Jalan Keluar Virtual
Mana yang benar, mana yang nyata, mana yang imitasi, dan mana palsu? Apakah dunia hari ini dan yang akan datang terlibat dalam skandal besar kepalsuan bersama?
Lidya Pawestri Ayuningtyas, akhir pekan lalu, selalu bangun sebelum subuh benar-benar tiba. Mahasiswi yang sedang belajar di University of Michigan, Amerika Serikat, ini bersiap mengikuti kelas menulis kreatif yang digelar Galeri Indonesia Kaya secara maraton, pukul 10.00-12.30 WIB dan pukul 14.00-16.30 WIB.
Perbedaan waktu lebih dari 11 jam itu bisa diluluhkan teknologi digital dengan berbagai aplikasi. Ketika para penulis muda belajar bersama saya siang hari, Lidya mengikuti kelas pada jam-jam saat seharusnya ia masih tertidur.
Perbedaan waktu dan jarak tidak lagi jadi penghalang pertemuan. Secara real time, Lidya tergabung bersama 50 penulis muda lainnya dari berbagai pelosok Indonesia lewat aplikasi Zoom. Selain menyimak teori-teori penulisan cerita pendek, Lidya dan para penulis muda lainnya juga harus melakukan riset dan kemudian menulis cerpen dalam waktu beberapa jam.
Semua itu terjadi di tengah keganasan virus korona di seluruh dunia. Michigan bahkan, kata Lidya, sudah beberapa pekan melakukan lockdown. Ia hanya bisa berdiam diri di dalam apartemennya. Hanya sesekali keluar menuju minimarket untuk membeli makanan.
Tak berbeda dengan para penulis di Indonesia, yang berasal dari Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Bali, serta kota-kota di Jawa, semua mengikuti kelas menulis kreatif dari rumah masing-masing. Namun, seorang peserta dari Bali, Gek Ugie, sempat mengikuti kelas dalam perjalanan mengendarai mobil. ”Kebetulan saya sedang ada keperluan penting. Ini suami yang nyetir, kok,” katanya saat melaju di Jalan Bypass Ida Bagus Mantra, Gianyar.
Kelas yang bertajuk Prosa #DiRumahAja itu akhirnya bisa berlangsung selama dua hari, 18-19 April 2020, melalui ruang pertemuan maya bernama Zoom, yang akhir-akhir ini menjadi sangat populer. Ketika pembatasan pertemuan fisik yang harus dilakukan untuk menghambat penyebaran virus korona, maka terbukalah ruang-ruang maya, di mana manusia bisa terhubung. Tiba-tiba manusia berada pada situasi paradoks yang ekstrem.
Penemuan teknologi internet yang kemudian diikuti perkembangan perangkat bernama telepon pintar, dituduh telah menjauhkan relasi antarindividu. Bahkan, di kamar tidur, pasangan-pasangan bersama-sama dalam ketidakbersamaan. Masing-masing asyik dengan gadget dan entah berkomunikasi dengan seseorang di luar sana atau sedang terpincut berbelanja daring.
Baca juga: Tangan Terulur Hati yang Memeluk
Internet dituding makin memerosokkan mentalitas manusia ke dalam lubang egoisme akut. Orang tidak peduli lagi pada hal-hal urgen di sekitar dirinya, tetapi justru ”peduli” pada sesuatu yang jauh. Ketercengangan atas pencapaian teknologi seolah harus terus dieksploitasi untuk melepaskan hasrat komunikasi yang tak mungkin menjadi memungkinkan.
Pendeknya, internet dan gadget dituduh telah menjadi biang kerok dari segala ”kerusakan” mentalitas manusia modern. Ia juga tak luput menjadi tersangka utama dari sikap individualisme masyarakat urban perkotaan, yang makin hari makin menunjukkan titik ekstremnya.
Ketika lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan, manusia menemukan jalan keluar virtual yang tak pernah terbayangkan. Tiba-tiba istilah work from home (WFH) menjadi begitu populer.
Karena kantor-kantor secara fisik ditutup, pusat-pusat hiburan tidak beroperasi, dan transportasi sangat dibatasi, manusia tetap mencari cara memenuhi hasrat bekerja, mereguk hiburan, dan berjalan-jalan untuk ”bertemu” dengan teman-teman. Hasrat bepergian dan mengobrol tetap bisa dipenuhi lewat pengembaraan di dunia virtual.
Seni harus terus memberikan inspirasi meski dibatasi. Banyak bukti, pengekangan justru melahirkan karya-karya besar yang menginspirasi nilai-nilai kemanusiaan.
Sekelompok penyair yang berasal dari sejumlah kota ”berkumpul” dan membuat forum bernama #CintaPuisiDiRumahaAja yang disokong oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Mereka lalu berparade membaca puisi, diskusi, dan bernyanyi dalam jaringan Zoom.
”Seni harus terus memberikan inspirasi meski dibatasi. Banyak bukti, pengekangan justru melahirkan karya-karya besar yang menginspirasi nilai-nilai kemanusiaan,” kata penyair Warih Wisatsana yang bermukim di Bali.
Di ruang virtual, ia bertemu penyair-penyair seperti Joko Pinurbo (Yogyakarta), Isbedy Stiawan (Lampung), Kunni Masrohanti (Pekanbaru), Mahwi Air Tawar (Madura), Bode Riswandi (Tasikmalaya), Mario F Lawi (Kupang), Ratna Ayu Budhiarti (Garut), Ahda Imran (Bandung), Kurnia Effendi (Jakarta), Reda Gaudiamo (Jakarta), dan beberapa penyair lain.
Terlibat pula sebagai pembaca puisi tamu aktris Sha Ine Febriyanti dan Annisa Hertami. Di antara mereka, bahkan, ada yang belum pernah ketemu secara fisik meski telah menghadiri berbagai perhelatan sastra.
”Ini benar-benar seperti keajaiban, puisi melesap dalam teknologi digital dan jadi penghubung ke dunia maya,” kata penyair Joko Pinurbo. Ia mengaku sejak lama tidak akrab dengan teknologi, tetapi hasrat komunikasi seolah mamaksanya untuk memasuki ruang yang ia jauhi selama ini.
Ruang yang dimaksud Jokpin, begitu ia disapa, tak lain adalah ruang virtual. Ruang ini tak lebih dari ruang simulasi yang dahulu selalu dituding menjauhkan manusia dari realitas. Penjauhan manusia dari realitas, dalam teori yang umum, akan selalu berakibat pada kemerosotan sensitivitas naluriah yang sangat berhaya bagi ”kesehatan” mental manusia. Ia akan tumbuh menjadi manusia ”pengkhayal” yang tak bisa hidup bersosialisasi dengan manusia lainnya.
Belakangan kemudian berkembang studi kebudayaan yang melahirkan teori tentang hiperrealitas. Dunia yang kita bayangkan sebagai dunia maya merupakan sirkuit simulasi yang membenturkan manusia pada apa yang disebut Baudrillard sebagai simulakra.
Sebuah dunia yang seolah-olah nyata, bahkan lebih nyata daripada realitas sesungguhnya. Dunia hiperrealitas itu menggiring manusia pada keterasingan baru, yang sebelumnya tak pernah terpetakan dalam saraf-saraf otaknya.
Tahun 1960-an, Umberto Eco melakukan studi tentang gedung-gedung megah dan klasik yang menyerupai gedung-gedung peninggalan abad pertengahan di Eropa. Ia menyimpulkan, orang-orang Amerika memiliki obsesi untuk meniru pencapaian abad pertengahan melalui gedung-gedung.
Baca juga: Pengasingan Seekor Merpati
Gedung-gedung di Amerika, kata Eco, justru merupakan ”kepalsuan” atas pencapaian masa lalu Eropa. Secara sinis Eco mengatakan bahwa orang-orang Amerika ingin mengembalikan masa lalu lewat dunia rekaan seperti Disneyland. Itulah kepalsuan yang seolah-olah menjadi rujukan realitas aslinya.
Pada titik ini, Eco berbeda dengan Baudrillard, yang lebih condong menganggap apa yang sekarang kita nikmati lewat teknologi digital adalah dunia yang terlipat. Teknologi digital telah membuat manusia mampu menjadikan fantasi dan fiksi menjadi benar-benar nyata. Bahkan, manusia dibayangkan mampu melakukan reproduksi terhadap dirinya sendiri.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Lidya, Gek Ugie, dan para penyair dari berbagai pelosok Indonesia, simulakra menjadi jauh lebih penting ketimbang realitas fisik yang selama ini justru semakin mengungkung. Bahwa tubuh-tubuh yang ”terkarantina” di rumah masing-masing harus tetap diberi ”asupan gizi” dengan melakukan perjalanan ke dunia simulacrum.
Hasrat memperoleh pengetahuan dan hiburan lewat teknologi digital bisa dipenuhi dengan mengembara ke dunia virtual. Bukankah itu juga terjadi kepada para guru dan murid-muridnya saat ini?
Kita sekarang sedang berhadapan dengan sirkuit simulasi terbesar dalam sejarah peradaban manusia di bumi. Pada sisi lain, dunia sedang mereduksi pengertian dunia maya menjadi sebatas perangkat digital yang mengantarkan kita berjalan-jalan pada kenyataan palsu, sebagaimana diikhtiarkan oleh Eco.
Bukan tidak mungkin akan terjadi kekhawatiran yang amat besar terhadap anggapan bahwa dunia sekarang inilah dunia nyata yang sesungguhnya. Dunia yang terpetakan dalam kepala manusia sejak masa-masa klasik sampai masa postmodern, telah berantakan akibat pembatasan sosial dalam skala global.
Mana yang benar, mana yang nyata, mana yang imitasi, dan mana palsu? Apakah dunia hari ini dan yang akan datang terlibat dalam skandal besar kepalsuan bersama?
Semuanya belum lagi bisa terumuskan, sebagaimana pula pencarian habis-habisan manusia menemukan vaksin virus korona, yang belum menemukan titik cerah. Sementara para guru, murid-murid, termasuk para seniman, terus semakin jauh terperosok untuk mencari kebenaran yang entah di mana keberadaannya. Kita belum lagi tahu, bukan?