Relasi yang panas antara AS dan China diperkirakan berlangsung lama. Situasi itu harus dihadapi dan diantisipasi oleh semua negara, termasuk Indonesia dan anggota ASEAN.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Relasi Amerika Serikat-China memasuki babak baru. Penutupan konsulat kedua negara dapat dilihat sebagai tanda perbedaan yang kian besar di antara mereka.
Sebelum terjadi penutupan Konsulat AS di Chengdu dan Konsulat China di Houston, ada berbagai peristiwa yang menunjukkan panasnya hubungan China-AS. Perang dagang yang dimanifestasikan dengan penerapan tarif impor di antara Washington dan Beijing bisa dilihat sebagai penanda utama.
AS juga mengajak negara sekutu tradisionalnya untuk tidak bekerja sama dengan Huawei dalam proyek jaringan 5G. Perusahaan teknologi China ini disebut dikelola oleh eksekutif yang berhubungan erat dengan penguasa China sehingga berpotensi memiliki celah teknologi yang memungkinkan Beijing menguasai data pengguna. Front persaingan AS-China pun terjadi di Laut China Selatan. Beberapa kali, AS mengirim pesawat dan kapal militer di wilayah yang diklaim China itu.
Sejumlah analis menyebut, memanasnya hubungan AS-China berakar pada penyebab lebih dalam, tak sekadar perdagangan atau klaim China atas Laut China Selatan yang mengusik AS. Penyebabnya terletak pada kebangkitan China yang sangat mungkin tampil sebagai adidaya untuk menggeser AS mengingat kekuatan ekonomi, teknologi, dan militer yang dimilikinya. Pada saat yang sama, ada perbedaan mendasar: AS mengusung liberal demokrasi, sementara China membawa sistem otoritarian dengan satu partainya. Dengan kata lain, persaingan keduanya bukan persaingan biasa.
Di tengah situasi itu, kebijakan AS terus mengeras terhadap China meski beberapa waktu lalu kedua negara sepakat untuk meredakan ketegangan di bidang perdagangan. Saat berpidato di The Richard Nixon Presidential Library and Museum, di California, Menlu Mike Pompeo menegaskan, jika menginginkan abad ke-21 yang bebas, dan bukannya yang diimpikan Presiden China Xi Jinping, paradigma lama untuk menjalin hubungan secara buta dengan China tak boleh dilanjutkan.
Apa yang disampaikan Pompeo bisa jadi hanya retorika menjelang pemilihan presiden AS, November nanti. Namun, seperti disebut laporan The New York Times yang mengutip Cheng Xiaohe, profesor Sekolah Studi Internasional di Universitas Renmin, Beijing, hubungan yang memburuk di antara kedua negara adalah keniscayaan. Menurut Cheng, apa yang terjadi kini antara China dan AS tak sekadar pertimbangan terkait pemilu, tetapi eskalasi alamiah hasil kontradiksi inheren atau melekat di antara kedua negara.
Kebijakan AS terus mengeras terhadap China meski beberapa waktu lalu kedua negara sepakat untuk meredakan ketegangan di bidang perdagangan.
Laporan yang sama menulis pula, hubungan AS-China sekarang mungkin tak akan berubah arah sekalipun jika Joseph R Biden Jr mengalahkan Trump pada November. Gagasan untuk mengarahkan kebijakan luar negeri AS ke arah persaingan dengan China mendapat dukungan dari Republik maupun Demokrat selama tiga setengah tahun terakhir.
Situasi itulah yang kini harus dihadapi dan diantisipasi oleh semua negara, termasuk Indonesia dan anggota ASEAN.