Mereka Memberikan Tanda ”Dislike” di Youtube Detik-detik Proklamasi
Keberadaan tombol ”like” dan ”dislike” di Youtube sering menimbulkan perdebatan karena menciptakan citra yang tidak diinginkan. Tombol ”dislike” juga banyak dipencet pada siaran Peringatan HUT Kemerdekaan Ke-75 RI.
Oleh
Andreas Maryoto
·6 menit baca
Ketika Sekretariat Presiden menyiarkan secara langsung Detik-detik Proklamasi 17 Agustus di kanal Youtube lembaga itu pada 17 Agustus 2020, ribuan orang memberikan tanda suka (jempol ke atas), tetapi tidak sedikit yang memberikan tanda tidak suka (jempol ke bawah) pada platform itu. Saat video Paskibraka diputar di kanal yang sama, lagi-lagi banyak orang memberikan tanda suka, tetapi tidak sedikit yang memberikan tanda tidak suka. Ada fenomena apakah di balik tanda ”dislike” di media sosial?
Dua kasus di atas menjadi bahan perbincangan di berbagai kalangan, terutama karena banyak yang heran dengan pemberian tanda jempol ke bawah (”dislike”) pada seremoni kenegaraan yang sebenarnya tergolong bebas dari berbagai kepentingan, tetapi tetap saja ada yang tak menyukai. Namun, kedua kasus ini bukanlah kasus besar di dalam jagat media sosial. Salah satu laman digital memuat 10 unggahan di Youtube yang mendapat tanda ”dislike” terbanyak di dunia, dari mulai triler gim Call of Duty: Infinite Warfare Reveal di urutan kesepuluh yang mendapat tanda ”like” sebanyak 620.000, tetapi mendapat tanda ”dislike” 3,88 juta. Sementara di urutan pertama yaitu unggahan Youtube Rewind 2018: Everyone Control Rewind yang mendapat tanda ”like” hanya 2,8 juta, tetapi mendapat 18 juta tanda ”dislike”.
Sejarah panjang penggunaan simbol itu di media sosial terentang sejak 2005 hingga sekarang. Banyak perdebatan baik di kalangan publik, di dalam internal perusahaan media sosial, maupun pengembang laman internet tentang pembuatan dan penggunaan tanda-tanda itu. Si pembuat sendiri kadang kebingungan dengan dampak dari simbol-simbol itu. Ada juga kasus yang berujung ke pengadilan karena penyalahgunaan simbol tersebut pada sebuah akun media sosial.
Platform berbagi video bernama Vimeo mengawali pencantuman tombol suka di platform mereka pada 2005. Tombol itu digunakan sebagai tanda favorit untuk konten-konten di dalam platform mereka. Vimeo mengakui bahwa tanda itu terinspirasi dari sebuah laman di internet. Facebook menggunakan tanda jempol besar ”like” mulai 2009 setelah pembahasan panjang mengenai tanda yang akan digunakan apakah tanda jempol itu, tanda plus, atau tanda bintang. Awalnya mereka sebenarnya ingin memaknai sebuah konten yang baik dengan ”awesome” (kagum) daripada ”like” (suka).
Pada 2010, Youtube yang sudah menggunakan tanda bintang (”star”) untuk tanda penilaian sebuah konten kemudian mengubah menjadi tanda ”like” dan ”dislike”. Alasan penggantian adalah ternyata tanda bintang 1 dan bintang 5 lebih sering digunakan daripada bintang 2,3, dan 4. Oleh karena itu, diputuskan tanda ekstrem satu (”like”) dan ekstrem satunya lagi (”dislike”). Twitter semula selain menggunakan tombol ”retweet” juga simbol bintang untuk menunjukkan konten favorit terhadap salah satu unggahan. Namun, kemudian pada 2015 agar tak membingungkan pengguna, Twitter mengubah kata ”favorite” menjadi ”like” dan tandanya diubah dari bintang menjadi tanda ”love” untuk konten yang disukai.
Pada 2016, Facebook menambah sejumlah tanda emotikon selain ”like”, yaitu ”love”, ”ha..ha..”, ”sad”, dan ”angry”. Selanjutnya, pada 2019 di dunia media sosial tanda-tanda itu mulai dirasakan memunculkan masalah. Instagram menyadari hal itu karena ternyata tanda ”like” diduga bisa membuat kecanduan pengguna. Banyak pengguna yang menunggu tanda itu dari pengikutnya. Tanda itu dinilai sebagai sebuah tanda penghargaan untuk konten yang dibuat. Di beberapa negara, Instagram membuat penelitian dengan menghilangkan tanda ”like” sementara. Hingga saat ini belum diketahui langkah lanjutan mereka terkait dengan riset itu. Kecanduan media sosial memang telah menjadi masalah di berbagai belahan dunia.
Kasus yang agak konyol tetapi juga memunculkan pertanyaan banyak pihak adalah ketika Youtube meluncurkan konten bernama Youtube Rewind 2018: Everyone Control Rewind. Konten ini masih terpasang di kanal itu dengan mendapat tanda ”like” hanya 2,8 juta, tetapi hingga pekan ini konten tersebut mendapat 18 juta tanda ”dislike”. Video ini dikenal sebagai video yang mendapat ”dislike” terbanyak di dunia, mengalahkan unggahan Justin Bieber yang berkolaborasi dengan Ludacris berjudul Baby yang juga mendapat respons kontroversial karena mendapat tanda ”dislike” 11,39 juta.
Atas kejadian yang memukul balik Youtube itu mereka kemudian memikirkan tindakan untuk melawan serangan pasukan ”dislike” atau yang di kalangan pengamat media sosial dikenal dengan dislike mob dan termasuk kemungkinan menghilangkan tombol ”dislike” di platform mereka. Sampai hari ini tombol ”dislike” masih ada. Mereka sendiri sejauh ini juga tidak membekukan serangan ”dislike” itu. Dalam kasus sebelumnya yang menimpa video Despacito, mereka sempat membekukan tombol ”dislike” selama enam jam. Tak diketahui alasan pembekuan itu hingga sekarang.
Dari beberapa kasus seperti di atas, kita menjadi penasaran dengan orang dan pasukan ”dislike” itu. Siapakah mereka? Pertama, kita harus realistis dan melihat secara nyata memang ada orang yang tidak suka dengan unggahan di media sosial. Beberapa konten memang membahayakan atau mengganggu sehingga layak mendapat tanda itu. Di banyak kasus, konten yang buruk juga akan mendapat tanda ini. Kedua, kebencian di media sosial memang mudah mewabah sehingga tanpa melihat isi mereka mudah sekali memutuskan untuk mengklik tanda ”dislike” di platform itu. Ketiga, ada dugaan orang yang dibayar untuk sekadar menekan tombol ”dislike” demi kepentingan tertentu, termasuk di dalamnya adalah dislike mob. Mereka merupakan kelompok yang terkoordinasi dan bahkan mudah disulut karena paham atau pengumuman tertentu. Dugaan ini muncul karena ada fenomena sebaliknya, yaitu orang dibayar untuk sekadar mengklik tombol ”like” di akun tertentu.
Di luar itu, muncul dugaan mengenai pasukan artifisial untuk memberikan tanda ”dislike”. Dalam sebuah diskusi virtual sempat muncul keluhan dari pemilik akun yang mengatakan, unggahan-unggahan lama mereka tiba-tiba mendapat ”dislike” dan jumlahnya melonjak. Meski demikian, sejauh ini tidak banyak diskusi tentang pasukan artifisial ini. Diskusi terbaru lebih menyoroti bisnis di balik ”like” dan ”dislike”. Beberapa orang menawarkan jasa untuk memfasilitasi kebutuhan orang akan tombol itu. Di Indonesia, bisnis ini secara terbuka sudah bermunculan dan banyak dipakai beberapa pesohor. Sejauh ini Youtube mempertimbangkan untuk menutup tombol itu, tetapi sebaliknya Facebook sempat mengumumkan untuk membuka opsi tombol ”dislike”. Alasannya, tidak semua momen adalah momen membahagiakan.
Perdebatan soal tanda atau tombol emosi itu pasti tidak akan berhenti. Usulan upaya untuk mengendalikan penggunaan tanda atau tombol itu dari kemungkinan penyalahgunaan juga terus dilakukan. Apalagi di balik tanda ini ada kepentingan lebih luas, yaitu kepentingan pemasaran. Bagi beberapa orang, tanda atau tombol itu mungkin tak bermakna, tetapi ternyata tanda atau tombol itu akan menentukan posisi sebuah konten dan tentu penghasilan para pemilik akun. Posisi ini akan menentukan para pemasang iklan menyandarkan merek di bagian tertentu di akun media sosial yang populer. Sebuah tanda atau tombol sangat bernilai bagi seorang pemilik akun yang mencari uang di media sosial. Tanda ”dislike” pasti akan merusak kepentingan mereka.
Sebuah kasus di Swiss mungkin bisa menjadi pelajaran bagi kita soal penggunaan tanda ”like” dan ”dislike”. Pada 2017, The Guardian memberitakan, seorang warga negara itu didenda 4.000 swiss franc oleh sebuah pengadilan regional karena membubuhkan tanda ”like” untuk sebuah komentar yang diduga merusak reputasi seseorang di sebuah akun Facebook. Tuduhan kemungkinan juga terkait dengan konten yang bernada rasisme. Jadi? Tanda ”like” dan ”dislike” tak sekadar simbol mati. Warganet perlu bertanggung jawab untuk setiap tindakan di media sosial, termasuk ketika memberikan kedua tanda di atas terhadap sebuah unggahan. Momen Detik-detik Proklamasi adalah acara kenegaraan yang harus dihargai. Bangsa ini lahir karena Proklamasi.