Jati Diri Bangsa Merdeka
Kita perlu berkomitmen untuk mengembalikan kesadaran dan kepercayaan diri bahwa Indonesia merupakan bangsa yang merdeka, negara yang merdeka, dan pemerintah yang merdeka.
Dari cara pandang ilmu sejarah yang bertumpu pada kronologi, pernyataan bahwa 17 Agustus 2020 adalah perayaan kemerdekaan ke-75 RI bisa dikatakan terjebak anakronisme historis yang fatal.
Merujuk pada teks proklamasi, subyek yang menyatakan kemerdekaan pada saat itu adalah ”kami bangsa Indonesia”, dan Soekarno beserta Mohammad Hatta bertindak ”atas nama bangsa Indonesia”, sangat jelas dapat disimpulkan bahwa secara historis, bangsa Indonesia-lah yang merdeka pada 17 Agustus 1945, bukan negara Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan, selama ini memori kolektif dan narasi sejarah bangsa seputar kemerdekaan tidak tersusun secara kronologis.
Baca juga : Indonesia Butuh Inovasi Kebangsaan
Selain itu, ada persoalan mendasar lain yang sering muncul dalam analisis para ahli. Sejarah Indonesia dianggap terlalu banyak dipenuhi kondisi missed opportunity, ketidakmampuan negara dan pemerintah memanfaatkan kesempatan terbaik untuk menciptakan kemajuan dan ”mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Setelah berjalan cukup lama sejak kemerdekaan diproklamasikan, ada kesan kuat Indonesia seakan-akan tak tahu bagaimana cara mengisi kemerdekaan melalui praktik bernegara dan pemerintahannya yang sesuai dengan makna dari kata kemerdekaan itu sendiri.
Hal ini menunjukkan, selama ini memori kolektif dan narasi sejarah bangsa seputar kemerdekaan tidak tersusun secara kronologis.
Mandat bangsa
Secara historis, bangsa Indonesia merdeka dan lahir lebih dulu daripada negara Indonesia, sebagai perwujudan dari proses historis dari sebuah kesadaran baru tentang entitas sebuah bangsa ketika berhadapan dengan kolonialisme Belanda, yang dimulai paling cepat akhir abad ke-19. Kesadaran kebangsaan baru itu menemukan momentum terbaiknya pada tiga dekade pertama abad ke-20 ketika kristalisasi identitas kebangsaan Indonesia terbentuk.
Perjuangan nasionalisme Indonesia mencapai puncaknya ketika kemerdekaan diproklamasikan. Melalui Proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia kemudian memberi mandat bagi pembentukan negara dan kemudian pemerintahan, sebagaimana dapat diinterpretasikan dari kalimat ”hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll akan diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Kalimat terakhir ini juga menyisakan beberapa pertanyaan mendasar, termasuk dari siapa dan untuk siapa pemindahan kekuasaan dilakukan?
Baca juga: Refleksi 75 Tahun Pancasila
Dalam perspektif politis, keberadaan kalimat itu dapat dihubungkan dengan keberadaan kekuasaan politis dan militer Jepang yang masih nyata ketika proses persiapan kemerdekaan dilakukan. Hal itu dapat dikatakan sebagai wujud dari kecerdasan tindakan politis yang dilakukan oleh para pemuka perjuangan nasionalisme Indonesia untuk menyelamatkan kemerdekaan bangsa yang akan diproklamasikan dan eksistensi selanjutnya.
Sehubungan dengan hal itu, paling tidak ada tiga hal yang dapat dikemukakan. Pertama, bangsa Indonesia pada saat itu mampu memanfaatkan momentum atau kesempatan yang terbentuk dari ketidakpastian status dan ruang politis di Indonesia setelah Jepang menyatakan kekalahannya pada Perang Dunia.
Kedua, Indonesia merdeka dari kekuasaan kolonial Jepang. Interpretasi yang dipastikan akan memancing perdebatan baru, mengingat akan mudah dimaknai secara serampangan sebagai pembenaran terhadap tuduhan para kolonialis Barat tentang Indonesia yang ”mendapat hadiah” kemerdekaan dari Jepang.
Ketiga, dalam cara pandang penulisan sejarah Indonesia sentris, sangat jelas Indonesia tak merdeka dari Belanda. Kekuasaan kolonial Belanda sudah berakhir Maret 1942. Ketika bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya, Indonesia bukan lagi ruang geopolitik yang berstatus koloni Belanda.
Ketika bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya, Indonesia bukan lagi ruang geopolitik yang berstatus koloni Belanda.
Bangsa Indonesia yang telah menyatakan kemerdekaannya memberi mandat bagi pembentukan negara, yang disepakati bernama Republik Indonesia, berbentuk negara kesatuan.
Hal itu dilakukan seiring disahkannya konstitusi negara yang dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945, sehari setelah kemerdekaan diproklamasikan. Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Pemerintah RI ketika Soekarno dan Mohammad Hatta ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden. Di sinilah berbagai problematik kehidupan bernegara sebagai bangsa merdeka dimulai dan penuh dilema.
Dilema berkepanjangan
Hanya dalam waktu singkat, Belanda yang memanfaatkan fungsi dan keberadaan pasukan Sekutu di Indonesia berusaha membangun kembali kekuasaan kolonialnya yang telah diakhiri Jepang. Kontestasi politik dan konflik militer antara RI dan Belanda tak terelakkan, paling tidak sejak akhir 1945 hingga akhir 1949. Setelah pasukan Sekutu pergi, Belanda hadir sebagai kekuasaan pendudukan, memaksa Pemerintah RI meninggalkan ruang ibu kota warisan kolonialnya (Jakarta) menuju Yogyakarta.
Baca juga: Esensi Demokrasi Terancam
Dengan demikian, untuk jangka waktu tertentu, tanpa mengesampingkan perjuangan yang berlangsung di wilayah lain, keberadaan geopolitik negara RI hanya mengandalkan sikap puritan dari tiga wilayah utama, yaitu di Aceh yang tidak pernah diduduki Belanda, Sumatera Barat, dan tentu saja Yogyakarta dan sekitarnya.
Belanda kemudian memang mengakui eksistensi RI melalui beberapa perjanjian, tetapi bersifat parsial dan jalan menuju berbagai kesepakatan itu menimbulkan dilema berkepanjangan bagi RI. Konflik internal RI selalu menyertai sepanjang proses dan setiap kesepakatan yang diambil.
Pengakuan itu mencapai puncaknya pada penandatanganan kesepakatan politik pada 27 Desember 1949. Akan tetapi, kesepakatan itu tidak mengembalikan kedaulatan negara RI yang dimandatkan oleh kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang dihasilkan adalah sebuah nomenklatur kenegaraan baru bernama Republik Indonesia Serikat (RIS), yang berada di bawah mahkota Belanda.
Konflik internal RI selalu menyertai sepanjang proses dan setiap kesepakatan yang diambil.
Kesepakatan itu bahkan menyisakan dilema terminologi di internal RI, antara ”penyerahan kedaulatan” yang digunakan Presiden Soekarno pada pidato 28 Desember 1949 dan ”pengakuan kedaulatan” sebagaimana dituntut para Republiken yang tetap bertahan di Yogyakarta. Akhirnya, bangsa Indonesia sekali lagi harus berjuang membentuk negara kesatuan RI dalam arti yang sebenarnya, ketika negara RIS dibubarkan secara resmi pada 17 Agustus 1950, dan Soekarno ditetapkan kembali menjadi Presiden RI.
Pada saat yang sama, Jakarta secara resmi kembali menjadi ibu kota RI setelah sejak Januari 1946 berada di Yogyakarta. Hal terakhir ini menyiratkan tak benar bahwa Yogyakarta menjadi ibu kota RI hanya sampai Desember 1949 karena pada saat itu Jakarta adalah ibu kota RIS, bukan RI.
Keberadaan kembali negara RI sebagai sebuah keutuhan konseptual pada 1950 tidak begitu saja memuluskan perjalanan kehidupan bernegara. Pada satu sisi banyak hal yang telah berubah sepanjang 1945-1950, tetapi ruang geopolitik pada masa kolonial belum sepenuhnya bertransformasi secara utuh menjadi ruang negara RI.
Baca juga : Bahasa dan Kebangsaan Indonesia
Sisi barat dari Papua tetap menjadi sengketa antara Belanda dan Indonesia, menimbulkan konflik berkepanjangan dan menginspirasi diubahnya salah satu lirik lagu nasional, dari yang sebelumnya ”dari barat sampai ke timur” menjadi ”dari Sabang sampai Merauke”.
Di sisi lain, kehidupan bernegara terjebak antara jiwa revolusi yang seharusnya dimaknai sebagai perwujudan dari upaya melakukan proses dekolonialisasi dan kesinambungan warisan kolonial. Sementara pada saat yang sama, sikap mental atau jati diri berkelanjutan sebagai bangsa yang merdeka tidak terjaga dengan baik.
Perubahan status dari kawula jajahan menjadi warga negara bagi penduduk yang ada di dalamnya tak didukung dengan perubahan sikap mental dan praktik kenegaraan dan pemerintahan yang mengarusutamakan penyejahteraan rakyat. Para elite, baik nasional maupun lokal, merasa nyaman dengan kenikmatan kolonial di negara merdeka, bahkan sampai saat ini.
Para elite, baik nasional maupun lokal, merasa nyaman dengan kenikmatan kolonial di negara merdeka, bahkan sampai saat ini.
Secara perlahan, tetapi pasti, hal tersebut membangun kembali sikap mental yang dinikmati para elite di negara kolonial sebelumnya. Sementara itu, praktik kehidupan bernegara dan pemerintahan RI untuk jangka waktu yang panjang selalu dibingkai dalam prinsip-prinsip kedaruratan yang menjadi kendala untuk benar-benar mewujudkan seluruh cita-cita sebagai bangsa yang merdeka.
Semua itu menggerus dengan cepat jati diri sebagai bangsa yang merdeka dan mengembalikan nilai-nilai yang hanya pantas hidup di negara kolonial bersemi.
Indonesia sebagai sebuah keutuhan entitas dan identitas tampaknya terus terasing dari sikap mental dan jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka, sampai batas tertentu tidak lagi sama sebagaimana dimiliki oleh bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya.
Baca juga : Yogyakarta dan Pesan Kemerdekaan Soekarno
Oleh karena itu, tidak ada cara lain kecuali melahirkannya kembali jika kita semua tetap berkomitmen untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi. Mengembalikan kesadaran dan kepercayaan diri bahwa Indonesia merupakan bangsa yang merdeka, negara yang merdeka, dan pemerintah yang merdeka.
Jika rasa percaya diri atas kemerdekaan tidak dapat dikembalikan dan dipupuk secara berkelanjutan, jangan disalahkan jika pada buku-buku sejarah di masa depan, kita semua juga akan tercatat sebagai menciptakan yang mengkhianati menciptakan bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Bambang Purwanto, Pengajar Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM.