Penundaan RUU Makin Perpanjang Daftar Korban Kekerasan Seksual
Perlindungan bagi perempuan dari kejahatan kekerasan seksual tak bisa ditunda-tunda lagi. Kejahatan traumatis itu agar mendapatkan hukuman berat.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Desakan dan dukungan percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual terus mengalir. Setelah pekan lalu sekitar 1.500 akademisi menyampaikan narasi dan surat terbuka kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, Senin (20/7/2020) giliran komunitas organisasi masyarakat sipil dan perseorangan menyampaikan orasi serta surat terbuka kepada Presiden dan Ketua DPR.
Penundaan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual makin memperpanjang daftar korban kekerasan seksual. Itu juga menunjukkan ketidakseriusan DPR dan pemerintah melindungi rakyat dari kekerasan seksual.
Kekerasan seksual merupakan perilaku biadab yang bertentangan dengan ajaran agama dan kepercayaan yang dijunjung tinggi masyarakat Indonesia. (Siti Musdah Mulia)
”Kekerasan seksual merupakan perilaku biadab yang bertentangan dengan ajaran agama dan kepercayaan yang dijunjung tinggi masyarakat Indonesia,” ujar Siti Musdah Mulia, mewakili aktivis organisasi masyarakat sipil.
Ia bersama koleganya, Olin Monteiro dan Kalis Mardiasih, membacakan surat terbuka tersebut mewakili suara aktivis organisasi masyarakat sipil dari berbagai generasi.
Secara historis, usulan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual muncul sebagai respons atas naiknya jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan. Data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan menunjukkan sepanjang 12 tahun terakhir kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat 792 persen atau naik delapan kali lipat.
Oleh karena itu, baik dalam surat terbuka maupun orasi, organisasi masyarakat sipil mendesak DPR segera mengagendakan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam masa sidang kelima DPR yang akan dilaksanakan pada bulan Juli hingga Oktober 2020. Mereka menilai tidak ada alasan bagi DPR untuk menunda proses legislasi RUU tersebut.
Surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani, yang diorganisasi oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) melalui publikasi media, ditandatangani oleh 128 aktivis organisasi masyarakat sipil dan perseorangan. Surat terbuka tersebut juga dipublikasikan di harian Kompas dan Tempo.
Mengetuk hati anggota DPR
Dalam orasi yang disampaikan perwakilan organisasi masyarakat sipil, berbagai kritik dan harapan ditujukan kepada DPR dan pemerintah, yang dinilai tidak peka terhadap nasib para korban kekerasan seksual yang terus meningkat, bahkan hingga masa pandemi Covid-19.
Alissa Wahid, putri Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 RI, yang juga Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, dalam orasinya mengangkat kasus kekerasan seksual yang dialami Mawar, perempuan remaja kelas III SMP di Sumatera yang disiksa dan diperkosa oleh sepuluh orang yang tidak dikenal selama tiga hari. Alissa dan kawan-kawan mengupayakan agar Mawar menjalani terapi di Jakarta.
”Orang lain mencari terapi dengan jalan sendiri-sendiri, bahkan mungkin sampai sekarang juga tidak menemukan solusi apa-apa. Mau sampai kapan Indonesia akan terus begini? Sampai kapan semua perempuan yang tidak berdosa menjadi korban kekerasan seksual?” ujar Alissa.
Ia mengajak semua pihak mendoakan para pemimpin dan penyusun undang-undang agar hatinya terbuka melihat kekerasan yang menimpa orang-orang lemah. Harapannya, agar mereka bisa segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Suara lantang juga disampaikan musisi Melanie Subono. Melanie mengatakan dirinya juga pernah mengalami kekerasan seksual dan tidak pernah mendapatkan ketenangan dan tidak merasa terlindungi.
Saya di sini bukan sebagai seniman, musisi, artis, melainkan sebagai perempuan yang ingin merasa terlindungi dan melindungi diri saya sendiri. (Melanie Subono)
”Saya di sini bukan sebagai seniman, musisi, artis, melainkan sebagai perempuan yang ingin merasa terlindungi dan melindungi diri saya sendiri,” ujarnya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama Anggia Ermarini menyatakan organisasinya mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Selama ini penyelesaian kasus kekerasan seksual sangat merugikan perempuan, bahkan sering berakhir dengan jalan damai, dan pasti tidak adil buat korban.
”Kekerasan seksual bagi perempuan adalah teror yang luar biasa bagi masyarakat. Maka penting aturan yang bisa memberikan rasa aman bagi semua warga,” ujar Anggia.
Abetnego Tarigan, Deputi Bidang Pembangunan Manusia Kantor Staf Presiden, yang hadir dalam orasi dan pembacaan surat terbuka kepada Presiden dan Ketua DPR tersebut mengatakan secara prinsip pemerintah mendukung proses RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Apalagi, kasus-kasus kekerasan seksual hingga kini terus terjadi.