Ketika bangsa ini luar biasa heboh mengatasi wabah virus korona, Komisi Pemilihan Umum malah menebar kehebohan lain. Kembali komisioner KPU diberhentikan.
Oleh
·2 menit baca
Ketika bangsa ini luar biasa heboh mengatasi wabah virus korona, Komisi Pemilihan Umum malah menebar kehebohan lain. Kembali komisioner KPU diberhentikan.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dalam sidang 18 Maret 2020, menilai Evi Novida Ginting melanggar kode etik penyelenggara pemilu, dan memberhentikannya secara tetap sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).
DKPP menilai Evi memiliki peran signifikan dalam penetapan perolehan suara dua calon anggota DPRD Kalimantan Barat dari Partai Gerindra di daerah pemilihan Kalimantan Barat 6, antara Hendri Makaluasc dan Cok Hendri Ramapon, pada Pemilu 2019. Suara Hendri setelah disidangkan di Mahkamah Konstitusi terbukti seharusnya lebih besar ketimbang Cok. KPU hanya mengoreksi suara Hendri, tetapi tidak mengurangi suara Cok.
Selain memberikan sanksi pada Evi, DKPP juga memberikan peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU dan empat anggota KPU tersisa terkait pelanggaran etik tersebut.
Putusan DKPP ini tentu kian merontokkan kepercayaan publik kepada KPU. Belum lama berselang, 16 Januari 2020, DKPP juga memberhentikan tetap Wahyu Setiawan setelah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap. Berarti, sudah dua dari tujuh komisioner KPU periode 2017-2022 yang diberhentikan DKPP pada tahun ini.
Evi keberatan dengan putusan DKPP itu karena pengaduan Hendri pada DKPP telah dicabut. Evi pun berencana mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Terlepas dari proses hukum yang masih berlanjut, yang pasti KPU memiliki tugas penting yang harus dijalankan dalam waktu dekat, yaitu menyukseskan pemilihan kepala daerah di 270 daerah. Dengan hanya lima komisioner, beban kerja yang dipikul akan semakin berat. Belum lagi kemungkinan KPU yang harus melakukan berbagai penyesuaian pelaksanaan pilkada akibat dari mewabahnya virus korona.
Meski demikian, apabila pelanggaran kode etik benar terjadi, sanksi yang tegas terhadap setiap pelanggaran perlu diambil. Kesalahan yang kerap ditoleransi bisa dianggap sebagai kebenaran, lalu menular, dan akhirnya mewabah.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengharuskan semua penyelenggara pemilu, baik KPU, Badan Pengawas Pemilu, maupun DKPP, menjalankan prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien. Dalam negara demokrasi mana pun, peran KPU tentu sangat strategis. KPU yang kredibel mampu membangun sistem pemilu yang baik, menyelenggarakannya dengan jujur dan adil, dipercaya rakyat, dan pada akhirnya membantu terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih.
Kini, tugas berat dari komisioner yang tersisa di bawah kepemimpinan Ketua KPU Arief Budiman untuk mencegah agar pelanggaran tidak lagi terjadi, menular, apalagi mewabah. Kredibilitas KPU tidak boleh rontok. Kibarkan lagi elan KPU sebagai garda penjaga proses berdemokrasi.