Kepentingan umum, selain beberapa alasan lain, seyogianya menjadi alasan rahasia kedokteran itu dapat dibuka. Sebaliknya juga dapat menjadi pertimbangan informasi itu ditutup.
Oleh
Asvi Warman Adam
·5 menit baca
Ketika wabah korona melanda Indonesia sejak Februari 2020, muncul tuntutan agar identitas pasien dibuka untuk umum. Tujuannya untuk mencegah penularan virus itu secara masif. Identitas pasien yang disebut nomor 01 dan 02 diketahui publik, bahkan alamat rumahnya. Bagi mereka secara pribadi, ini beban psikologis. Untunglah ibu dan anak itu akhirnya sembuh dan berbicara di depan televisi soal cara mereka melewatkan masa karantina yang berat itu.
Dewasa ini, gugatan uji materi (judicial review) disampaikan secara daring kepada Mahkamah Konstitusi tentang beberapa pasal dalam Undang-Undang mengenai Praktik Kedokteran (2004), Rumah Sakit (2009), dan Tenaga Kesehatan (2014). Rahasia kedokteran adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya.
”Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan pasien, memenuhi persyaratan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasar ketentuan perundang-undangan”. Pasal itu dinilai menghalangi kepentingan konstitusional para pemohon untuk mendapatkan informasi mengenai pasien Covid-19. Jika informasi itu dibuka, para pemohon dapat mencegah diri mereka atau setidaknya meminimalkan potensi tertular.
Sekarang, setiap hari diumumkan berapa orang yang terjangkit, berapa yang sembuh, dan meninggal. Namun, case fatality rate, persentase antara yang meninggal dan jumlah kasus bisa menyesatkan jika tak semua atau hanya sebagian kecil kasus yang dilaporkan. Fataity rate bukan death rate (membagi jumlah yang meninggal dengan jumlah penduduk).
Rahasia kedokteran adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya.
Kasus era Orde Baru
Kasus rahasia kesehatan pertama terjadi pada masa Orde Baru ketika enam jenderal dan seorang perwira tewas akibat Gerakan 30 September 1965. Visum et repertum terhadap mereka dilakukan, tetapi tidak diumumkan kepada publik. Sementara itu, beredar cerita tentang penyiksaan luar biasa terhadap mereka berupa aksi di luar asas kemanusiaan.
Dusta ini lama sekali dipercaya khalayak. Namun, Ben Anderson menemukan visum et repertum (naskah lampiran dalam berkas perkara Mahmilub Heru Atmodjo diserahkan kepada sebuah perpustakaan di AS). Anderson menulis pada Jurnal Indonesia, Cornell, April 1987 dan menyatakan ada kebohongan. Jadi, rahasia kesehatan itu puluhan tahun ditutupi sehingga merugikan masyarakat dari sisi pengetahuan.
Beberapa tahun kemudian, sekitar 1968 sampai 1970, terdapat lagi rahasia kesehatan yang tak diketahui umum. Soekarno yang dapat dikatakan ditahan di Wisma Yaso tak dirawat sebagaimana mestinya. Resep obat yang ditulis dr Mahar Mardjono hanya disimpan di laci. Ia cenderung gagal ginjal, tetapi tak ada usaha mengobati.
Semuanya itu terlihat dalam delapan bundel buku catatan harian perawat yang kini disimpan Rachmawati Soekarnoputri. Ini rahasia kesehatan yang seyogianya diketahui umum sehingga pelayanan kesehatan untuk proklamator bisa dilakukan dengan baik saat itu.
Rahasia kesehatan yang ketiga adalah penyakit mantan Presiden Soeharto pasca-1998. Tidak ada kepentingan umum untuk mengetahui penyakitnya secara rinci karena itu rahasia pribadi. Namun, pengadilan yang memeriksa dalam kasus korupsi Soeharto membuat itu terbuka.
Soeharto tidak bisa diadili karena ”mengalami sakit permanen yang tidak bisa disembuhkan”. Apa yang diucapkannya tidak bisa dipegang atau dijadikan bahan persidangan.
Kepentingan umum
Kepentingan umum, selain beberapa alasan lain, seyogianya menjadi alasan rahasia kedokteran itu dapat dibuka. Sebaliknya, juga dapat menjadi pertimbangan informasi itu ditutup. Perkembangan teknologi informasi dalam media sosial menyebabkan informasi dengan cepat menyebar, bahkan tak dapat dikendalikan. Sebuah percakapan internal keluarga bisa menyebar ke teman-teman dan bisa menjadi viral.
Diperdebatkan pelayanan pasien di rumah sakit, antara kenyataan dan bagaimana seharusnya. Ada kisah yang wajar, seperti Amir Sambodo, Staf Khusus Menteri Perindustrian, yang langsung bisa masuk RS Sulianto Saroso dan meninggal beberapa hari kemudian.
Ini berbeda dengan Erwin Indrajaya, dosen UI, yang pada 24 Maret menelepon pada pukul 08.00 dan baru dijemput ambulans pukul 12.00. Dari rumah menuju RSUD Tarakan dan ditolak karena bukan rumah sakit rujukan. Kemudian dibawa ke RS Persahabatan ditolak juga karena penuh. Di RSPI Sulianti Saroso, Erwin juga ditolak lalu kembali ke RSUD Tarakan dan meninggal dalam perjalanan.
Ternyata di dunia maya juga beredar informasi yang termasuk rahasia kedokteran, misalnya mengenai seorang eksekutif perusahaan konsultan terkemuka Indonesia. Mulai 6 Maret konsultan ini tak enak badan sehabis makan bersama keluarga, sepertinya keracunan. Ia tak masuk kantor enam hari dan memakan obat demam.
Pada 13 Maret konsultan itu ke dokter THT di Jalan Rasuna Said. Dia didiagnosis infeksi tenggorokan dan diberikan obat, tetapi tak membaik. Keesokan harinya ia ke dokter THT di Jalan Mangga Besar dan hasil diagnosisnya sama. Karena masih sakit, pada 17 Maret ia ke dokter penyakit dalam di Kemayoran. Limfosit rendah dan ada bercak putih di paru-paru.
Kepentingan umum, selain beberapa alasan lain, seyogianya menjadi alasan rahasia kedokteran itu dapat dibuka.
Konsultan itu diberi surat rujukan ke RSPI Sulianti Saroso. Awalnya ditolak. Setelah ada perdebatan barulah ia dirawat di IGD dengan selang oksigen selama empat jam. Kemudian keluar dari rumah sakit tersebut dengan diagnosis pneumonia biasa dan diberi obat.
Pada 18 Maret ia semakin sering batuk dan hanya disuapi sup dan telur setengah matang. Pada 19 Maret ia batuk disertai bercak darah lalu dibawa ke dokter paru-paru di sebuah RS di Semanggi. Dirujuk kemudian ke satu RS di Menteng. Bercak putih di toraks bertambah banyak lalu diberi selang oksigen di IGD sampai pukul 20.00.
Esok malamnya, 19 Maret pukul 20.30, ia tiba di IGD RSUP Persahabatan. Menunggu hingga pukul 22.00 untuk diantar ambulans ke Gedung Pinere tempat isolasi pasien terjangkit Covid-19. Menunggu hingga pukul 00.40 sampai masuk ruang isolasi dan diberi bantuan pernapasan dengan selang.
Pada 20 Maret menjalani tes swab pertama dan diberikan obat. Pasien sulit tidur, tak bisa makan. Mengalami batuk dan dada sesak dan sakit. Pada 22 Maret pukul 00.30, dokter menyampaikan, pasien butuh ventilator. Pukul 10.00 setengah sadar. Konsultan itu meninggal pukul 17.30. Penguburan diurus RS Persahabatan. Lokasi makam menjadi rahasia pihak rumah sakit dan keluarga saja.