Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis mengambil langkah sigap dengan menonaktifkan Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo terkait kasus Joko S Tjandra.
Oleh
Editor
·2 menit baca
Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis mengambil langkah sigap dengan menonaktifkan Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo terkait kasus Joko S Tjandra.
Langkah sigap Kapolri patut diapresiasi dan diharapkan bisa menyelamatkan wajah penegak hukum dan wajah bangsa. Wajah penegak hukum babak belur dengan langkah buronan Joko Tjandra dan para kuasa hukumnya.
Sejak awal kedatangan Joko Tjandra ke Jakarta, mengurus KTP elektronik, mendaftarkan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta membuat paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara, memang menimbulkan pertanyaan. Status Joko Tjandra adalah buronan meski dalam sistem keimigrasian dan sistem catatan sipil tidak ada catatan dia sebagai buronan. Nama Joko Tjandra dalam daftar Interpol hilang. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan.
Bocornya atau dibocorkannya dokumen surat jalan yang ditandatangani Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bisa dibaca sebagai adanya dinamika internal dalam tubuh kepolisian. Begitu juga beredarnya ”percakapan chat” kuasa hukum Joko Tjandra, Anita Kolopaking. Anita mengaku telepon genggamnya telah diretas. Rangkaian ini mengindikasikan ada masalah serius dalam kasus Joko Tjandra.
Sesuai dengan dokumen yang beredar luas, Joko Tjandra diketahui memegang dokumen surat jalan. Berangkat pada 19 Juni 2020 dari Jakarta menuju Pontianak dan kembali pada 22 Juni 2020. Transportasi yang digunakan pesawat terbang. Pada 22 Juni 2020, Joko Tjandra diketahui membuat paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Dokumen dan surat-surat lain juga tersebar di media sosial.
Kita dorong Kapolri memeriksa secara menyeluruh semua pihak yang terkait dengan Joko Tjandra. Apakah memang Brigjen Prasetijo bekerja sendirian atau masih ada pihak lain harus diungkap secara tuntas. Mabes Polri harus menyelidiki siapa sebenarnya yang menghapus nama Joko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) Interpol sehingga bisa leluasa mendatangi kantor-kantor pemerintah. Di publik beredar sejumlah dokumen yang dikeluarkan Polri, termasuk soal hasil tes cepat Joko Tjandra. Apakah dokumen yang beredar itu valid dan benar, Polri harus memberikan tanggapan.
Apakah memang Brigjen Prasetijo bekerja sendirian atau masih ada pihak lain harus diungkap secara tuntas.
Advokat dilindungi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam membela klien. Kita berharap organisasi advokat juga menyelidiki kemungkinan terjadinya pelanggaran kode etik terhadap kuasa hukum Joko Tjandra. Dalam Pasal 16 UU Advokat ditulis, ”Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan”.
Kasus Joko Tjandra harus dijadikan momentum untuk membersihkan lembaga penegak hukum dari para ”pemain” yang menggunakan kasus ini untuk kepentingan lain. Guna memulihkan kepercayaan publik, semua pihak yang terlibat harus diungkap secara tuntas.