Normal Baru yang Konstruktif
Pandemi mengungkap segala macam persoalan institusional yang selama ini terpendam. Pemimpin yang bijaksana akan menyadari dan mengenali semua persoalan tersebut serta mengubahnya menjadi kekuatan.
Pandemi mirip sinar rontgen memotret kondisi semua organ dalam tubuh institusi politik, ekonomi, dan masyarakat yang selama ini terpendam di suatu negara.
Akhir-akhir ini hampir di seluruh dunia para ahli meramalkan kemunculan suatu kenormalan baru atau normal baru (new normal) seusai pandemi korona. Normal baru ini ditandai oleh tata hubungan baru antarinstitusi politik, ekonomi, dan masyarakat di tingkat nasional ataupun internasional.
Normal baru ini berbeda di setiap negara karena perbedaan jalinan hubungan institusional dalam menangani pandemi korona. Apa dan bagaimana jalinan institusional merespons pandemi korona dan seperti apa kecenderungan trayektori normal baru di Indonesia?
”Institutional drift”
Pandemi korona, seperti pandemi dan krisis besar sebelumnya, membawa guncangan dahsyat keseimbangan jalinan institusional. Guncangan ini mengungkap ke permukaan kekuatan dan kelemahan komponen di tubuh institusi politik, ekonomi, dan masyarakat yang selama ini terpendam.
Oleh karena itu, pandemi mirip sinar rontgen, memotret kondisi semua organ tubuh suatu negara. Organ atau komponen institusional tertentu mirip genetik atau sel, memainkan peran penting di saat pandemi dan bermutasi menjadi komponen baru seusai pandemi.
Mutasi komponen institusional ini oleh Acemoglu dan Robinson (2012) disebut institutional drift. Komponen ini juga sering disebut sebagai kelompok strategis karena bentuknya kecil, tetapi memainkan peran penting saat dan seusai pandemi. Peran kelompok ini berbeda di setiap negara karena ia bisa merusak atau sebaliknya menjadi motor penggerak perubahan yang konstruktif. Itulah sebabnya pandemi dipandang sebagai critical juncture, momen sangat menentukan menuju kenormalan baru suatu negara dan bahkan dunia.
Guncangan ini mengungkap ke permukaan kekuatan dan kelemahan komponen di tubuh institusi politik, ekonomi, dan masyarakat yang selama ini terpendam.
Konstruktif dan destruktif
Pandemi, bencana, dan krisis besar mengungkap dengan jelas kedalaman dan keluasan penderitaan manusia, kerja sama dan konflik antar-masyarakat, pemimpin politik, birokrat dan pengusaha, persekongkolan jahat antar-pemimpin, serta kecakapan pemimpin dalam menangani persoalan besar ini.
Pandemi flu 1918 melahirkan sekelompok dokter militer Amerika Serikat menemukan vaksin anti-flu. Mereka secara kontinu meneliti virus flu yang menjangkiti tentara Amerika dan sekutunya di Eropa yang sedang bertempur melawan tentara Jerman dalam Perang Dunia I. Seusai pandemi, terjadi revolusi pendidikan kedokteran di Amerika yang selama lebih dari satu abad tidak pernah berubah (Barry, 2004).
Baca juga : Mendesain Vaksin Covid-19
Tahun 1942, di tengah Perang Dunia II, sekelompok politisi Inggris menyusun ”Beveridge Report”, buku putih yang merupakan cikal bakal kemunculan negara kesejahteraan di Inggris seusai perang (Acemoglu, 2020). Awal abad ini, bencana tsunami Aceh memunculkan sekelompok pemimpin politik Indonesia mengakhiri perang saudara melawan Gerakan Aceh Merdeka.
Semua peristiwa ini menandai kemunculan kelompok strategis konstruktif yang membawa normal baru tata politik, ekonomi, dan masyarakat yang lebih baik. Sebaliknya, krisis ekonomi Yunani, sebagai bagian dari krisis ekonomi Eropa 2009, dibarengi kemunculan kelompok strategis destruktif, merusak lebih dalam ekonomi negara lewat korupsi.
Itulah sebabnya mengapa Yunani didera krisis paling lama, 10 tahun, dibandingkan dengan negara lain di Eropa.
Tiga kecenderungan
Tiga kecenderungan utama perlu diamati dalam mempelajari arah normal baru pasca-pandemi di Indonesia. Pertama, apakah jalinan institusional negara akan semakin rapuh atau kokoh dalam menangani kemungkinan bencana di masa depan? Pelajaran berharga dari pandemi korona ini adalah kegagalan institusional kelompok strategis di tubuh negara di awal upaya Indonesia membendung korona.
Kelompok ini tak memiliki dua kemampuan penting, yaitu memanfaatkan ilmu pengetahuan serta membangun kerja sama antara institusi negara, swasta, dan masyarakat dalam melawan korona. Oleh karena itu, muncul sejumlah kelompok mengusulkan pentingnya pemimpin yang memercayai ilmu pengetahuan dan mampu menggerakkan lembaga mitigasi bencana secara efektif di masa depan.
Norma baru pasca-pandemi akan diwarnai kecenderungan dominasi antara kerapuhan institusi negara dan ketidakpercayaan akan ilmu pengetahuan dengan keterandalan (robustness) institusional dan semaraknya ilmu pengetahuan dalam merumuskan kebijakan publik.
Baca juga : Vaksin: Komersial atau Sosial?
Kedua, apakah sistem politik akan semakin eksklusif atau inklusif? Sistem politik yang pertama cenderung mendominasi arena publik ditandai oleh mengecil dan bahkan menghilangnya partai oposisi dalam kancah kepolitikan di saat pandemi di Indonesia. Akibatnya, arena politik menjadi aliansi dominan elite politik dan elite ekonomi, sementara kelompok non-elite menjadi kekuatan pinggiran.
Kedua elite ini memiliki otonomi yang luas, mampu mengabaikan tuntutan masyarakat umum dan memiliki kecenderungan memprioritaskan kepentingan mereka sendiri. Perkawinan kedua jenis elite ini merupakan awal kemunculan sistem politik plutokratik (Milanisevic, 2019). Atau sebaliknya, justru yang akan mendominasi adalah sistem politik inklusif ditandai oleh peran kelompok strategis yang dapat menghambat laju perkembangan kekuatan plutokratik sekaligus mendorong peran kekuatan politik pinggiran untuk berkembang.
Pelajaran berharga dari pandemi korona ini adalah kegagalan institusional kelompok strategis di tubuh negara di awal upaya Indonesia membendung korona.
Semakin rendah solidaritas sosial dan kepercayaan kepada institusi negara, semakin kecil peran masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jika kecenderungan ini terus berjalan, sistem politik plutokratik akan semakin menancapkan pengaruhnya. Keberhasilan Korea Selatan, Taiwan, dan Vietnam tidak hanya ditentukan keterandalan institusi negara, tetapi juga solidaritas sosial masyarakat dan kepercayaan mereka terhadap keseriusan dan kecepatan institusi tersebut dalam memerangi virus korona.
Dua skenario
Bentuk normal baru Indonesia akan ditentukan oleh tingkat kelambanan dan kecepatan institusi politik dalam memenangi perang melawan korona. Semakin lama perang ini berjalan, normal baru yang akan muncul bersifat destruktif ditandai oleh dominasi kekuatan plutokratik, merosotnya kualitas institusi negara, dan ini yang merisaukan: menghilangnya masyarakat di arena publik.
Normal baru semacam ini ditandai oleh semakin tingginya angka pengangguran dan stagnasi ekonomi berkepanjangan. Kedua faktor ini dapat memicu munculnya pemimpin politik ekstrem. Munculnya Hitler, pemimpin fasis, sebagai kaselir Jerman 1933 adalah akibat krisis ekonomi berkepanjangan dan meluasnya pengangguran yang melanda negeri itu semenjak 1931 (Straumann, 2019).
Sebaliknya, jika perang melawan korona segera dapat dimenangi, akan muncul peluang normal baru yang konstruktif, menjanjikan masa depan Indonesia yang lebih baik. Normal baru ini ditandai oleh berkembangnya jalinan institusional yang inklusif, menyediakan kesempatan yang relatif sama kepada seluruh lapisan masyarakat untuk berkembang secara politik dan ekonomi.
Pandemi mengungkap segala macam persoalan institusional yang selama ini terpendam. Pemimpin yang bijaksana akan menyadari dan mengenali semua persoalan tersebut serta mengubahnya menjadi kekuatan pendorong kemajuan politik, ekonomi, dan masyarakat seusai pandemi.
Rochman Achwan, Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP UI.