Transportasi dan Adaptasi Kebiasaan Baru
Betapapun beratnya, tantangan itu harus kita hadapi bersama sesuai prinsip ”berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing” dalam tradisi kegotongroyongan kita. Hal ini membutuhkan dukungan dari para seluruh stakeholder.
Menindaklanjuti instruksi Presiden Jokowi terkait new normal (normal baru), pemerintah terus mengkaji tahapan, pola, dan waktu yang tepat untuk menerapkan normal baru sesuai dengan data dan fakta di lapangan.
Kementerian Perhubungan bekerja sama dengan sejumlah universitas, yakni UGM, UI, ITB, dan ITS, telah melaksanakan sejumlah kajian dan menghasilkan policy paper dari berbagai sudut pandang sebagai bahan-bahan penyusunan kebijakan.
Pandemi Covid-19 merupakan satu ujian amat berat yang harus dihadapi bangsa kita. Upaya mitigasi bencana Covid-19 yang dilakukan sering harus berbenturan arah dengan upaya peningkatan kualitas kehidupan (aktivitas sosial ekonomi) dan penghidupan (mata pencarian) masyarakat. Pembatasan sosial dan pergerakan penumpang melumpuhkan aktivitas sosial ekonomi, juga membuat sektor transportasi secara umum mati suri.
Di subsektor transportasi udara, sejak awal tahun ini jumlah penumpang dan frekuensi penerbangan (flight) internasional dan domestik terus menurun, bahkan sedemikian drastis. Pada bulan Maret, April, dan Mei, bisnis/industri penerbangan semakin mendekati titik nadir atau ”titik ambyar”-nya (shut down point). Untuk April saja, menurut BPS, jumlah penumpang turun sangat tajam, yakni 81,7 persen, dibandingkan dengan bulan sebelumnya atau turun 85 persen dibandingkan dengan April 2019.
Bandara-bandara tampak sepi dan maskapai penerbangan semakin banyak mengandangkan pesawatnya. Demikian pula subsektor perkeretaapian, SDP, pelayaran penumpang kapal laut, dan bus AKAP/AKDP, bahkan angkutan umum dan ojol, semua mengalami turbulensi (guncangan) berat. Meski demikian, di tengah pandemi, sektor transportasi masih harus tetap beroperasi secara minimal untuk misi-misi kemanusiaan dan mempertahankan rantai pasok logistik.
Secara prinsip, selama vaksin belum tersedia, kendati penyebaran Covid-19 relatif terkendali, keadaan tak akan kembali biasa seperti prapandemi. Sejumlah pakar bahkan menyebut pandemi Covid-19 akan menjadi endemi sebagaimana HIV dan ebola. Satu-satunya senjata paling ampuh untuk melawan Covid-19 adalah membatasi kontak antarmanusia sebisa mungkin dan berperilaku higienis sebaik mungkin.
Implikasinya, kitalah yang harus beradaptasi dengan keadaan. Perilaku bertransportasi akan berubah dari old normal menjadi new normal. Para pengguna dan penyelenggara/operator transportasi perlu beradaptasi dengan kenormalan/kelaziman/kebiasaan baru dalam bentuk prosedur atau protokol baru berbasis kesehatan dan kebersihan (higiene) serta spacing atau physical distancing.
Sektor transportasi mengalami pergeseran paradigma dari lama ke baru. Selama ini salah satu fungsi utama transportasi di masyarakat adalah mempertemukan warga secara tatap muka atau jadi fasilitator interaksi sosial. Kini fungsi itu terhenti sebagai akibat restriksi-restriksi di seluruh dunia. Secara bersamaan sektor transportasi dituntut terus berfungsi dalam mendukung pergerakan orang dan barang. Rantai pasok harus terus bergerak untuk menekan dampak ekonomi.
Secara umum, normal baru memiliki setidaknya dua keuntungan. Pertama, protokol kesehatan akan menjaga Indonesia dari ancaman pandemi (berkelanjutan). Kedua, mendukung keberlangsungan negara dari berbagai sisi dan mencegah berbagai masalah baru, seperti krisis fiskal, ketahanan pangan, dan gangguan sistem pendidikan.
Tantangan normal baru
Menyongsong penerapan normal baru di sektor transportasi, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi. Pertama, penerapan protokol kesehatan dan physical distancing menjadi tantangan baik bagi regulator/fasilitator, operator prasarana/sarana, maupun pengguna transportasi, terutama transportasi publik.
Regulator perlu menyiapkan pedoman sekomprehensif mungkin dalam penerapan protokol kesehatan untuk diturunkan menjadi SOP oleh para operator. Pada subsektor transportasi udara, operator bandara harus meningkatkan sarana, seperti helm pintar, hand sanitizer otomatis, robot ultraviolet, penyemprot disinfektan, memasang tunnel ultraviolet ber-conveyor belt untuk mendisinfeksi koper para penumpang, dan lainnya.
Operator bandara perlu menyiapkan tiang-tiang stainless berpita untuk mengatur antrean berjarak 1,5 meter antar-penumpang dan mengatur pengisian tempat duduk di ruang tunggu agar berjarak 1,5 meter antar-penumpang. Sejumlah langkah prosedural akan jadi ritual baru bagi penumpang, antre chek in berjarak, pemindaian panas tubuh, memakai masker, cuci tangan sesering mungkin, dan tak menyentuh wajah.
Penumpang yang akan masuk ke wilayah DKI harus berbekal surat izin keluar masuk (SIKM) yang dapat diperoleh secara daring. Calon penumpang pesawat diharapkan datang ke bandara jauh lebih awal (3-4 jam sebelum keberangkatan pesawat).
Pada subsektor transportasi laut dan SDP, operator pelabuhan ataupun kapal penyeberangan/pelayaran harus menerapkan protokol kesehatan dan physical distancing, termasuk penambahan peralatan perlindungan kesehatan pekerja pelabuhan dan awak kapal, serta dekontaminasi bangunan pelabuhan dan kapal. Demikian pula pada subsektor perkeretaapian, bus (kota, AKAP, AKDP).
Stasiun kereta/MRT/LRT, terminal/pul/halte bus, perlu menyiapkan sarana/prasarana untuk penerapan protokol kesehatan, disinfeksi, dan physical distancing. Implikasinya, biaya modal/operasional meningkat.
Kedua, penerapan physical distancing dengan pengisian tempat duduk hanya 50 persen kapasitas jadi tantangan berat operator sarana transportasi. Dari sisi permintaan, kebijakan restriksi membatasi jumlah penumpang, sedangkan dari sisi suplai, penerapan physical distancing membatasi jumlah kursi yang tersedia bagi penumpang. Tanpa penyesuaian tarif, ini berpengaruh besar pada ketahanan/keberlanjutan finansial operator transportasi dan pengembalian biaya investasi.
Di sisi lain, penyesuaian tarif berdampak terhadap daya jangkau masyarakat/penumpang. Tantangan lebih berat lagi akan dihadapi oleh operator transportasi/penyedia jasa transportasi berskala kecil dan mikro (feeder, speedboat, angkutan kota, dan ojol).
Ketiga, digitalisasi menjadi strategi untuk meminimalkan kontak fisik antarmanusia sekaligus tantangan dalam pengelolaan prasarana/sarana transportasi. Pada subsektor transportasi udara, upaya digitalisasi diwujudkan dengan meningkatkan penggunaan e-ticketing, pemeriksaan tanpa kontak, e-luggage tag, e-boarding pass, otomatisasi disinfeksi di bandara, dan lainnya.
Pada subsektor transportasi laut, pelabuhan tetap beroperasi untuk menjaga rantai pasok dengan meningkatkan digitalisasi (dokumentasi digital) dan otomatisasi dalam proses transportasi logistik yang meliputi pergudangan, lapangan penumpukan, dan stevedoring (membongkar muatan dari kapal ke dermaga atau dari truk ke kapal). Demikian pula digitalisasi di subsektor perkeretaapian dan bus (kota, AKAP, AKDP) sertaSDP dapat meminimalkan kontak antarmanusia sekaligus meningkatkan kinerja operasional. Implikasinya, biaya modal dan operasional juga meningkat.
Antar-pemangku kepentingan
Pengendalian Covid-19 dan implementasi normal baru di sektor transportasi menghadirkan tantangan-tantangan berat. Namun, tanpa fase ini, kita tak bisa melangkah maju, hanya berjalan di tempat atau bahkan mundur. Tanpa sektor transportasi, mesin pertumbuhan ekonomi tak akan berputar.
Betapapun beratnya, tantangan itu harus kita hadapi bersama sesuai prinsip ”berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing” dalam tradisi kegotongroyongan kita. Hal ini membutuhkan kolaborasi dan saling dukung dari para pemangku kepentingan, baik pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan dunia industri, perguruan tinggi, maupun organisasi masyarakat madani.
Perguruan tinggi sangat diharapkan meningkatkan perannya, terutama melalui kegiatan penelitian dan pengembangan, dalam rangka mitigasi dampak Covid-19 dan penerapan normal baru.
Kita perlu membangun sistem transportasi berbudaya higienis (transportasi humanitarian) dan meminimalkan kontak fisik, lebih terdigitalisasi, dan lebih terdesain secara adaptif meski tarif transportasi publik cenderung lebih mahal atau perlu subsidi lebih besar dari pemerintah. Namun, kita optimistis, normal baru, termasuk di transportasi, akan memberikan hikmah dalam merestrukturisasi ekonomi nasional.
(Budi Karya Sumadi Menteri Perhubungan RI)