Pandemi Covid-19 akan menyebabkan pergeseran status sosial ekonomi dari miskin menjadi miskin kronis dan menimbulkan kelompok miskin baru. Rata-rata peluang untuk jatuh miskin dan rentan miskin mencapai 55 persen.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dampak pandemi Covid-19 terhadap kemiskinan di Indonesia tak terhindarkan. Tingkat kemiskinan dipastikan naik lagi dan jumlah penduduk miskin melonjak. Masyarakat rentan jatuh miskin.
Target kemiskinan 6,5-7 persen pada 2024, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, bisa meleset. Intervensi perlindungan sosial hanya bisa menahan laju peningkatan kemiskinan di Indonesia tidak terlalu tajam.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2019 sebanyak 24,79 juta orang atau 9,22 persen dari jumlah penduduk. Angka ini merupakan yang terendah, setidaknya sejak 2006, yang sebanyak 39,3 juta orang atau 17,75 persen dari jumlah penduduk.
Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Maliki dalam telekonferensi ”Pemanfaatan SEPAKAT untuk Pemulihan Ekonomi Dampak Covid-19 terhadap Sosial Ekonomi Daerah”, Rabu (24/6/2020), menyebutkan, tingkat kemiskinan di Indonesia pada akhir 2020 diperkirakan 9,7-10,2 persen dari jumlah penduduk di Indonesia. Angka kemiskinan itu 26,2 juta-27,5 juta orang.
Berdasarkan perkiraan itu, ada tambahan 3,9 juta penduduk miskin sepanjang tahun ini. Peningkatan kemiskinan dihitung berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 1 persen sampai dengan minus 0,4 persen pada tahun ini.
Rentan
Pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial berskala besar berdampak pada peningkatan kerentanan masyarakat untuk jatuh miskin. Penduduk di kelompok menuju kelas menengah berpeluang 55 persen menjadi kelompok rentan.
Adapun rata-rata peluang penduduk miskin menjadi miskin kronis 55 persen.
Mengutip riset World Data Lab yang dirilis pada Mei 2020, Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan peningkatan angka kemiskinan tertinggi akibat Covid-19, yaitu sekitar 3 juta orang. Peringkat pertama India, sebanyak 10 juta orang, diikuti Nigeria, yakni 8 juta orang.
”Pandemi Covid-19 menyebabkan pergeseran status sosial ekonomi dari penduduk menengah menjadi rentan dan dari penduduk miskin menjadi miskin kronis,” kata Maliki.
Berdasarkan riset World Data Lab, penduduk miskin ada di garis kemiskinan. Adapun miskin kronis adalah kelompok di bawah miskin.
Kelompok rentan dan miskin yang patut diperhatikan adalah rumah tangga dengan kepala keluarga pensiun, difabel, dan berpenyakit kronis. Selain itu, perlu diperhatikan juga rumah tangga dengan kepala keluarga yang bekerja di sektor informal dan berpendapatan rendah. Mereka harus mendapat intervensi perlindungan sosial agar tidak turun kelas.
Maliki menambahkan, laju peningkatan kemiskinan bisa ditekan dengan sistem perencanaan dan penganggaran berbasis analisis kondisi sosial ekonomi daerah terdampak Covid-19. Intervensi perlindungan sosial harus menggunakan data aktual dan akurat agar program tepat sasaran.
The Smeru Research Institute pernah menyampaikan, krisis sosial-ekonomi akibat pandemi Covid-19 mesti ditangani secara holistik, mulai dari penentuan sasaran bantuan, penyusunan mekanisme pendataan sasaran, hingga penyaluran bantuan.
Sementara proyeksi Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, pandemi Covid-19 berpotensi menambah 5,1 juta-12,3 juta penduduk di bawah garis kemiskinan pada triwulan II-2020. Penambahan ini berdasarkan risiko berat, lebih berat, dan sangat berat.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, mengentaskan rakyat dari kemiskinan perlu pendekatan tidak biasa. Daerah didorong memperkuat perencanaan berbasis bukti dari tingkat provinsi hingga desa/kelurahan.
Mengentaskan rakyat dari kemiskinan perlu pendekatan tidak biasa.
Bappenas merilis SEPAKAT sejak 2018, yang memuat data daerah dengan lebih dari 300 indikator mulai dari kesehatan, ketenagakerjaan, ekonomi produktif, fiskal daerah, pendidikan, akses layanan publik, hingga pendidikan. Sejauh ini SEPAKAT baru bisa digunakan 129 pemerintah kota/kabupaten dan 7 provinsi.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Pekalongan Yulian Akbar menambahkan, SEPAKAT memudahkan pemda untuk merumuskan kebijakan berbasis data. Pemda tidak perlu memasukkan karena data sudah tersedia.