Riset ”World’s Most Literate Nations Ranked” tahun 2016 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Indonesia harus bekerja keras untuk memperbaiki minat baca warganya.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Riset ”World’s Most Literate Nations Ranked” tahun 2016 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60, dari 61 negara, dalam hal minat baca.
Riset itu dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity, Amerika Serikat (AS), dan dikutip Badan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Menurut data tersebut, minat baca rakyat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 warganegara Indonesia, hanya seorang yang rajin membaca.
Banyak pihak di negeri ini meragukan hasil riset itu. Nyaris empat tahun kemudian, belum ada temuan baru di Indonesia yang membantah data itu. Bahkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) awal tahun 2017, mengutip data Wearesocial, menyatakan orang Indonesia bisa menatap layar gadget tidak kurang dari sembilan jam dalam sehari.
Riset Nielsen Media Research 2018 juga menemukan warga Indonesia yang disurvei menghabiskan waktu tak kurang dari 4 jam 53 menit untuk menonton televisi dan 3 jam 14 menit berselancar di internet tiap hari. Untuk membaca surat kabar hanya 31 menit dan 24 menit membaca majalah, sedangkan mendengarkan radio tak kurang 2 jam 11 menit setiap hari.
Aktivitas membaca masih yang terendah di Indonesia. Tradisi menonton lebih dominan. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015 menemukan 91,47 persen anak usia dini lebih suka menonton televisi, dan tak lebih dari 13,11 persen yang suka membaca. Kebiasaan membaca, apalagi membaca buku, mendapatkan tantangan yang luar biasa.
Sesungguhnya berbagai upaya menumbuhkan minat baca banyak dilakukan, seperti mendirikan sejumlah perpustakaan komunitas. Pada 2018, juga digelar Gerakan Nasional Orangtua Membacakan Buku (Gernas Baku) bagi anak-anaknya, sehingga kebiasaan membaca tumbuh sejak dini. Namun, gerakan itu tak banyak bergaung di masyarakat. Meskipun, data dari berbagai sumber tahun 2018 menunjukkan penjualan buku cetak meningkat dibanding tahun sebelumnya.
Merebaknya pandemi Covid-19, yang diikuti dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB): bekerja dari rumah, di rumah saja, dan belajar di rumah, sebenarnya memunculkan harapan minat baca akan tumbuh. Ketika di rumah saja, warga membutuhkan aktivitas baru. Baca buku bisa menjadi pilihan.
Namun, seperti diberitakan harian ini, Senin (18/5/2020), industri perbukuan Indonesia mendapat tekanan dan tantangan berat. Pasar lesu dan toko buku tutup. Penerbit pun berusaha menggenjot penjualan buku lewat jaringan internet (daring).
Industri perbukuan Indonesia mendapat tekanan dan tantangan berat.
Di Indonesia, data tahun 2017 menunjukkan ada 1.368 penerbit anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), dari sekitar 8.800 penerbit. Tentu penerbit harus bersatu, berkampanye bersama agar publik kembali menengok buku khususnya, dan barang cetakan lainnya sebagai teman melewati pandemi.
Dukungan nyata pemerintah tentu sangat diharapkan. Kebijakan belajar di rumah, misalnya perlu diikuti dorongan membaca buku, koran, atau referensi lain. Gerakan membaca perlu digelorakan kembali. Tanpa gerakan bersama, tradisi membaca bisa menjadi tinggal kenangan.