Penanggulangan penyebaran virus korona baru penyebab Covid-19 harus tetap memperhatikan rasa keadilan masyarakat, di samping juga masyarakat terdampak.
Oleh
·2 menit baca
Penanggulangan penyebaran virus korona baru penyebab Covid-19 harus tetap memperhatikan rasa keadilan masyarakat, di samping juga masyarakat terdampak.
Kebijakan yang memprioritaskan warga lemah dan terdampak langsung pandemi Covid-19 tergambar dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Konsideran menimbang perppu antara lain menyebut, pandemi Covid-19 memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah perlu melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada kesehatan, jaring pengaman sosial, dan pemulihan perekonomian, termasuk dunia usaha dan warga terdampak.
Perppu itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020 bersamaan dengan dasar hukum lain untuk penanggulangan penyebaran Covid-19. Kebijakan pemerintah di bidang lain, jika terkait upaya penanggulangan penyebaran Covid-19, dipastikan tidak boleh melenceng dari sikap dasar Presiden. Pilihan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mencegah penyebaran virus korona baru di lembaga pemasyarakatan (lapas) harus sejalan dengan Presiden, juga memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
Saat Covid-19 mewabah, penjara di Indonesia yang berkapasitas sekitar 130.000 orang dihuni lebih dari 260.000 narapidana (napi) dan tahanan. Mereka sangat mungkin terpapar virus korona baru. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly melalui Peraturan Menkumham Nomor 19 Tahun 2020 serta Keputusan Menkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 menetapkan program asimilasi dan pembebasan bersyarat bagi napi yang memenuhi syarat untuk mengurangi kepadatan dan menekan penyebaran virus di lapas. Kebijakan itu menimbulkan polemik sebab sejumlah kalangan menduga ada napi kasus korupsi yang juga dikeluarkan dari penjara.
Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat bagi napi perkara terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM berat, serta kejahatan transnasional dan terorganisasi diperketat. Bahkan, di publik sempat beredar nama 22 napi korupsi yang akan dibebaskan bersama 31.786 napi pidana umum yang masuk program Kemenkumham.
Masyarakat pun gaduh. Rasa keadilan terusik. Aturan menteri semestinya tak menentang aturan yang lebih tinggi. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pun memastikan napi kasus korupsi, terorisme, dan bandar narkoba tidak ikut bebas terkait dengan kebijakan pengurangan kepadatan lapas/rumah tahanan demi mengantisipasi wabah Covid-19 (Kompas, 5/4/2020).
Rakyat lega. Rasa keadilan masyarakat dihargai. Namun, sebenarnya ada masalah dalam komunikasi kepada publik dari kebijakan itu. Atau, adakah memang yang ingin bermain-main dengan rasa keadilan masyarakat saat pandemi?