Sangat mungkin Covid-19 bisa juga mengubah tatanan kehidupan manusia di berbagai aspek dan perubahan itu menjadi normal baru. Apa bentuk normal baru akibat pandemi ini dalam diplomasi dan politik luar negeri?
Oleh
Darmansjah Djumala
·4 menit baca
Harian ini menurunkan tulisan Ninok Leksono tentang ”normal baru” (Kompas, 29/5/2020). Diungkapkan, normal baru adalah suatu ”tatanan baru” yang muncul akibat Covid-19 yang bersifat sementara, bisa juga permanen.
Sangat mungkin Covid-19 bisa juga mengubah tatanan kehidupan manusia di berbagai aspek dan perubahan itu menjadi normal baru, kebiasaan baru. Apa bentuk normal baru akibat pandemi ini dalam diplomasi dan politik luar negeri (polugri)?
Disadari spektrum isu diplomasi dan polugri luas sekali. Namun, dalam wacana akademik internasional, setidaknya ada dua isu menonjol dalam bahasan terkait dampak Covid-19 terhadap polugri, yaitu pelaksanaan diplomasi dan globalisasi.
Apa normal baru yang akan terjadi dalam diplomasi dan globalisasi? Pertama, terkait cara pelaksanaan diplomasi. Hubungan antarnegara pun ikut terdampak.
Seperti kegiatan manusia di bidang lainnya, pelaksanaan diplomasi harus menyesuaikan dengan protokol kesehatan yang diterapkan negara. Ambil contoh, kegiatan diplomasi multilateral PBB dan organisasi internasional lainnya di Vienna, Austria.
Seturut dengan imbauan otoritas setempat, PBB dan organisasi internasional terpaksa mengadakan sidangnya secara virtual. Persidangan virtual tak banyak berbeda dengan cara fisikal.
Meski hanya virtual, kehadiran negara anggota tak berkurang. Pun dalam bahasan substansi, delegasi tak terkendala dalam menyampaikan posisi resmi negaranya atas isu yang dibahas. Meski virtual, posisi resmi mereka tercatat dengan baik dalam notulensi sidang. Tidak beda dengan persidangan secara fisikal.
Meski virtual, posisi resmi mereka tercatat dengan baik dalam notulensi sidang. Tidak beda dengan persidangan secara fisikal.
Jika diukur dari aspek efisiensi waktu dan biaya, penyelenggaraan diplomasi secara virtual jauh lebih murah dan cepat. Banyak organisasi internasional, termasuk PBB, kesulitan keuangan karena menurunnya kontribusi negara anggota. Pada 2018, PBB krisis keuangan karena tunggakan kontribusi negara anggota mencapai 1,3 miliar dollar AS, 30 persen dari total anggaran yang dibutuhkan.
Kondisi ini jauh lebih buruk daripada 2017, dengan tunggakan kontribusi 22 persen. Dalam situasi seperti ini, PBB dan organisasi internasional perlu mempertimbangkan diplomasi virtual ini sebagai alternatif. Sidang yang hanya bersifat seremonial-formal dan tak ada unsur negosiasinya bisa dilakukan secara virtual.
Namun, untuk persidangan yang ada kegiatan negosiasinya, pertemuan harus dilakukan secara fisikal. Sebab, dalam negosiasi, selain butuh pemahaman substansi, negosiator perlu memahami psyche (suasana kejiwaan) dari negosiasi itu sendiri, yang hanya bisa diperoleh jika terjadi tatap muka dan melihat langsung gimik lawan negosiasinya. Persidangan seperti ini hanya akan efektif jika diadakan secara fisikal.
Persidangan resmi dan seremonial yang dilakukan secara virtual itu akan menjadi normal baru dalam diplomasi multilateral.
Normal baru-globalisasi
Kedua, Covid-19 juga bisa berdampak pada globalisasi. Globalisasi bisa dipahami dalam dua perspektif: sebagai proses dan sebagai tatanan. Sebagai proses, globalisasi merujuk perubahan cara negara berinteraksi di berbagai bidang yang dimungkinkan oleh kemajuan teknologi. Seiring kemajuan teknologi IT dan transportasi, proses globalisasi kian dalam dan luas, tecermin dari terkaitnya perdagangan global dalam satu mata rantai pasok dunia (global supply chain).
Covid-19 meledak justru pada saat globalisasi sudah berproses sedemikian dalam antar-negara. Akibatnya, terjadi disrupsi terhadap rantai pasok global karena banyak negara melarang ekspor alat kesehatan (alkes) dan bahan bakunya karena ingin memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Banyak yang khawatir, kebijakan melarang ekspor ini memutar balik arus globalisasi: negara kian proteksionis dalam perdagangan internasional, kebijakan yang mengingkari sabda globalisasi itu sendiri yang menitahkan liberalisasi dan perdagangan terbuka.
Pertanyaannya, apakah Covid-19 akan menciptakan normal baru dalam perdagangan internasional berupa terhentinya proses globalisasi akibat sikap proteksionis? Tentu tidak. Sebab, sebagai proses, globalisasi akan tetap bergerak dengan putaran spiral-vertikal berbanding lurus dengan kemajuan teknologi dan imajinasi manusia.
Covid-19 tak melahirkan normal baru dalam proses globalisasi. Ada atau tak ada Covid-19, globalisasi sebagai proses tetap berlangsung. Globalisasi tak berhenti karena pandemi.
Ada atau tak ada Covid-19, globalisasi sebagai proses tetap berlangsung.
Normal baru justru akan terjadi pada globalisasi sebagai tatanan. Globalisasi sebagai tatanan adalah sistem yang mengatur ekonomi perdagangan dunia berdasarkan kaidah hukum yang disupervisi oleh GATT-WTO.
Banyak pihak khawatir, meningkatnya politik dagang proteksionis (melarang ekspor alkes) akan menjadi normal baru dalam praktik dagang pasca-Covid-19. Apalagi pelarangan ekspor ini tak diharamkan dalam rezim perdagangan GATT-WTO. Seperti diatur dalam Artikel 11 Ayat 2, pelarangan ekspor boleh dilakukan sementara untuk mengatasi kekurangan kritis bahan pangan atau produk esensial lainnya.
Di samping itu, Artikel 21 menjustifikasi pelarangan ekspor untuk melindungi kepentingan keamanan terkait situasi perang dan keadaan darurat (security exceptions). Untuk memenuhi kebutuhan alkes di dalam negeri, apa boleh buat, banyak negara menerapkan larangan ekspor alkes.
Karena pelarangan ekspor memang tak dilarang dalam rezim hukum perdagangan GATT-WTO, bisa jadi perilaku proteksionis atas produk alkes ini akan menjadi normal baru dalam praktik perdagangan global. Ada keyakinan, wabah ini pasti berlalu.
Pandemi ini hanya sementara, selagi vaksin anti-Covid-19 belum ditemukan. Ketika wabah berlalu dan vaksin sudah tersedia, kebutuhan alkes di dalam negeri tak lagi mendesak. Negara tak perlu lagi melarang ekspor dan sikap proteksionis berkurang.
Pada situasi seperti ini, perdagangan global akan kembali seperti semula: mengikuti prinsip perdagangan terbuka seperti diatur GATT-WTO. Alhasil, normal baru berupa sikap proteksionis akibat Covid-19 hanya bersifat sementara.
Darmansjah Djumala, Diplomat Senior, Bertugas di Vienna, Austria; Dosen S-3 HI FISIP Universitas Padjadjaran