Laut China Selatan menjadi wilayah panas. Persaingan dan adu pengaruh terjadi di kawasan perairan itu. Kebangkitan China di berbagai bidang turut memicunya.
Oleh
EDITOR KOMPAS
·3 menit baca
Laut China Selatan menjadi wilayah panas. Persaingan dan adu pengaruh terjadi di kawasan perairan itu. Kebangkitan China di berbagai bidang turut memicunya. Klaim China terhadap Laut China Selatan menyebabkan perairan itu menjadi area yang panas.
Kehadiran Amerika Serikat (AS) dengan kekuatan militernya, serta persaingannya dengan China, juga termanifestasi di Laut China Selatan. Berada di Indo-Pasifik, area yang membentang dari ujung barat Samudra Hindia hingga sisi timur Samudra Pasifik, Laut China Selatan merupakan komponen penting di dalamnya. Hampir semua kebutuhan energi China diangkut lewat Laut China Selatan. Sebagian besar perdagangan global juga melalui perairan tersebut.
Dalam situasi itu, Beijing membuat klaim teritorial di Laut China Selatan sehingga memiliki sengketa wilayah perairan dengan empat anggota ASEAN, yaitu Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. AS, yang mengklaim dirinya berupaya memastikan prinsip kebebasan bernavigasi ditegakkan di Laut China Selatan, beberapa kali mengirim pesawat dan kapal militer ke wilayah sengketa itu. Beijing menuduh AS bertindak provokatif: memanas-manasi demi kepentingan sendiri.
Dengan Indonesia, China tak bersengketa teritorial, tetapi menyebut memiliki sengketa hak pengelolaan wilayah laut di perairan Natuna. Pertengahan bulan lalu, Indonesia mengeluarkan nota, sama sekali tak ada sengketa hak pengelolaan sumber daya wilayah Laut Natuna. Menurut Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, posisi Indonesia dalam isu Laut China Selatan sangat jelas dan berulang kali dinyatakan pada publik: di bawah Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) 1982 (UNCLOS 1982), tidak ada klaim tumpang tindih. Tak ada yang perlu dinegosiasikan dengan Beijing.
Upaya memegang teguh dasar hukum internasional, seperti UNCLOS 1982, dalam mencari solusi harus terus dipertahankan. Sikap ini juga disampaikan para pemimpin ASEAN akhir bulan lalu. ”Kami menegaskan kembali, UNCLOS 1982 adalah dasar menentukan hak maritim, hak berdaulat, yurisdiksi, dan kepentingan yang sah terhadap wilayah perairan. UNCLOS 1982 menjadi kerangka hukum untuk melaksanakan semua kegiatan di samudra dan laut,” ungkap pernyataan itu.
Sikap Indonesia yang selalu mengacu pada UNCLOS dan keketuaan ASEAN yang dipegang Vietnam (negara yang selama ini keras dalam menghadapi sengketa teritorial Laut China Selatan) dinilai berkontribusi terhadap kemunculan pernyataan para pemimpin ASEAN itu. Upaya selalu mengusung UNCLOS 1982 dalam menghadapi isu Laut China Selatan sangat penting karena menunjukkan ketegasan ASEAN, sekaligus sikap menolak konflik bersenjata.
Karena itu, wajar kiranya latihan militer yang diadakan China dan sebelumnya oleh AS, di Laut China Selatan, harus mendapat perhatian serius dari anggota ASEAN. Jangan sampai terjadi militerisasi di Laut China Selatan. Perbedaan klaim teritorial bukan alasan untuk terjebak pada konflik bersenjata, melainkan justru momentum memperkuat komitmen terhadap dasar hukum internasional, seperti UNCLOS 1982.