Dalam perspektif budaya visual, fenomena lembaga pengajaran minus pendidikan menjadikan nalar kreatif dan imajinasi dalam otak peserta didik tumpul. Orientasi hanya karyawan bergaji besar.
Oleh
Sumbo Tinarbuko
·3 menit baca
Raibnya frasa ”berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia” dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi mengundang tanya. Dalam draf RUU itu ditulis, ”Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, diselenggarakan perguruan tinggi.’’
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2012, ”Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah, mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, diselenggarakan perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.’’
Penghilangan frasa ”berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia’’ diduga bermodus ekonomi, yakni untuk meraih modal finansial dari pihak asing.
Industri jasa pendidikan
Dihilangkannya frasa ”berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia” dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi menjadikan pendidikan sebagai industri dengan orientasi untung-rugi.
Peserta didik tersegmentasi dalam peruntukan yang sangat kontras. Hanya anak orang kaya yang sanggup membeli jasa industri pendidikan. Anak keluarga miskin terpinggirkan.
RUU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi akan mendekonstruksi tugas sosial institusi pendidikan tinggi menjadi lembaga pengajaran. Menoreh garis demarkasi hanya pada wilayah pengajaran. Lembaga pendidikan tinggi sebatas mengajarkan pengetahuan dan secuil keterampilan tertentu.
RUU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi membuat format ranah pendidikan bukan lagi upaya pengembangan intelektualitas. Ranah pendidikan bukan lagi tempat latihan laku kebijaksanaan yang berkeadilan sosial.
Akhirnya, ranah pendidikan tinggi kehilangan kekuatan sebagai wahana memperbesar aspek moralitas dalam perspektif kemanusiaan yang berbudaya. Lembaga pengajaran minus pendidikan kehilangan rahim kebijakan yang bebasis kebudayaan bangsa Indonesia.
Atas fenomena yang memprihatinkan itu, secara konotatif RUU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi tidak mampu melahirkan manusia unggul yang berkarakter dan berbudaya Indonesia.
Akibat ideologisnya, ia tidak mampu menjalankan proses regenerasi manusia unggul yang cerdas, santun, bermoral, dan berbudaya. Yang muncul hanya cetakan tenaga kerja murah.
Lembaga pendidikan tinggi diturunkan kastanya menjadi lembaga pengajaran, aktivitas belajar mengajar tidak lagi menjadi proses pengembangan diri melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan nalar kemanusiaan berkeadilan sosial.
Dalam perspektif budaya visual, fenomena lembaga pengajaran minus pendidikan menjadikan nalar kreatif dan imajinasi dalam otak peserta didik tumpul. Orientasi hanya karyawan bergaji besar.
Menghilangkan frasa ”berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia” adalah teroris sosial. Dalam praktiknya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi menjajah lembaga pendidikan tinggi.
Menghilangkan frasa ”berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia” adalah teroris sosial.
Untuk itu, harus terus-menerus dikumandangkan bahwa lembaga pendidikan tinggi tidak hanya sekadar pabrik yang memproduksi materi ajar dengan target nilai tinggi. Sejatinya pendidikan adalah manifestasi peningkatan kepekaan hidup berbudaya dan perluasan kepedulian sosial.