Politik kekerabatan dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020 menjadi sorotan. Dari sudut pandang legalistik, bisa jadi politik kekerabatan tidak bermasalah.
Oleh
Editor
·2 menit baca
Politik kekerabatan dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020 menjadi sorotan. Dari sudut pandang legalistik, bisa jadi politik kekerabatan tidak bermasalah.
Begitu juga jika dipandang dari sudut hak sipil seseorang, kritik terhadap sejumlah anak, menantu, istri, atau keponakan ikut dalam pilkada seakan menjadi pembenaran. Itu hak mereka. Apakah mereka tak mempunyai hak berpolitik? Dalam sistem demokrasi, rakyat yang memilih. Jika rakyat tak suka, ya, tak usah dipilih. Demikian argumen yang dibangun.
Pilkada 2020 menjadi pertarungan para kerabat. Di Solo, putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, akan berkontestasi. Bahkan, Gibran menyingkirkan kandidat yang lebih dahulu diusung PDI-P Solo, Purnomo. Di Tangerang Selatan, berkontestasi Siti Nur Azizah, putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto). Putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindito Himawan Pramana, bertarung di Pilkada Kediri. Kerabat Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo juga ikut berkontestasi dalam pilkada.
Memang menjadi hak setiap orang, termasuk anak-anak pejabat, ikut berkontestasi dalam pilkada. Namun, masalahnya, adakah persaingan yang fair di kalangan internal parpol. Bagaimana kalangan internal partai menjelaskan seorang kader yang kebetulan anak pejabat langsung diusung menjadi calon kepala daerah, padahal mereka baru beberapa bulan sebagai kader.
Belum lagi jika gugatannya pada meritokrasi. Apakah gejala itu bukan semata-mata karena fenomena fraternization dalam tubuh oligarki. Saling mendukung untuk memperbesar kekuasaan. Gugatan itu tidak muncul seandainya ambang batas pencalonan kepala daerah tidak tinggi atau persyaratan untuk menjadi calon perseorangan dipermudah.
Namun, itulah magnet kekuasaan. Ketika kekuasaan sudah didapat, bagaimana mempertahankannya, bagaimana memperluas kekuasaan itu. Kekuasaan itu memesona, menggiurkan, memabukkan, sehingga orang akan lupa daratan dan akan menghalalkan segala cara untuk meraih, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan. Seorang pejabat boleh jadi sudah lupa dengan persepsi publik tentang dirinya atau lupa dengan apa yang telah dikatakannya ketika harus mencarikan jalan sanak keluarganya. Inilah aji mumpung.
Ada pepatah lama, honoris mutant mores. Saat manusia berkuasa, berubah pula tingkah lakunya. Melihat sejarah politik kontemporer, rasanya publik tidak perlu memuja berlebihan seorang pemimpin: sebagai pemimpin prorakyat atau pemimpin seperti apa. Mereka adalah manusia biasa. Politik itu transaksional. Siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana mendapatkan. Lupakan dulu politik ideal.
Di tengah tren bangkitnya politik kekerabatan, apa yang dikatakan Lord Acton relevan. Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Atau, apa yang pernah dinyatakan Sultan Hamengku Buwono IX, takhta atau kekuasaan itu untuk rakyat, bukan untuk sanak saudara.