Pada era normal baru pemerintah perlu memprioritaskan pembangunan yang bersifat padat karya agar mereka yang kehilangan pekerjaan dapat kembali bekerja. Perluasan kesempatan kerja ini perlu disertai protokol kesehatan.
Oleh
Razali Ritonga
·4 menit baca
Badan Pusat Statistik (15/7/2020) mengumumkan, persentase penduduk miskin meningkat dari 9,41 persen pada Maret 2019 menjadi 9,78 persen pada Maret 2020, atau bertambah 1,28 juta orang.
Meningkatnya persentase penduduk miskin itu juga diikuti dengan memburuknya kedalaman dan keparahan kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan meningkat dari 1,55 (Maret 2019) menjadi 1,61 (Maret 2020). Sementara, indeks keparahan kemiskinan meningkat dari 0,37 (Maret 2019) menjadi 0,38 (Maret 2020). Semakin besar indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan, mengindikasikan kondisi kemiskinan yang kian memburuk.
Ditengarai, meningkatnya penduduk miskin yang disertai memburuknya kondisi kemiskinan itu terutama akibat dampak pandemi Covid-19 di Tanah Air sejak Maret 2020. Hal itu mengisyaratkan penduduk miskin berpotensi semakin bertambah besar setelah Maret 2020. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat secara virtual bersama Presiden Joko Widodo pada 14 April 2020 memperkirakan dengan skenario paling berat, penduduk miskin akan bertambah 3,78 juta orang akibat pandemi Covid-19.
Bertambahnya penduduk miskin akibat Covid-19 sekaligus mencerminkan turunnya daya beli masyarakat. Sebagian penduduk jatuh miskin karena tak mampu memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) makanan dan bukan makanan, yang besaran pengeluarannya di bawah garis kemiskinan (GK).
Bertambahnya penduduk miskin akibat Covid-19 sekaligus mencerminkan turunnya daya beli masyarakat.
GK pada Maret 2020 tercatat Rp 454.652/kapita/bulan atau Rp 2.118.678/rumah tangga/bulan dengan rata-rata anggota rumah tangga 4,66 (4-5 orang per rumah tangga). Penduduk dengan pengeluaran di bawah Rp 454.652/kapita/bulan dikategorikan miskin atau rumah tangga dengan pengeluaran di bawah Rp 2.118.678 merupakan rumah tangga miskin.
Dari komposisi pengeluaran pangan dan nonpangan yang mendasari GK, dapat dicermati bahwa sebagian besar atau hampir tiga perempat (74 persen) dari total pengeluaran rumah tangga dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Artinya, pengeluaran nonpangan hanya seperempat (26 persen) dari total pengeluaran rumah tangga.
Ditengarai, semakin menurun daya beli masyarakat, akan menyebabkan derajat kemiskinan semakin dalam dan parah. Secara faktual, hal itu terekam dari porsi pengeluaran untuk pangan yang semakin besar daripada porsi pengeluaran nonpangan.
Namun, semakin besarnya persentase pengeluaran pangan, bukan berarti pangan yang dikonsumsi akan semakin berkualitas. Hal ini mengingat dengan kemampuan daya beli yang kian menurun, pengeluaran rumah tangga akan terkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Bagi sebagian penduduk dengan daya beli yang rendah, untuk memenuhi kebutuhan pangan terpaksa menurunkan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Bahkan, tak jarang mengonsumsi pangan tidak layak, seperti nasi aking.
Kualitas hidup turun
Selain berpotensi memperburuk asupan gizi, besarnya porsi pengeluaran untuk pangan menyebabkan porsi pengeluaran nonpangan mengecil. Padahal, dari kelompok nonpangan itu salah satu aspek penting untuk dipenuhi ialah untuk pendidikan.
Pengeluaran untuk pendidikan penduduk miskin yang mengecil akibat daya beli yang menurun ditengarai menjadi lebih rendah daripada pengeluaran pendidikan pada GK. Pengeluaran untuk pendidikan pada GK Maret 2020 tercatat 1,96 persen di perkotaan dan 1,25 persen di perdesaan.
Padahal, dari kelompok nonpangan itu salah satu aspek penting untuk dipenuhi ialah untuk pendidikan.
Dengan asupan gizi yang menurun, dan pengeluaran untuk pendidikan yang semakin kecil, secara akumulatif akan menurunkan kualitas hidup penduduk miskin. Pada tahap lanjut, makin menurun kualitas hidup, akan makin rentan terserang penyakit yang justru kian membebani masyarakat dan pemerintah.
Beban bagi pemerintah itu, misalnya, dapat dicermati dari pengalaman India yang harus mengeluarkan dana 30 miliar dollar AS untuk mengatasi kekurangan zat besi penduduk miskin agar pulih dari ketakberdayaan (UNDP, Asia-Pacific Human Development Report, 2006). Selain perlu biaya besar untuk pemulihan, mereka yang terkena masalah kesehatan yang kian berat juga kian sulit diberdayakan.
Karena itu, pemerintah perlu bergerak cepat untuk mengatasi turunnya daya beli masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan bukan hanya dengan bantuan sosial, melainkan juga secara paralel perlu disertai dengan pemulihan pekerjaan, terutama bagi penduduk miskin yang kehilangan pekerjaan selama pemberlakuan pembatasan sosial. Sebab, jika hanya dengan bansos, khususnya bagi rumah tangga tanpa penghasilan akibat tak bekerja, bantuan itu masih jauh di bawah GK Rp 2.118.678.
Kerap terjadi untuk menambah kemampuan memenuhi kebutuhan hidup, penduduk miskin melakukan coping strategy, dengan berutang dan menjual barang berharga atau transfer dari pihak lain. Sepatutnya, hal itu dapat dihindari dengan berusaha dan bekerja sehingga memperoleh penghasilan untuk meningkatkan kemampuan daya beli.
Maka, pemerintah pada era normal baru ini sepatutnya perlu memprioritaskan pembangunan yang bersifat padat karya agar mereka yang kehilangan pekerjaan dapat kembali bekerja. Namun, perluasan kesempatan kerja itu perlu disertai dengan protokol kesehatan secara ketat.
Upaya peningkatan daya beli penduduk miskin melalui pembukaan kesempatan kerja amat penting untuk meningkatkan konsumsi penduduk miskin. Meningkatnya konsumsi penduduk miskin pada gilirannya akan berkontribusi positif bagi pengembangan kegiatan UMKM. Hal ini mengingat kegiatan UMKM umumnya berjalan seiring pola konsumsi yang didasarkan pada daya beli masyarakat, khususnya kelompok bawah.
Secara faktual, hal itu sekaligus mengisyaratkan bahwa bantuan modal untuk pengembangan UMKM ditengarai akan kurang efektif tanpa disertai dengan upaya peningkatan daya beli, khususnya pada penduduk miskin.