Penguncian kegiatan publik lewat pengurungan diri masyarakat karena Covid-19, sukarela atau karena aturan, telah menghentikan aktivitas perekonomian. Banyak negara ingin segera melakukan relaksasi. Perlu kehati-hatian.
Oleh
Simon Saragih
·4 menit baca
Covid-19 tidak beda dengan flu biasa. Demikian hasil riset Stanford University pracetak bulan lalu. Disebut pracetak karena riset ini sebenarnya masih harus diuji rekan sejawat atau lembaga sejawat. Belum final dan kemudian terbukti mendapatkan banyak kritikan, tetapi laporan ini sudah menyebar.
”Kelompok kanan sudah langsung menyebarkannya,” demikian dituliskan harian The New York Times, edisi 14 Mei 2020. Publikasi yang dipaksakan para pendukung Presiden AS Donald Trump ini menyeruakkan publikasi mentah tersebut.
Kekalutan dan ancaman terhadap perekonomian, yang bisa jatuh lebih dalam dan merugikan secara politik, yang mungkin mendorong kaum kanan menyebarkan publikasi tersebut. Lepas dari itu, pandemi ini memang merupakan dilema besar bagi perekonomian. Penguncian kegiatan publik lewat pengurungan diri masyarakat, sukarela atau karena aturan, telah menghentikan aktivitas perekonomian.
Oleh karena itu, bukan hanya Trump yang ngotot melakukan relaksasi. Sejumlah negara di Eropa, seperti Inggris dan Jerman, juga mulai menggelar relaksasi.
Hanya saja, relaksasi bukan sebuah pilihan yang disetujui para ahli virus. Dr Anthony Fauci, ahli virus terkenal dan Direktur Nasional Institut Alergi dan Penyakit Infeksi AS, menegaskan, tidak sepantasnya liga basket AS dijalankan segera. Hingga vaksin ditemukan, kesaksamaan soal relaksasi harus menjadi pegangan. Agar penularan tidak kembali berkembang eksponensial.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengingatkan, pelonggaran bisa memunculkan gelombang kedua penularan. WHO juga menegaskan, Covid-19 bisa bertahan hingga 4-5 tahun mendatang.
Reaksi berlebihan
Hanya saja model perhitungan matematika soal penularan Covid-19 memperlihatkan sisi yang lain. Kalkulasi seperti ini merupakan bagian dari cara melihat pola pergerakan penularan.
Kalkulasi spontan dilakukan Dr Michael Levitt saat melihat kenaikan penularan yang tinggi di Provinsi Hubei, China, yakni 30 persen per hari. ”Angka ini menakutkan dan jika terjadi seperti itu dalam 90 hari, seluruh dunia sudah terjangkiti,” kata Levitt, dosen di Stanford University dan penerima Hadiah Nobel Kimia 2013.
Rupanya angka pertumbuhan berubah pada Februari 2020. Berdasarkan model kalkulasinya, Levitt memberikan pesan kepada China, ”Tidak usah panik, segera mereda.” Levitt bahkan memprediksi kasus penularan di China pada kisaran 80.000 orang dan tingkat kematian pada kisaran 3.000 orang lebih.
Kalkulasi ini membuat Levitt menjadi terkenal di China karena analisisnya diterjemahkan secara viral ke dalam bahasa Mandarin. Setelah China, tak lama kemudia dunia dihebohkan penularan serupa. Levitt dan timnya melakukan kalkulasi terhadap perkembangan penularan Covid di berbagai negara.
Levitt berbicara soal Irlandia. Negara ini ada di urutan ke-28 soal kasus Covid terbanyak per 18 Mei. Ada 24.112 kasus dengan total fatalitas 1.543 orang dan 19.470 pasien sembuh. Terhadap Irlandia, Levitt mengatakan tingkat kematian di Irlandia pada kisaran 2.500 orang dan segera hilang.
Levitt juga menyatakan tanpa ragu bahwa penguncian aktivitas terlalu berlebihan. Hanya saja, dia setuju perlu dilakukan protokol, seperti penggunaan masker, penjagaan jarak, dan pengujian. Levitt memuji Jerman dan Swedia, serta mengatakan Austria dan Australia salah dengan kebijakan penguncian ketat. ”Sebab merugikan secara ekonomi,” katanya.
Profesor Yitzhak Ben-Israel, juga ahli sains, teknologi, dan keamanan, menyatakan telah melakukan kalkulasi tersendiri tentang pola Covid. ”Data berbicara dengan sendirinya, ada sebuah pola yang pasti: setelah enam pekan grafik mulai menurun dan kemudian ada penurunan,” katanya. Yitzhak mengatakan, dengan atau tanpa pengetatan mobilitas, pola penularan dan penurunan relatif serupa.
Mantan Direktur WHO Profesor Karol Sikora, seorang ahli onkologi dan pejabat medis di Rutherford Health (Inggris), juga mengatakan bahwa pandemi, ”Akan berakhir dengan sendirinya.”
Alasannya, ada kesempatan nyata bahwa virus hilang sendiri. ”Kami melihat pola yang sama di mana-mana. Kita harus memperlambat penularan, tetapi akan hilang sendirinya,” kata Sikora.
Kekebalan komunitas
Tidak persis seperti melandaskan pemikiran pada kekebalan komunitas (herd immunity). Ini sebutan bagi pola, yang intinya penularan relatif dibiarkan dan akan ada yang sembuh dengan sendirinya. Ini pola yang terasa tidak manusiawi.
Levitt mengatakan bahwa faktanya memang warga lebih banyak yang sembuh sendiri meski belum ada vaksin dan penularan tidak bertumbuh secara eksponensial. Dia juga mengatakan, penularan memiliki keterbatasan.
Levitt dan Sikora tetap melihat upaya pelambatan penularan merupakan hal urgen. Meski demikian, reaksi berlebihan yang menjadi masalah.
Akan tetapi, kegamangan tetap mengemuka di mana saja dan oleh siapa pun pada umumnya di dunia ini. Hal inilah yang menimbulkan ketegangan dan memicu perdebatan secara global.
Ada dilema antara perekonomian yang menjadi taruhan dengan pembatasan sosial berskala besar dan lockdown yang dijalankan di banyak negara. Peringatan virolog dan WHO masuk akal. Akan tetapi, ada kekhawatiran bagi para pemimpin Jerman hingga AS dan Inggris tentang efek PSBB terhadap perekonomian.
Dan, fakta lain, pertumbuhan penularan tidak eksponensial serta ada kesembuhan di dunia mencapai 1,7 juta orang dari total 4,8 juta yang terinfeksi. Jika terlalu kaku dengan PSBB, bukan dipantangkan, tetapi lebih pada tingkat kekakuannya, taruhannya adalah pada daya dukung anggaran negara yang pasti ada batasnya, terutama untuk anggaran bagi jaring pengaman sosial. AS dan Eropa memiliki utang dengan persentase yang tinggi.
Sains sedang dalam situasi dan waktu yang begitu menantang untuk menjawab kemelut mendunia ini. Isu ini juga mau tidak mau berpotensi merembet ke isu politik pemerintahan.