RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting diwujudkan karena negara dapat dianggap melanggar HAM dengan jadi pelaku langsung atau dengan pembiaran.
Oleh
Yuniyanti Chuzaifah
·4 menit baca
Di luring dan daring, bertebaran kekhawatiran bahwa Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) semakin dilupakan serta minim dibaca dan dijadikan acuan menavigasi berbangsa. CEDAW adalah konvensi tentang hak asasi perempuan, diratifikasi setidaknya 189 negara, termasuk Arab Saudi, Afghanistan, dan Mesir.
Sengaja saya sebut sejumlah negara Islam atau mayoritas Muslim untuk memberikan gambaran kepada mereka yang berasumsi bahwa HAM, termasuk CEDAW, dari Barat. Di antara anggota komite CEDAW saat ini ada Ms Tamader Al Rammah dari Arab Saudi, Naela Gabr (Mesir), Louiza Chalal (Aljazair), dan Nahla Haidar (Lebanon).
Tulisan ini ingin melihat dinamika CEDAW setelah 41 tahun dilahirkan PBB dan 36 tahun diratifikasi Indonesia, tema sentral yang dikembangkan komite CEDAW, dan pekerjaan rumah kunci bangsa kita.
Perkembangan CEDAW
Rekomendasi umum (general recommendation/GR) CEDAW serupa dengan ”fatwa- fatwa” HAM perempuan yang diformulasi para ahli dalam komite CEDAW di PBB. Diolah dari pengalaman dan laporan sejumlah negara, sebagai perluasan pemikiran dan rekomendasi untuk merespons berbagai isu krusial dan aktual tentang diskriminasi terhadap perempuan. Sejak dilahirkan oleh Majelis Umum PBB , 18 Desember 1979, dan berlaku efektif 3 September 1981, hingga saat ini sudah lahir 37 GR.
Isu kekerasan terhadap perempuan menjadi tema sentral, setidaknya melalui tiga Rekomendasi Umum atau GR. GR 12/1989 tentang kekerasan terhadap perempuan agar negara melakukan pencegahan dan penanganan serta dukungan bagi perempuan korban. Isu yang diangkat pada fase itu soal kekerasan seksual, kekerasan dalam keluarga, dan pelecehan di tempat kerja.
Tiga tahun kemudian muncul GR 19/1992, komite membuat definisi tentang kekerasan terhadap perempuan, menegaskan bahwa kekerasan merintangi perempuan untuk menikmati hak hidup dan kemerdekaan sebagai manusia. GR ini mengevaluasi bahwa laporan negara tidak mengorelasikan antara diskriminasi, kekerasan berbasis jender, dan pelanggaran hak asasi yang paling dasar, termasuk merespons isu pornografi, konflik, dan lain-lain.
GR 35/2017 tentang kekerasan berbasis jender terhadap perempuan menyempurnakan GR sebelumnya, merespons konteks era digital, peran nonstate actors, serta perlunya interseksi karena perbedaan identitas kerap membuat lapis diskriminasi dan kekerasan yang harus dicermati.
Tema-tema menarik lain dan kerap tak diketahui negara ataupun publik adalah GR 26/2008 tentang pekerja migran dan kecermatan perlindungan setiap tahap migrasi. Hak ekonomi dalam berbagai konteks, dari kesetaraan remunerasi pada nilai kerja yang selevel (GR 13), kerja tak berbayar, usaha rumahan dan kerja domestik yang tidak dihitung kontribusinya pada pembangunan (GR 16 dan 17), hingga hak ekonomi dalam perkawinan.
Isu yang diangkat pada fase itu soal kekerasan seksual, kekerasan dalam keluarga, dan pelecehan di tempat kerja.
Isu kesehatan dan praktik membahayakan mutilasi/sirkumsisi genital perempuan (GR 14) serta perempuan dan HIV/AIDS (GR 15). Isu disabilitas (GR 18), lansia perempuan (GR 27). Selain itu, ada GR 32 tentang pencari suaka dan stateless. Terakhir, GR 37 yang lahir 2018 tentang penanggulangan bencana untuk konteks perubahan iklim. Saat ini komite CEDAW sedang menggodok isu trafficking yang kian kompleks. GR tematik ini harus jadi acuan pengawalan CEDAW.
Membunyikan CEDAW
Apakah ada perempuan Indonesia yang duduk di komite CEDAW? Sejak 1982 sudah ada 138 anggota komite CEDAW, empat orang di antaranya perempuan Indonesia. Dr Ir Pudjiwati Sajogja menjabat 1987-1990, Guru Besar Sosiologi Perdesaan IPB yang menggantikan Ida Soakaman yang meninggal sebelum bertugas tahun 1987. Pada 1995-1998, ada Prof Sunaryati, profesor bidang hukum. Tahun 2001-2004 ada Sjamsiah Achmad, peneliti LIPI, berkarier di PBB bidang sains dan teknologi, dan setelahnya pernah menjadi komisioner Komnas Perempuan.
Bagaimana kontribusi Indonesia untuk memperkuat CEDAW selama 10 tahun terakhir? Komnas Perempuan dan CSO dari sejumlah wilayah konflik terlibat dalam melahirkan GR 30 tentang perempuan dalam berbagai konteks konflik. Awalnya diolah bersama perempuan dari wilayah konflik di Asia Pasifik, seperti Palestina, Bangladesh, dan Afghanistan. Dilanjut konsultasi dengan komite CEDAW hingga akhirnya disahkan.
Upaya ini sebagai bentuk membunyikan suara perempuan korban konflik agar ada pencegahan sistemik baik nasional maupun global. Selain itu, mendorong isu konflik masuk concluding observation pada Pemerintah Indonesia.
Untuk mendekatkan akses korban, ada pengalaman menarik. Saat Pramilla Paterrn, anggota komite CEDAW, ke Indonesia pada 2011, dipertemukan langsung dengan perempuan penyintas berusia 65 tahun. Ia terkagum karena usia sesepuh itu masih bertanya soal kemungkinan pengadilan internasional atas tragedi kemanusiaan yang buntu ditangani di dalam negeri.
CEDAW juga digunakan pegiat HAM perempuan untuk merespons isu kawin tangkap, perjuangan menaikkan usia perkawinan anak, membunyikannya di Mahkamah Konstitusi untuk isu migran, dan lain-lain.
Satu isu paling urgen adalah soal kekerasan seksual. Langkah apa yang sudah dilakukan negara untuk mencegah dan melindungi warganya dari kekerasan seksual? RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting diwujudkan karena negara dapat dianggap melanggar HAM dengan jadi pelaku langsung atau dengan pembiaran. Tak menyediakan perangkat perlindungan adalah bentuk negara melakukan pembiaran karena tahu, tetapi diam dengan tak mencegah. Ini PR terpenting jika mau hidupkan CEDAW.
Satu isu paling urgen adalah soal kekerasan seksual.
(Yuniyanti Chuzaifah Pegiat HAM Perempuan dan Mantan Komisioner Komnas Perempuan)