Kita semua selalu memiliki persoalan keseharian. Akan tetapi, persoalan yang dihadapi masyarakat miskin berbeda dan sangat khusus. Nancie Hudson (2016) menjelaskan melalui pengalaman pribadinya
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Kita semua selalu memiliki persoalan keseharian. Akan tetapi, persoalan yang dihadapi masyarakat miskin berbeda dan sangat khusus. Nancie Hudson (2016) menjelaskan melalui pengalaman pribadinya, betapa situasi miskin merupakan sebentuk trauma menyangkut identitas sosial bagi yang mengalaminya.
Betapa kemiskinan menyulitkan orang yang mengalaminya untuk membangun kehidupan selanjutnya. Hudson bercerita bahwa ia baru menyadari dirinya miskin saat usianya 7 tahun ketika ia mengajak teman-temannya datang ke rumahnya. Dalam perjalanan kaki menuju rumahnya, mereka melewati rumah-rumah masyarakat kelas menengah dan teman-temannya terus bertanya, ”Mana rumahmu? Yang itu, ya?” Ia bilang, ”Bukan, nanti, ya, masih di sana.” Sampai akhirnya di depan mereka ada rumah kotor berantakan di antara buangan sampah. Temannya bertanya, ”Hah, siapa yang tinggal di tempat sampah kayak begini, ya?”
Hudson menjawab, ”Itu rumahku.” Hudson merasa sangat terkejut dengan celetuk temannya, tetapi ia diam saja, pura-pura tidak mendengar. Ia melihat betapa kedua temannya juga sangat terkejut dengan wajah melongo. Mereka kemudian mencoba bermain di dalam rumah, tetapi suasana sudah berubah. Kesunyian menguasai mereka, semuanya diam saja.
Berbeda
Sejak saat itu, Hudson menyadari betapa ia dan ibunya, yang adalah orangtua tunggal, berbeda dari yang lainnya. Rumah mereka berbeda, makanan yang dimakan berbeda, baju yang dipakai berbeda. Tidak seperti teman-temannya yang serba berkecukupan, menjelang akhir bulan ia dan ibunya sering cemas apakah akan ada makanan untuk hari berikutnya.
Ia baru menyadari harus menggunakan kacamata minus, tetapi ibunya tidak mampu membelikan sehingga harus memperoleh sumbangan kacamata dari sekolah. Kadang ia ikut ibunya ke pasar, bukan untuk membeli berbagai keperluan, melainkan untuk mengantre dan berebut sumbangan.
Hudson menyadari betapa kemiskinan memisahkannya dari teman-temannya. Ia tidak lagi diajak bermain bersama, tidak diberi tahu ketika ada pesta. Jika pun diundang, ia bingung harus menggunakan baju apa untuk pergi.
Singkat kata, ia lulus juga dari sekolah menengah, bekerja sebagai staf administrasi, kemudian menikah dengan pacarnya yang juga berasal dari keluarga miskin. Suaminya bekerja penuh mencari nafkah, sementara Hudson memutuskan merawat anak tirinya sambil bekerja freelance.
Kecemasan konstan
Waktu berjalan dan suaminya mengeluh tidak tahan dengan atasannya yang sangat penuntut. Hudson memohon agar suaminya bertahan di pekerjaannya karena tidak mungkin mereka bertahan hidup hanya dengan pekerjaan Hudson yang sambilan. Akan tetapi, sangat mengejutkan, suatu hari suaminya pulang dan bilang, ia sudah tidak tahan lagi dan keluar begitu saja dari pekerjaannya.
Seperti dicemaskannya, suaminya tidak kunjung memperoleh pekerjaan lagi dan Hudson pun sulit memperoleh pekerjaan tetap. Mereka masuk lagi dalam jurang kemiskinan, selalu waswas tentang apa yang akan terjadi, banyak bertengkar, dan mencoba bertahan hidup dengan berhemat sekuat mungkin.
Suatu hari, Hudson sakit dan muntah-muntah. Ia minta dibelikan biskuit (seharga lebih kurang Rp. 25.000) untuk menenangkan perutnya. Suami menolaknya dengan alasan harus berhemat. Ia juga merasa sangat sakit hati ketika bercerita mengenai teman dekatnya yang mendadak meninggal dalam tidur. Suaminya malah melucu, ”Hei mungkin nanti kamu juga akan meninggal dalam tidur!”
Hudson langsung berpikir betapa mereka sungguh miskin dan kemiskinan mengubah segalanya. Bahkan, setelah merawat suaminya bertahun-tahun dan rela mengorbankan diri mengasuh anak tirinya, suami tidak rela membelikan biskuit saat ia sakit. Suaminya bahkan berfantasi lebih baik ia mati saja. Hudson mendadak merasa ketakutan. Tanpa pikir panjang, ia kabur naik mobil rongsoknya dan meninggalkan suami.
Seketika ia menjadi orang lontang-lantung tidak punya rumah. Ia menelepon saudara-saudari dan teman-teman. Tidak ada satupun yang bersedia memberikan tumpangan tempat tinggal sementara. Ia menyadari betapa selama ini ia harus tampil palsu di depan mereka, menunjukkan seolah-olah tidak ada masalah apa-apa, hidup bahagia bersama suami dengan kerja sambilan menulis. Ketika ia mengungkap fakta yang sesungguhnya, tidak ada orang yang bersedia membantu.
Cerita Hudson mengungkapkan, betapa kemiskinan adalah persoalan kesulitan untuk bertahan hidup hari demi hari. Kemiskinan membuat yang mengalami merasa kesepian dan terisolasi, tidak memiliki rasa aman, ditolak oleh lingkungan sosial, dan kadang putus asa bagaimana dapat keluar dari situasi itu.
Singkat kata, syukur bahwa akhirnya Hudson dapat keluar dari kemiskinannya. Saat menulis The Trauma of Poverty as Social Identity, ia baru saja menyelesaikan pendidikan doktor dari University of South Florida.
Pandemi Covid-19
Kompas, 16 Juli 2020, melaporkan bahwa, akibat terjadinya pandemi Covid-19, masyarakat yang bekerja di sektor informal rentan masuk dalam kemiskinan dan terperosok lebih jauh ke jurang ketimpangan yang makin dalam. Ini karena lapangan pekerjaan yang tersedia menurun amat drastis. Hanya akses dan penguasaan teknologi yang masih memberikan kesempatan orang untuk dapat menjalankan roda ekonomi.
Cerita Hudson dialami banyak orang di berbagai belahan bumi berbeda, termasuk warga masyarakat kita, apalagi di saat sekarang ini. Ada cukup banyak yang terjebak dalam utang dan ketergantungan; tak seberuntung itu untuk dapat melewati kemiskinan, apalagi dapat menyelesaikan pendidikan tinggi.
Kemiskinan sungguh dapat melumpuhkan. Oleh karena itu, menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua bagaimana agar bisa segera menghentikan pandemi dan membangun kembali ekonomi agar semua anggota masyarakat dapat bekerja, memperoleh nafkah, dan hidup layak.
Itu prasyarat agar semangat hidup dapat dibangun dan tercapainya sejahtera psikologis untuk kita semua.