Anggota legislatif DPR RI jangan meremehkan desakan untuk mengesahkan RUU PKS karena akan menurunkan kualitas demokrasi itu sendiri.
Oleh
Irine Hiraswari Gayatri
·5 menit baca
Pada 1 Juli 2020, politikus dari Komisi VIII DPR RI mengemukakan ”kerumitan pembahasan” Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS yang diusulkan pemerintah sejak 2016 sebagai alasan pencabutan dari daftar prioritas tahun 2020 meskipun telah ada desakan kuat untuk meloloskannya.
Alasan lainnya adalah masalah keterbatasan waktu pembahasan pada Oktober. Wakil Badan Legislatif (Baleg) DPR RI dari Partai Nasdem Willy Aditya menyebutkan bahwa Baleg DPR RI akan mencabut RUU PKS ke dalam Prolegnas 2021 (2019-2024).
RUU PKS ditentang partai politik berbasis agama, antara lain, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan PAN, dengan tuduhan RUU PKS mendukung legalisasi perzinaan dan orientasi seksual seperti lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT). Namun, ada dua anggota dewan perempuan, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo dari Partai Gerindra dan Diah Pitaloka dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang berusaha agar DPR meloloskan RUU tersebut.
Di luar, rakyat, termasuk akademisi, menyerukan agar RUU PKS yang berperspektif korban segera disahkan. Kelompok penolak pun bersuara dengan didukung organisasi keagamaan.
WHO mengartikan, kekerasan seksual adalah tindakan yang berkisar dari pelecehan verbal sampai penetrasi secara paksa, termasuk berbagai jenis paksaan dari tekanan sosial dan intimidasi yang menggunakan kekuatan fisik. Korban kekerasan seksual tidak mengenal jenis kelamin, profesi, agama, suku, dan kelas sosial. Pelaku kejahatan kekerasan seksual berasal dari berbagai kalangan, termasuk dari keluarga atau sosok yang dipercaya korban.
Berita media massa tentang kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa anak perempuan atau anak perempuan atau anak laki-laki, remaja atau orang dewasa, sangat mudah didapat. Contoh, kasus pelecehan seksual yang dialami puluhan anak putra altar oleh seorang pembina kegiatan misdinar di Gereja Katolik di Depok.
BPS pernah merilis kasus pemerkosaan yang mencapai 1.288 kasus pada 2018, 3.970 kasus pencabulan, serta 5.247 kasus kekerasan seksual. Namun, menurut Laporan Tahunan LPSK 2019 hanya 507 orang yang mempunyai akses terhadap perlindungan kekerasan.
Apa artinya angka-angka tersebut? Mengapa penundaan RUU ini terjadi pada konteks Covid-19 sebelum sesi SI MPR? Mengapa para anggota dewan perempuan (selain sosok itu) tidak bersuara keras saat ini?
Ada tiga argumen yang saya ajukan. Pertama, pemunduran legislasi RUU PKS ini mencerminkan banalitas patriarki sebagai cermin dari ideologi (kader) partai politik yang menolak di Komisi VIII sehingga meminggirkan suara legislator yang setuju.
Studi mengenai partai politik dan kepemiluan tidak terlalu menghiraukan dampak ideologisasi parpol terhadap keluaran berupa legislasi dari posisi kader dalam kursi perwakilan. Artinya, jika parpol dengan ideologi konservatif menguasai posisi pimpinan komisi maka akan sulit melahirkan legislasi yang progresif.
Kekerasan seksual mencerminkan ketimpangan jender yang merupakan pokok bahasan Komisi VIII DPR Bidang Agama dan Sosial. Wacana penolakan berkisar pada klaim bahwa RUU ini mewakili aliran liberal dan bertentangan dengan moralitas publik yang agamis.
Di sisi lain, kultur patriarkis masih kuat bercokol di sebagian kalangan politisi parpol. Namun, kader-kader partai berideologi religius-moderat serta nasionalis pun tidak bisa menguasai diskusi di komisi, dengan dukungan massa dan akademisi di luar Senayan.
Sampai detik ini belum ada terobosan kecuali pernyataan dari Rahayu, anggota legislatif Komisi VIII Gerindra bahwa RUU mungkin akan dibahas di Baleg. Ironisnya anggota Baleg DPR-RI asal Gerindra, Sodik Mudjahid - yang merupakan pengusul RUU Ketahanan Keluarga - sudah menyebutkan bahwa "penundaan RUU PKS perlu pro dan kontra terlalu besar”.
Kedua, gerakan sosial untuk mendukung RUU PKS ini tidak bulat. Di tingkat akar rumput logika politik elektoral pascapilpres 2014 dan 2019 masih menyisakan gerutuan. Bisa dibayangkan pengaruhnya sehingga tidak bisa menentukan kebijakan mana yang harus didukung secara lintas kelompok. RUU PKS ini adalah inisiatif DPR yang didukung untuk segera disahkan oleh pemerintah yang dipimpin oleh pemenang pemilihan nasional 2014-2019.
Ketiga, wacana keselamatan / keamanan individu dari kejahatan kekerasan seksual masih marjinal dalam peta legislasi Komisi VIII DPR RI Bidang Agama dan Sosial. Tak heran jika suara anggota legislatif perempuan Gerindra dan anggota legislatif perempuan dari PDI-P dalam mendesak pengesahan RUU PKS tidak mendapat dukungan luas dari kolega di parlemen bahkan dari Koalisi Perempuan di parlemen yang sifatnya lintas komisi.
Sahkan RUU PKS
Kekerasan seksual adalah masalah penting bagi para sarjana dan aktivis, baik dari perspektif teoretis maupun praksis. Di tingkat global pernah terjadi perdebatan di Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang apakah kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan ada pula pertanyaan tentang ruang lingkup konsep “persetujuan” dan efek politik dari kata “korban” dan frasa “menghormati kejahatan”.
Kekerasan seksual pernah digunakan sebagai instrumen dalam konflik dan perang, yang mendorong negara-negara merumuskan resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang ”Perempuan, Perdamaian dan Keamanan” yang diluncurkan Oktober 2000.
Dari sisi kebijakan nasional, pada September 2014, Indonesia mengadopsi resolusi tersebut dalam Kebijakan Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dalam Konflik Sosial dengan Kementerian PPPA sebagai ujung tombak pelaksananya. Rencana Aksi Nasional ini dipayungi oleh Perpres No 18/2014 dengan fokus pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dalam konflik sosial. Satu poin yang dicakup adalah penanganan kekerasan seksual di mana instrumen pengaduan kasus tersedia dari pusat hingga daerah lewat P2TP2A Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
Kekerasan seksual belum dianggap mengancam keamanan individu apalagi bangsa ini. Fakta tingginya angka kekerasan belum menjadi dasar pengesahan UU oleh anggota legislatif DPR RI sangat merisaukan.
Perlu diingat bahwa karakter kekerasan seksual yang lintas: bangsa, daerah, jenis kelamin, usia, kelas sosial, dan identitas. Maka, penanganan kejahatannya membutuhkan dasar pengesahan yang kuat, yaitu undang-undang. Anggota legislatif DPR RI jangan meremehkan desakan untuk mengesahkan RUU PKS karena akan menurunkan kualitas demokrasi itu sendiri.
(Irine H Gayatri Kandidat Doktor, Pusat Kajian ”Jender, Perdamaian, dan Keamanan”, Sekolah Ilmu Sosial, Fakultas Seni, Universitas Monash)