Kepada istri saya yang tentu saja selalu membaca tulisan saya, saya bertanya sebaiknya saya menulis apa di koran. Dia bilang, ”Tulislah apa saja yang penting jangan tentang korona. Orang telah jenuh dan seperti katamu sendiri, banyak yang mulai kesurupan korona dengan berbagai macam gejala,” ujarnya.
Saya akui, seandainya tidak ada literaturalias sastra sebagai produk kebudayaan sekaligus teman terbaik manusia, sulit membayangkan bagaimana nasib kewarasan saya. Novel yang oleh sebagian orang dipercaya ikut membentuk, khususnya, kebudayaan Eropa, membantu menguatkan saya menghadapi era digital yang terus terang saya kurang punya nyali menghadapinya.
Dalam masa yang menurut saya setengah kiamat, beberapa teman mengundang untuk berdiskusi melalui saluran internet dengan berbagai aplikasi, termasuk istilah yang bagi saya terasa asing, webinar. Dengan sesopan-sopannya saya menolak, bukan karena tidak ingin srawung, tapi tidak terbiasa bahkah takut. Sama ketakutan saya menggunakan kartu ATM di luar negeri, takut kartu tertelan mesin, sampai istri saya memperingatkan: tidak apa kartunya tertelan asal bukan kepalamu yang tertelan.
Tanpa disiplin, tanpa memperlakukan waktu dengan jadwal ketat, bukan kita menguasai waktu, tapi waktu menguasai kita.
Sehari-hari di rumah kecuali hari Rabu seminggu sekali keluar berbelanja bahan makanan di Bogor, selain makan dan tidur kegiatan saya adalah bersih-bersih rumah, membaca, menulis, dan mengolah badan. Membaca dan menulis saya hayati sama sebagai mengolah badan untuk menjaga otak dengan sistem neuronnya yang kompleks. Tatkala otak beku, badan menggerakkannya. Itu saya pelajari dari guru saya, Gunawan Rahardja. Gulingan, perintahnya.
Begitu pun sebaliknya, ketika tubuh malas (bahasa anak sekarang mager—malas gerak), otak tidak boleh dibiarkan memanjakannya. Tubuh harus didisiplinkan, istilahnya disiplin badan, politik tubuh. Jangan percaya pada hasil, kata Guru, tetapi pada disiplin. Kalian melatih badan bukan agar tidak sakit, menjadi hebat, bukan agar tidak mati, tetapi agar tidak sengsara.
Tanpa disiplin, tanpa memperlakukan waktu dengan jadwal ketat, bukan kita menguasai waktu, tapi waktu menguasai kita. Kita kehilangan alasan, menjadi bosan, lama-lama kesurupan. Kalau mau meditasi, meditasi terbaik sepengetahuan saya adalah tidur.
Badan, pikiran, bahasa adalah sesuatu yang berkaitan. Salah satu di antaranya terganggu akan terjadi konslet memengaruhi semuanya. Saya tidak menyertakan roh, biarlah itu menjadi urusan para ahli roh, kerohanian, surga, yang di negeri ini sangat banyak ahlinya.
Baca juga : Membaca Bahasa Tubuh
Membaca karya sastra, sebagian mengulang membaca kembali karya yang sebelumnya telah saya baca berulang-ulang, menguatkan keyakinan saya bagaimana kata-kata melahirkan kenyataan, tidak seperti dibayangkan banyak orang bahwa bahasa sekadar alat untuk menggambarkan kenyataan. Franz Kafka dengan kekuatan kata-katanya melahirkan apa yang tidak ada menjadi ada. Gabriel Garcia Marquez—ia mengagumi Kafka dan James Joyce—melahirkan karya-karya besarnya tampaknya dengan cara mengikuti irama kata-kata yang dia biarkan mengalir laksana air bah. Karya-karya jurnalistiknya kaya imajinasi seperti karya-karya sastranya.
Pujangga dari negeri sendiri seperti Rendra mengungkap gejala tersebut dengan rumusan yang bernas: hadir dan mengalir. Selain menjadi bagian dari sajaknya, kata-kata itu merupakan bagian dari krida tubuh ketika dia menjadi murid Suhu Subur Rahardja. Langit di luar, langit di dalam, bersatu dalam badan, kata Rendra yang kegantengannya mengingatkan pangeran pada karya Federico Garcia Lorca dalam imajinasi saya.
Baca juga : Utopia Sebuah Kota dan Sesuatu yang Nyata
Disiplin serupa dimiliki Pramoedya Ananta Toer. Saya pernah mewawancarainya dan dia menceritakan meski di rumah dalam menulis ia laksana kerja kantoran: tiap pagi sehabis mandi berpakaian rapi melakukan kerja kepengarangan. Boleh juga kalian bertanya kepada Putu Wijaya yang produktif luar biasa. Saya menduga produktivitasnya sejalan dengan disiplin hidup yang terjaga. Tidak ada tempat bagi manusia malas.
Saya tidak peduli dengan istilah normal baru, norma baru, tatanan baru, atau apa pun yang ditetapkan oleh sebuah otoritas termasuk penguasa. Selamanya saya tidak pernah percaya pada yang namanya penguasa. Menjaga jarak dengan penguasa, kritis, dan selalu santun, nasihat Pak Jakob Oetama yang saya cintai. Menurut saya, kita harus memelihara kewarasan, di antaranya dengan cara membaca sastra.