuk memulihkan kepercayaan publik.
Selain penyelidikan kebakaran, penyelidikan kasus jaksa Pinangki juga mutlak harus cepat dituntaskan. Siapa pun yang terlibat harus dibuka secara transparan. Berbagai dokumen yang beredar luas di publik adalah faktor yang tidak bisa dianggap ringan. Publik telah lebih dahulu memahami konstruksi peristiwa yang terjadi dalam kasus jaksa Pinangki.
Di era keterbukaan seperti sekarang ini, tak perlu ada yang harus ditutup-tutupi daripada ketertutupan itu dibongkar oleh publik. Komunikasi krisis menjadi faktor penting.