Butuh hampir dua minggu bagi Pemerintah Indonesia setelah diketahuinya dua pasien pertama Covid-19 untuk menyarankan rakyatnya agar bekerja dari rumah, menjaga jarak sosial, dan menghindari kontak fisik.
Banyak sekali warga yang bekerja di sektor informal yang sulit menjalankan instruksi pencegahan persebaran Covid-19 di atas dan itu sebuah permasalahan tersendiri. Namun, cukup banyak karyawan sektor formal yang diizinkan bekerja dalam rotasi atau sepenuhnya dari rumah.
Dengan pesatnya peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia, sedangkan semua usaha pembuatan vaksin masih dalam taraf uji klinis awal, kemungkinan besar bekerja dari rumah akan jadi satu-satunya pilihan bagi banyak orang di Indonesia.
Akan tetapi, apa sesungguhnya realitas jangka panjang bekerja dari rumah, kegiatan yang hari-hari ini banyak diunggah ke media sosial dengan tagar WFH (work from home) itu? Izinkanlah saya, seseorang yang sudah bekerja dari rumah selama lebih dari satu dekade, untuk berbagi cerita.
Pada pertengahan 2007, saya memutuskan meninggalkan karier korporat dan bekerja dari rumah. Beberapa pekerjaan konsultansi dan wiraswasta saya lakukan, sampai beberapa tahun terakhir ini pekerjaan utama saya berkisar pada konsultansi bisnis dan menulis. Mencari bahan menulis sering membuat saya keluar rumah walau proses menulisnya sendiri tidak. Pekerjaan konsultansi saya, yang kliennya semua adalah investor asing di zona waktu yang berbeda, sering mengharuskan saya bekerja melalui video conference pada jam-jam tidak lazim.
Realitas pertama dari WFH adalah betapa banyaknya gangguan konsentrasi.
Gangguan bisa datang dari benda mati seperti televisi, gawai, permainan gim, majalah, buku, atau sofa empuk yang mengundang rebahan. Di sini kuncinya masih pada Anda, mampukah mengalihkan pandangan dan meneguhkan iman pada tumpukan pekerjaan?
Gangguan tipe kedua lebih menantang karena datangnya dari makhluk hidup serumah: pasangan, anak, orangtua, mertua, saudara kandung, asisten rumah tangga, atau hewan peliharaan. Hal-hal yang selama ini bisa diselesaikan damai tanpa melibatkan Anda di kantor mendadak sekarang dibawa ke hadapan Anda karena secara fisik Anda ada.
Jika hewan peliharaan kebetulan kucing dewasa, cenderung independen dan teritorial, sang kucing bisa jengkel karena rutinitas siangnya terganggu dan ia akan mengeong sampai kesalnya hilang. Benar, hewan peliharaan bisa dikandangkan di halaman jika terlalu mengganggu, tetapi bagaimana jika mertua yang merusak fokus?
Kalaupun Anda dengan piawai mampu menghindari atau mengatasi semua gangguan benda mati ataupun makhluk hidup di rumah, realitas kedua akan muncul, yaitu komunikasi dengan kolega atau klien. Dengan cepat Anda akan mendapati bahwa banyak isu yang bisa diselesaikan dalam tatap muka 2-3 menit sambil memegang 1-2 berkas atau benda, ternyata bisa menjadi 10 menit sahut-sahutan via Whatsapp.
Mungkin banyak yang tergelak-gelak saat menonton klip wawancara jarak jauh Profesor Robert E Kelly di Busan, Korea Selatan, dengan BBC di London, Inggris, di mana kedua anak balitanya masuk ruangan sebelum berhasil dikejar istrinya. Namun, realitas video conference tidak selalu selucu itu. Kadang bising jalanan, bunyi kerja tukang di rumah sebelah, atau pengeras suara rumah ibadah, sering masuk terutama jika Anda tidak beruntung hidup di rumah superluas yang berjarak jauh dari gangguan apa pun.
Saya pun, walau sudah terbiasa video conference, pernah tersandung. Malam itu Jakarta panas sekali sehingga walaupun mengenakan blus formal di bagian atas, saya memakai celana pendek di bawah. Pikir saya, toh yang akan terlihat hanya tubuh atas. Namun, kemudian ada sebuah buku yang harus saya ambil dari ruangan lain untuk ditunjukkan. Di situlah kemudian kolega dan klien saya, di dua negara berbeda, tersipu-sipu mengalihkan pandangan karena yang muncul di layar saat saya menjauh adalah paha yang terbungkus celana superpendek, bermotif kartun, dan berwarna mencolok. Percayalah, tak mudah mengembalikan wibawa, terutama saat membicarakan proyeksi bisnis bernilai beberapa juta dollar, saat klien sempat terpapar pandangan sedramatis dan seprivat itu.
Realitas ketiga dari WFH adalah masalah koordinasi. Kecuali Anda peneliti dalam laboratorium, penjaga mercusuar, peretas dunia gelap atau mata-mata, sulit untuk menuntaskan pekerjaan tanpa koordinasi langsung dengan pihak lain. Jika Anda bekerja di penjualan dan pemasaran, koordinasi intens dan kontinu dengan berbagai pihak adalah kunci. Jika Anda bekerja di sektor jasa, inti pekerjaan Anda adalah menangani langsung kebutuhan konsumen pemakai jasa, bekerja dari rumah adalah konsep yang pelik, jika bukan nyaris mustahil, dalam pelaksanaannya.
Akan tetapi, tentunya semua tantangan ini tidak seberapa dibandingkan realitas medan tempur yang harus dilakoni tenaga medis setiap hari. Makin mengganas wabah, makin tak mungkin mereka bekerja dari rumah.
Tantangan lain yang mungkin belum tebersit di benak selain para pemilik usaha
UMKM adalah jika kurva wabah tak melandai dan cegukan bisnis berlanjut menjadi batuk kronis, bagaimana kelanjutan usaha? Berapa pemilik UMKM yang saat ini diam-diam sudah mulai menghitung kemampuannya menunaikan THR di awal Mei atau melanjutkan usaha setelah Lebaran? Berapa dari yang bekerja di rumah saat ini yang berpotensi menjadi di rumah tanpa pekerjaan?
Realitas dan tantangan WFH sesungguhnya, tidaklah sepraktis tagarnya. Demi kesehatan raga dan mental kita semua, semoga serangan virus korona lekas mereda.
Lynda Ibrahim Konsultan Bisnis,Penulis