Sinergi Fiskal dan Moneter
Hasil kebijakan moneter bukanlah ilmu pasti, melainkan banyak dipengaruhi ekspektasi masyarakat dan dunia usaha. Di sinilah perlu komunikasi yang terpadu antara otoritas fiskal dan moneter dan tetap jaga kehati-hatian.
Pandemi Covid-19 adalah krisis yang belum pernah dialami oleh dunia modern. Dampak pandemi Covid awalnya menghantam sektor kesehatan. Namun, karena harus dilakukan lockdown, aktivitas usaha di berbagai sektor berhenti secara mendadak sehingga krisis kesehatan berakumulasi menjadi krisis ekonomi. Untuk menangani wabah, pengeluaran di sektor kesehatan harus ditambah.
Berhentinya aktivitas ekonomi telah menurunkan penerimaan pemerintah. Pendapatan masyarakat terpukul sehingga bantuan sosial kepada penduduk miskin harus diperluas. Insentif pajak dan cukai juga harus diberikan untuk membantu dunia usaha. Karena terbatasnya anggaran, pengeluaran pemerintah yang tidak prioritas harus dipotong.
Turunnya penerimaan dan naiknya pengeluaran berakibat menggelembungnya defisit anggaran pemerintah. Selanjutnya, naiknya defisit membuat utang pemerintah meningkat. Namun, problem ini juga dialami oleh sejumlah negara.
Pembiayaan defisit dan stimulus
Di Indonesia, akibat krisis Covid-19, pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini diperkirakan jatuh 24 persen, sedangkan belanja negara meningkat 8 persen. Akibatnya, defisit APBN diperkirakan meningkat, sebelum pandemi hanya sekitar 1,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) menjadi 6,3 persen PDB (sekitar Rp 1.039 triliun). Demi kehati-hatian, UU Keuangan Negara membatasi defisit APBN maksimum 3 persen PDB dan total utang pemerintah maksimum 60 persen PDB.
Selama ini pemerintah selalu menjaga defisit APBN tak pernah melampaui batas 3 persen PDB dan utang pemerintah sekitar 30 persen PDB. Namun, dalam situasi krisis, tentu perlu kebijakan tersendiri. Itulah sebabnya pemerintah mengajukan kepada DPR kenaikan batas pelebaran defisit APBN di atas 3 persen PDB sampai akhir 2022. Jika defisit APBN tak boleh meningkat, tak ada ruang menangani krisis Covid-19. Karena utang pemerintah sebelum krisis Covid-19 sekitar 30 persen PDB, dengan melebarnya defisit APBN ke 6,3 persen PDB, utang pemerintah akan meningkat ke 36-37 persen PDB.
Ini bukan kondisi normal, apalagi krisisnya bersumber dari virus penyakit yang sulit diprediksi kapan akan berakhir. Defisit APBN mungkin saja masih akan meningkat jika penerimaan lebih buruk daripada perkiraan dan pengeluaran pemerintah bertambah untuk penanganan krisis Covid-19.
Baca juga : Defisit APBN Melebar, Waspadai Perebutan Likuiditas Pemerintah-Swasta
Yang terpenting kita harus siap dengan anggaran dan instrumen yang cukup untuk penanganan krisis ekonomi. Kita bersyukur jumlah kesembuhan pasien terus meningkat dan jumlah kematian terus menurun. Naiknya defisit anggaran akibat krisis Covid-19 dialami semua negara. AS beberapa kali harus merevisi defisit anggaran.
Sekuritas global Goldman Sachs memperkirakan defisit anggaran AS melonjak signifikan dari 4,6 persen PDB pada 2019 menjadi 21 persen PDB pada 2020, setara 4,2 triliun dollar AS (sebagai perbandingan, ekonomi Indonesia sekitar 1 triliun dollar AS). Akibatnya, utang Pemerintah AS akan bertambah dari 79 persen menjadi 100 persen PDB. Contoh lain, dalam rangka pemulihan ekonomi, Singapura tahun ini harus juga beberapa kali merevisi defisit anggarannya, yang memburuk ke level tertinggi menjadi 15,4 persen PDB, padahal pada 2019 hanya defisit 0,3 persen PDB.
Pembiayaan ekonomi Indonesia banyak bergantung pada modal asing, baik dalam bentuk kredit, investasi portofolio, maupun penanaman modal asing.
Berhentinya aktivitas ekonomi membuat investor pasar keuangan panik pada Maret-April lalu. Investasi portofolio keluar dari Indonesia sekitar 9 miliar dollar AS, terutama di pasar surat berharga negara (SBN). Akibatnya, rupiah melemah signifikan walaupun ditahan oleh BI, bahkan kurs hampir menembus Rp 17.000 terhadap dollar AS.
Memburuknya imbal hasil SBN akan menaikkan biaya utang Indonesia.
Cadangan devisa turun pada Maret. Imbal hasil (yield) SBN meningkat menembus 8,2 persen walaupun juga sudah ditahan BI dengan pembelian SBN di pasar sekunder. Memburuknya imbal hasil SBN akan menaikkan biaya utang Indonesia.
Sesuai dengan mandatnya, BI harus melakukan stabilisasi kurs, menggunakan cadangan devisa. Pada waktu melakukan stabilisasi kurs, sebenarnya BI menyerap likuiditas rupiah karena harus jual dollar, beli rupiah. Agar likuiditas tidak mengetat, BI melakukan injeksi ulang rupiah ke pasar dengan cara membeli SBN di pasar sekunder sekaligus menahan pemburukan imbal hasil SBN.
Baca juga : BI Serap SBN untuk Jaga Likuiditas Pasar Keuangan
Pemerintah terbantu karena imbal hasil SBN tidak melambung lebih tinggi. Sementara perbankan terbantu karena likuiditas rupiah diinjeksi kembali oleh BI. Akibat upaya stabilisasi kurs, pada Maret cadangan devisa turun 9,4 miliar dollar AS, terjadi kontraksi likuiditas setara Rp 140 triliun. Untuk menetralisasi likuiditas, menurut info di media, BI membeli SBN di pasar sekunder sekitar Rp 166 triliun.
Selain terkait stabilisasi kurs dan pasar SBN, sinergi otoritas fiskal dan moneter dibutuhkan dalam rangka membiayai pembengkakan defisit fiskal. Dalam kondisi normal, defisit APBN dibiayai oleh gabungan investor dalam negeri dan investor portofolio asing. Namun, dalam situasi yang tidak normal seperti saat ini, investor asing berkurang banyak. Siapa yang bisa mendanai peningkatan defisit APBN?
Peran bank sentral dan moneter
Sektor perbankan terbatas kemampuan dananya karena rasio kredit terhadap deposit atau simpanan dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR) sudah 94 persen, artinya 94 persen deposit sudah terpakai menjadi kredit. Dana pensiun, asuransi, dan reksa dana ukurannya hanya sekitar 40 persen dari deposit perbankan, itu pun dananya sudah diinvestasikan. Jadi, sumber dana pembiayaan peningkatan defisit APBN harus bergantung pada bank sentral.
Baca juga : Covid-19 dan Momentum Mengubah Struktur Ekonomi
Tanpa adanya dana bank sentral, krisis ekonomi tak bisa tertangani. Itulah kenapa di peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang baru disahkan jadi UU, BI diberi kewenangan membeli SBN dari pasar perdana. Pada waktu BI melakukan pembelian SBN di pasar sekunder dan pasar perdana, itulah yang disebut pencetakan uang. Di luar negeri, ini disebut quantitative easing (QE), dilakukan oleh bank sentral di AS, Eropa, Inggris, dan Jepang dengan cara membeli berbagai surat berharga dalam rangka memberi stimulus pada perekonomian.
Jadi, istilah pencetakan uang bukanlah mencetak uang kertas, melainkan bank sentral menciptakan uang giral. Untuk memulihkan ekonomi, BI sudah menurunkan suku bunga ke 4,5 persen. Dengan inflasi saat ini sekitar 2,5 persen, tampaknya masih ada ruang penurunan suku bunga asalkan ada selisih positif 1 persen di atas inflasi. Sebagai negara dengan defisit ekspor impor (current account deficit/CAD), rupiah harus dibuat menarik, suku bunga harus di atas inflasi.
Baca juga : Menkeu dan Gubernur BI Akan Terbitkan SKB Baru untuk Pembiayaan Pemulihan Ekonomi
Pembiayaan defisit fiskal oleh bank sentral harus tetap dalam koridor kebijakan moneter yang berhati-hati. Jangan sampai tambahan uang beredar menimbulkan inflasi dan melemahkan rupiah. BI dan pemerintah sebaiknya menghitung bersama berapa inflasi dan CAD tahun ini dan tahun depan. Namun, dalam ekonomi yang masih resesi pada 2020, penambahan jumlah uang beredar tampaknya belum akan terpakai sebagai kredit sehingga belum akan menimbulkan inflasi dan tidak membuat pemburukan CAD pada 2020-2021.
Pada saat yang tepat, BI akan perlahan menarik kembali rupiah yang berlebih. Beban bunga utang pemerintah agar dibantu tidak melonjak signifikan. Tujuan bersama adalah bagaimana membantu pendanaan fiskal, terutama pada tahun ini sambil tetap menjaga peringkat utang (credit rating) Indonesia.
Hasil kebijakan moneter bukanlah ilmu pasti, melainkan banyak dipengaruhi ekspektasi masyarakat dan dunia usaha. Di sinilah perlu komunikasi yang terpadu antara otoritas fiskal dan moneter bahwa sinergi kedua institusi tetap dalam koridor kehati-hatian (prudent).
Menurunkan defisit APBN kembali ke bawah 3 persen PDB pada 2023 merupakan tantangan tersendiri karena memerlukan peningkatan penerimaan pajak dan cukai. Maka dari itu, upaya pemulihan ekonomi haruslah disertai dengan terus mendorong deregulasi agar banyak bisnis baru berkembang dan datang ke Indonesia.
Kita bersyukur bahwa koordinasi yang baik antara otoritas fiskal dan moneter telah ditangkap positif oleh pasar keuangan. Pada minggu pertama Juni, imbal hasil SBN tenor 10 tahun sudah turun ke 7,2 persen, investor asing mulai berminat membeli SBN, kurs membaik signifikan ke Rp 14.200, dan pasar saham bergairah kembali. Mari kita bersama percepat pemulihan ekonomi sambil tetap menjaga protokol kesehatan.
Mirza Adityaswara, Ekonom, Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI.