Bahasa dan Kebangsaan Indonesia
Di tangan kaum terpelajar generasi awal, bahasa Melayu atau Indonesia bukan saja tak lagi sekadar repetan”, melainkan sesuatu yang revolusioner, yang mengawal keutuhan bangsa hingga kini.
Mungkin agak melebih-lebihkan jika saya menyatakan ”terkejut” ketika terbentur fakta sejarah tentang posisi ”bahasa kita”.
Dalam ”Writing from the Colonial Margin: The Letters of Aboe Bakar Djajadiningrat to Christian Snouck Hurgronje” (Journal Indonesia and the Malay World, November 2003), Michael F Laffan mengungkapkan sebuah fakta sejarah hubungan surat-menyurat antara Aboe Bakar Djajadiningrat (yang tinggal di Hijaz, kini Arab Saudi) dan intelektual-kolonialis Snouck Hurgronje akhir abad ke-19.
Kecuali untuk maksud tertentu, surat-surat Aboe Bakar (yang berisi informasi tentang politik dan masyarakat Hijaz serta gerak-gerik jemaah haji asal Hindia Belanda) itu lebih sering ditulis dalam bahasa Arab daripada bahasa Melayu. Untuk sebagian, Laffan menyebutnya karena bahasa Melayu di Hijaz kala itu ”was an inferior language for scholarship” (bahasa rendahan dalam kesarjanaan).
Sebagai orang terpelajar, Aboe Bakar lebih bangga menulis laporan-laporan kepada Hurgronje dalam bahasa Arab. Keterpelajarannya inilah yang diproyeksikan kepada anaknya di Banten. Dalam salah satu surat kepada Hurgronje pada 1885, ia ungkap niat mengirimkan anaknya belajar bahasa Belanda di Batavia pada 1887.
Sebagai orang terpelajar, Aboe Bakar lebih bangga menulis laporan-laporan kepada Hurgronje dalam bahasa Arab.
Lebih condong menggunakan bahasa Arab dan rencana Aboe Bakar mengirimkan anaknya belajar bahasa Belanda merefleksikan l’histoire des mentalite (struktur kesadaran) elite pribumi di masa itu. Ini bukan saja impian mengintegrasikan diri ke birokrasi kekuasaan kolonial Belanda, melainkan merefleksi hasrat memperoleh prestise dan status sosial tinggi di hadapan rakyat jelata.
Dalam realitasnya, kemampuan elite pribumi berbahasa Belanda menimbulkan ”insiden” lucu. Akhir abad ke-19, seperti dikisahkan Ajip Rosidi dalam Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut kepada Allah (1986), kontrolir Belanda di Banten, PWJ Bischoff, bertanya kepada seorang camat, Arsjad, dalam bahasa Sunda.
Bischoff, selama di Belanda sudah belajar bahasa Sunda dan sangat percaya diri berkomunikasi dengan ”bawahan” pribuminya dalam bahasa itu. Lulusan OSVIA (didirikan pada 1879) di Bandung, Arsjad dengan sendirinya mampu berbahasa Belanda. Karena bahasa Sunda Bischoff ”berlepotan”, Arsjad menjawab pertanyaannya dalam bahasa Belanda.
Dan, Ajip melanjutkan ceritanya, ”Mata sang kontrolir mendelik memandang kepada sang camat. Dia tidak bisa lagi menahan dirinya, hingga dikatakan bahwa camat telah berbuat kurang ajar dan tidak sopan kepadanya.” Akibatnya, jabatan Arsjad dicopot dan pangkatnya diturunkan menjadi mantri.
Baca juga : Bahasa Indonesia Ditengarai Berawal dari Barus
Pergumulan kekuasaan
Raden Arsjad di atas adalah ayah tokoh nasional Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989). Namun, bukan cerita ini yang ingin saya lanjutkan. ”Insiden” itu memperlihatkan dua hal pokok. Pertama, peristiwa itu menunjukkan terbentuknya apa yang disebut mokolo oleh Hendri Alers dalam Om een rode of groene Merdeka (1956).
Melalui Benedict R’O G Anderson yang mengutip karya Alers itu dalam Languages of Indonesian Politics (1990), kita tahu mokolo adalah sebuah golongan aristokrasi Sulawesi Selatan zaman kolonial. Mereka bukan saja hidup terpisah dari masyarakat, juga melihat diri dalam sinar Nietzschean consciousness of superiority (kesadaran ras lebih tinggi ala Nietzsche).
Alers, sebagaimana dikutip Anderson, menyatakan birokrasi kolonial Belanda mengalami mokoloisasi dengan menetapkan ras Belanda sebagai pengganti aristocratic esprit de corps. ”Mental dasar borjuasi pemerintahan kolonial Belanda,” lanjut Anderson, ”dengan demikian mengambil karakter ’luar’ aristokrasi mokolo berhadapan dengan penduduk berkulit sawo matang.”
Insiden Arsjad-Bischoff antara lain adalah efek dari mokoloisasi wujud birokrasi kolonial Belanda. Dalam hal ini, sesuai watak Nietzschean consciousness superiority, bahasa Belanda terlalu ”agung” untuk digunakan kaum pribumi kendatipun oleh seorang terpelajar lulusan OSVIA.
Insiden Arsjad-Bischoff antara lain adalah efek dari mokoloisasi wujud birokrasi kolonial Belanda.
Kedua, akan tetapi, posisi ”agung” bahasa Belanda kala itu merupakan gejala ”baru”. Kendati Belanda berhasil melakukan pukulan terakhir atas Portugis dengan, seperti dikatakan CR Boxer dalam bukunya, The Portuguese Seaborne Empire, 1415-1825 (1971 [1969]), menyerang Makassar (yang melindungi Portugis) pada 1660 dan 1667, bahasa Belanda masih dianggap ”kelas dua” di kawasan Asia.
Di sini Boxer menyatakan bahwa meskipun penguasa Sailon Raja Sinha II (1629-1687) bersekutu dengan Belanda melawan Portugis, ia menolak surat-surat resmi dalam bahasa Belanda. Ia lebih bisa menerima dokumen-dokumen resmi dalam bahasa Portugis walau, kata Boxer, dalam creole forms (bahasa Portugis yang telah bercampur dengan bahasa India [Barat]).
Dalam konteks Nusantara, Boxer mengatakan bahwa bukan saja penguasa Makassar fasih berbahasa Spanyol, bahkan ”salah satu di antaranya telah membaca semua karya asli penulis Portugis, Fray Luis de Granada”.
Baca juga : Lokalitas Memperkaya Bahasa Indonesia
Ironisnya, pembawa bahasa Portugis dalam bentuk creole ke Batavia, pusat kekuasaan Belanda, justru para budak dan kalangan kelas rendah lain. Sebagai akibatnya, tulis Boxer, ”it was spoken by the Dutch and half-caste women born and bred at Batavia" (menjadi bahasa sehari-hari orang Belanda dan para perempuan peranakan yang lahir dan besar di Batavia). Lebih ironis lagi, lanjut Boxer, bahasa Portugis yang digunakan orang-orang Belanda itu kadang-kadang ”to the exclusion of their mother tounge”.
Dengan demikian, ”keagungan” bahasa Belanda terdemonstrasikan pada sikap congkak Kontrolir Bischoff akhir abad ke-19 di atas adalah hasil ”pergumulan kekuasaan” dua kekuatan global abad ke-16 hingga ke-18 di Nusantara dengan kekalahan Portugis.
Dalam spekulasi saya, meskipun hubungan elite pribumi-Belanda (diwakili VOC) telah lebih erat sejak abad ke-18, melalui investasi politiknya memadamkan pemberontakan Trunojoyo melawan Mataram (1674-1680) dan pada 1740-1770-an, seluruh wilayah pantai Jawa Tengah dan Timur jatuh ke tangan Belanda, termasuk Jawa Barat, ”pengagungan” bahasa Belanda baru menemukan pijakan material dan kekuasaannya pada 1830.
Kita tahu, pada periode inilah dilancarkan sistem tanam paksa. Kesuksesan program raksasa tak berpreseden ini mendorong lahirnya modern colonial state (negara kolonial modern). Sebuah sistem birokrasi modern yang hampir sepenuhnya tegak pada eksploitasi kekayaan pertanian ekspor.
Ironisnya, pembawa bahasa Portugis dalam bentuk creole ke Batavia, pusat kekuasaan Belanda, justru para budak dan kalangan kelas rendah lain.
Keuntungan material yang diperoleh serta dilanjutkan dengan kebijakan ”pintu terbuka” dengan mengundang modal besar Eropa berinvestasi di Nusantara setelah sistem tanam paksa dicabut pada 1870, secara struktural mendorong pemekaran kehadiran negara. Gabungan antara modal material yang terakumulasi serta jaringan birokrasi negara modern yang menyangganya telah membuat kekuasaan Belanda di mata kaum pribumi menjadi tak termaknai.
Inilah situasi struktural yang, seperti diungkapkan Aboe Bakar kepada Hurgronje di atas, menimbulkan fantasi ”keagungan” bahasa Belanda di kalangan elite pribumi. Sebuah bahasa yang hadir dengan dukungan kekuasaan politik, kekayaan, ilmu pengetahuan, teknologi.
Transmisi kesadaran intelektual
Maka, bahasa Melayu, cikal bakal bahasa kebangsaan kita, dalam struktur kepongahan kekuasaan kolonial itu, ”ternista”. Dalam tulisannya yang lain, ”Sembah-Sumpah: The Politics of Language and Javanese Culture” (1990), Benedict Anderson mengutip hinaan Belanda itu dengan ungkapan brabbel-Maleisch (repetan Melayu).
Baca juga : Jalur Tepat Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Internasional
Ini tak bisa diterima karena bahkan cerita kanak-kanak berbahasa Jawa, Serat Kancil Amongsastra karya Kyai Rangga Amongsastra dan terbit pada abad 1878, seperti dinyatakan Liaw Yock Fang dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik (2011), telah berkaitan dengan sastra Mesir.
Di sini, elemen-elemen bahasa di Nusantara telah mempunyai jaringan global. Maka, sebagaimana ekspresinya akan kita lihat di bawah, ”penistaan” tersebut menjadi, mengutip Clifford Geertz dalam The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States (1993 [1973]), ”humiliating sense of exclusion from the important centers of power in world society” (perasaan terhina karena terkecualikan dari pusat-pusat kekuasaan dalam dunia masyarakat). Inilah dasar mental-struktural yang secara unik mendorong lahirnya bahasa Indonesia.
Akan tetapi, dasar material keberadaan bahasa Melayu abad ke-19 itu memang merupakan sisa-sisa kekuatan para aktor perdagangan kawasan Asia Tenggara, dalam apa yang disebut sejarawan Anthony Reid, The Age of Commerce (1988), yang berlangsung sepanjang 1450-1680 itu.
Mengalami kemunduran material hebat akibat gempuran aktor-aktor Eropa dalam bidang yang sama, bahasa Melayu kehilangan basis material pengembangan diri. Terseok ke belakang ”panggung”, tak berkesempatan bersentuhan dengan dinamika zaman baru yang kian mengandalkan gagasan modern dan dalam keseharian bergulat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bahasa ini mengalami proses pedesaanisasi, hanya hidup di kalangan coastal petit bourgeoisie (pedagang-pedagang kecil wilayah pantai) di mana pengalaman kolektif mereka secara struktural absen dari benturan dinamika modernisasi dan industrialisasi Barat.
Mengalami kemunduran material hebat akibat gempuran aktor-aktor Eropa dalam bidang yang sama, bahasa Melayu kehilangan basis material pengembangan diri.
Maka, sejarah memperlihatkan ”ironi menguntungkan” persuaan kaum intelegensia Indonesia awal dengan bahasa Belanda melalui Kebijakan Etis, dicanangkan Ratu Wilhelmina pada 1901. Dalam The Languages of Indonesian Politics, Benedict Anderson menyatakan posisi lumpen (rendah dan tak bergairah) bahasa Melayu menemukan darah semangat baru dengan kemunculan kaum intelektual pribumi dalam bilingual (dwibahasa): Belanda dan Melayu.
Melalui penguasaan bahasa Belanda, kaum intelektual yang tak punya tempat dalam struktur kolonial itu bersua dengan sistem gagasan modern yang tak diperoleh di bahasa Melayu dan lokal lainnya.
Maka, HOS Tjokroaminoto, Mohammad Hatta, Soekarno, Tan Malaka, Sjahrir, Ali Sastroamidjojo atau Iwa Sumantri, Mohammad Yamin, dan lainnya, kalangan terdidik awal kaum pribumi secara Barat, berbenturan dengan sistem gagasan sosialisme, Marxisme, nasionalisme, serta keadilan sosial dan demokrasi lewat materi bacaan berbahasa Belanda itu.
Semua materi berbahasa Belanda yang dibaca kaum intelektual awal itu adalah sistem gagasan yang secara kritikal mempertanyakan keabsahan kolonialisme di mana pun, termasuk Indonesia.
Proses sejarah inilah yang melahirkan apa yang disebut Benedict Anderson revolutionary Malay (bahasa Melayu revolusioner). Sebab, penguasaan kaum intelegensia atas bahan-bahan bacaan Belanda yang revolusioner itu dituangkan ke bahasa Melayu.
Karena itu, dari status lumpen language, bahasa Melayu menjadi bahasa yang bukan saja bergairah, melainkan juga menemukan landasan pijakan baru: semangat revolusioner anak negeri memerdekakan diri. Dalam situasi inilah, Sumpah Pemuda 1928 meneguhkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ”persatuan” bangsa.
Titik tumpu dan darah bangsa
Pada 1948, ibu kandung saya, Asiah Ilyas, menulis lagu romantik perjuangan di Susoh, Aceh Selatan (kini Aceh Barat Daya), memberi semangat pemuda-pemuda Aceh mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Medan Area, Sumatera Timur, dalam bahasa Indonesia yang elok:
Dunia keliling sepi, kutinggalkan nyanyi gembala/di bawah langit jaya, berjabat tangan kita/berpisah untuk Nusa
Kau antarkan ku berjuang, berpisahannya di mata/bersatu dalam hati, bertemu kita nanti/di syurga yang abadi
Karya ibu saya ini mungkin lebih telat dua atau tiga tahun dari lagu Cornel Simadjuntak, ”Maju Tak Gentar” atau ”Halo-halo Bandung” ciptaan Ismail Marzuki(?). Kendati kedua lagu terakhir ini lahir di Jawa, seperti juga lagu-lagu perjuangan lainnya, semuanya bukan saja bertemu dalam satu semangat, melainkan, meminjam Benedict Anderson, mengungkapkan emotive words (kata-kata mengandung luapan rasa).
Inilah ciri pokok revolutionary Malay atau kemudian ”bahasa Indonesia revolusioner”. Sebuah bahasa yang lahir (kembali) untuk menemani masyarakat yang sedang bergolak dan berjuang. Akan tetapi, di atas itu, kita melihat ungkapan rasa di Susoh yang terpencil di ujung Sumatera itu bersatu dengan apa yang terungkap di Jawa.
Inilah ciri pokok revolutionary Malay atau kemudian ”bahasa Indonesia revolusioner”.
Melalui lagu-lagu itu, kita menandai lahirnya apa yang disebut Edward Shils dalam Primordial, Personal, Sacred and Civil Ties (1957), civil politics di dalam masyarakat kita dengan relatif tanggalnya kesetiaan sempit primordialisme menuju kepada kesetiaan besar. Kelahiran bahasa Indonesia, dengan demikian, adalah terciptanya ”titik temu” aneka etnis untuk membentuk kesatuan sebuah bangsa berhasrat merdeka.
Dan, walau terdengar ”klise”, ini adalah sebuah anugerah besar bagi bangsa Indonesia. Geertz, dalam Integrative Revolution, juga menyinggung kemasygulan pemimpin India, Jawaharlal Nehru, yang diungkapkan pada 1948: ”How thin was the ice upon which we were skating” (Betapa tipisnya lapisan es di atas mana kita berselancar).
Ini berkaitan dengan tugas dia, bersama Patel dan Sitaramayya, di dalam Panitia Bahasa (Linguistic Committee) Partai Kongres India. ”Tetapi,” tulis Geertz, ”mengerikan atau tidak, Nehru, Patel, dan Sitaramayya pada akhirnya terpaksa menyerah pada tuntutan menjadikan Andhara sebagai bahasa Negara Bagian Telugu.” Sebagai akibatnya, the thin ice was broken.
Selama satu dasawarsa, karena beragamnya, India direpotkan oleh reorganisasi politik berdasarkan garis bahasa. Dan sebagai akibatnya, situasi ini jadi problematik karena, Geertz melihatnya sebagai ”pandemi” terhadap negara-negara baru. Dan kekacauan semantik pun terjadi.
Masyarakat-masyarakat baru merdeka itu ”meluncur” ke arah yang tak definitif: masyarakat ”ganda” atau ”majemuk” atau ”aneka ragam” dan berujung pada yang tak konklusif: ... ”states that are not nations or nation that are not states” (negara yang bukan bangsa atau bangsa yang bukan negara), tulis Geertz.
Dalam konteks kebangsaan, melalui bahasa Melayu yang kemudian jadi bahasa kebangsaan, Indonesia tak dihadapkan dengan dilema tak terperikan itu. Sekitar 20 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan 1945, melalui bahasa Melayu, Yamin telah memperkenalkan konsep-konsep dasar dalam puisinya tentang kebangsaan.
Seperti dinyatakan Maman S Mahayana dalam ”Muhammad Yamin: Indonesia dalam Imajinasi” (Jamal D Rahman, ed, 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh [2014]), Yamin menyosialisasikan konsep ”Tanah Air” dan ”merdeka” yang hingga kini terpatri dalam kenangan kolektif kita. Dua hari jelang Sumpah Pemuda II 28 Oktober 1928, Yamin menulis puisi berjudul ”Indonesia Tumpah Darahku”. Di dalamnya ia ungkapkan emotive phrase (frasa yang mencetus emosi): Karena kita sedarah-sebangsa/bertanah air di Indonesia.
Dua hari jelang Sumpah Pemuda II 28 Oktober 1928, Yamin menulis puisi berjudul ”Indonesia Tumpah Darahku”.
Baik judul maupun isi puisi Yamin ini bukan hanya termaktub dalam Sumpah Pemuda yang historik itu, atau mengelakkan kita dari pengalaman menjengkelkan bangsa India, melainkan menciptakan ”darah kehidupan” ke dalam tubuh bangsa Indonesia. Di tangan kaum terpelajar generasi awal, bahasa Melayu atau Indonesia bukan saja tak lagi sekadar repetan”, melainkan sesuatu yang revolusioner, yang mengawal keutuhan bangsa hingga kini.
Fachry Ali, Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia.