Selain politik hukum, substansi (legal substance, law formulation) RUU juga kemungkinan penyumbang ”sulit”-nya pembahasan RUU, setidaknya dari kacamata Komisi VIII. Bisakah persoalan ini dicari solusinya?
Oleh
R Valentina Sagala
·4 menit baca
Wakil Ketua Komisi VIII DPR mengatakan, pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sulit dilakukan saat ini. Komisi VIII mengusulkan RUU itu dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020 (Kompas, 30/6/2020). Sehari berikutnya, Rakor Baleg dengan pimpinan Komisi I hingga Komisi XI mengeluarkan RUU tersebut dari daftar Prolegnas RUU Prioritas 2020.
Pembentukan UU diatur dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Prosesnya tak semata prosedural. Di dalamnya terkandung proses politik hukum. Misalnya, siapa pengusul RUU, baik individu sendiri, bersama-sama, maupun fraksi.
Seorang anggota DPR atau fraksi pengusul tentu paham apa yang mesti disiapkan ketika ”memperjuangkan” RUU. Setidaknya sesuai norma yang berlaku, mereka harus menyiapkan naskah akademik dan RUU sebagai bahan pembahasan.
Ada lima tahap perjalanan dari RUU menuju UU: perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Dalam kasus RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), DPR telah menetapkan RUU masuk daftar Prolegnas Prioritas 2016, memutuskan sebagai inisiatif DPR 6 April 2017. Baleg DPR menyetujui draf RUU (versi 10 Februari 2017), selanjutnya disahkan jadi inisiatif usulan DPR dalam rapat paripurna.
Seorang anggota DPR atau fraksi pengusul tentu paham apa yang mesti disiapkan ketika ”memperjuangkan” RUU.
RUU kemudian dikirim ke pemerintah 6 April 2017 melalui surat No LG/06211/DPR RI/IV/2017. Menanggapi surat ini, Presiden Jokowi menerbitkan surat No R.25/Pres/06/ 2017, pada 2 Juni 2017, yang menugaskan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Mendagri, Menpan dan RB, serta Menkumham, sendiri atau bersama-sama, mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU. Surat Presiden disampaikan ke DPR bersama Daftar Inventaris Masalah (DIM) Pemerintah, awal Juni 2017.
Pada 22 April 2019 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak selaku leading sector pembahasan RUU diundang Sekjen DPR untuk menghadiri Rakor RUU Prioritas di DPR. Rapat menginformasikan, dari 54 RUU yang masuk Prolegnas, 20 diprioritaskan untuk dibahas dan disahkan, termasuk RUU PKS. Sekjen DPR juga menyampaikan isu-isu krusial RUU. Di DPR, RUU yang tadinya inisiatif Baleg ini ”terlempar” ke Komisi VIII DPR.
Pembahasan dimulai Agustus 2019. Terjadi setidaknya empat kali rapat, hingga akhirnya di masa sidang diputuskan belum disepakati untuk disahkan. Pada 27 November 2019, pimpinan Komisi VIII berkirim surat ke pimpinan Baleg DPR, memasukkan RUU PKS jadi RUU Prioritas 2020. Namun, dalam Keputusan DPR No 1/DPR RI/II/2019-2020 tentang Prolegnas Prioritas 2020, RUU ini diterangkan sebagai carry over. Dapat ditafsirkan, proses pembentukannya kembali dari awal, dengan naskah akademik dan RUU baru.
Belum jelas naskah RUU mana yang akan diusung DPR, pada 31 Maret 2020 pimpinan Komisi VIII berkirim surat ke pimpinan DPR perihal pembatalan RUU PKS sebagai usul inisiatif Komisi VIII. Jadi, sejak itu Komisi VIII sesungguhnya sudah membatalkan kedudukannya sebagai pengusul inisiatif RUU. Pimpinan DPR harus berkoordinasi dengan Baleg DPR untuk memastikan apakah Baleg bersedia membahas RUU ini bersama pemerintah. Jika ya, proses tahapan penyusunan harus segera dilengkapi.
Sayangnya, ini belum secara formal terjadi. Tak satu pun keputusan Baleg menyatakan RUU PKS ”diambil alih” Baleg. RUU PKS malah dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020 sehingga tak banyak yang bisa dilakukan. Apakah pasti masuk RUU Prioritas 2021? Jawabannya: tidak.
Laporan singkat rakor menegaskan, hal membahas dan menetapkan RUU PKS masuk Prolegnas RUU Prioritas 2021 akan dibahas dan ditetapkan Oktober 2020, sebelum penetapan RUU APBN. Karena itu, masyarakat sipil perlu terus mengawal.
Perdebatan substansi
Selain politik hukum, substansi (legal substance, law formulation) RUU juga kemungkinan penyumbang ”sulit”-nya pembahasan RUU, setidaknya dari kacamata Komisi VIII. Bisakah persoalan ini dicari solusinya? RUU inisiatif DPR yang dibahas tahun 2019 berisi 125 pasal (dalam 15 bab).
Perdebatan semasa pembahasan, antara lain, pertama, judul RUU. Perdebatan mulai dari soal apakah bisa kekerasan seksual dihapuskan, mengapa tak memakai istilah kejahatan seksual, sampai pada mengapa tak menggunakan judul yang memperlihatkan posisi negara hadir melindungi korban. Bisakah dicari judul RUU lain? Ya, bisa.
Kedua, negara hadir memberi perlindungan pada korban. Bisakah legal-drafting menerjemahkan kehadiran negara dalam materi muatan RUU PKS? Sebenarnya sudah dijawab RUU ini sendiri, yaitu melalui muatan materi pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban, dan penindakan pelaku, yang dikerangkakan sebagai wujud kehadiran negara dalam menghapus kekerasan seksual dan memenuhi hak korban.
Ketiga, sembilan tindak pidana kekerasan seksual. RUU merumuskan sembilan tindak pidana, yang perumusannya diurutkan dari yang ringan hingga paling berat, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Bisakah dipastikan agar ketika RUU ini menjadi UU, aparat penegak hukum dapat menegakkan pasal-pasal itu? Libatkan aparat penegak hukum untuk duduk bersama mengurai unsur-unsur perbuatan dari sembilan tindak pidana dalam RUU ini.
Keempat, tindak pidana dan ancaman pemidanaan harus disinkronkan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP/RUUHP). Ini tentu dapat dilakukan. Sekali lagi, perencanaan dan penyusunan hanya dua dari lima tahap pembentukan UU. Sepanjang proses itu, hemat saya, kesulitan yang utama adalah: korban-korban kekerasan seksual terus bertambah. Bagaimana negara hadir melindungi mereka?
R Valentina Sagala,Senior Independent Advisor on Legal, Policy, Human Rights.