Bagaimanapun, suatu relasi tidak bisa menjadi sebuah relasi yang sehat jika kedua pihak yang berada dalam relasi itu tidak bisa ”memberi” dan ”mendapatkan” secara berimbang.
Oleh
SAWITRI SUPARDI SADARJOEN
·3 menit baca
Dalam membangun relasi dengan seseorang, selalu diperlukan tindakan ”memberi dan mendapatkan”. Masalah akan muncul jika salah satu orang yang terlibat lebih banyak memberi dan kurang mendapatkan apa pun dari relasi yang dibinanya.
Jika pihak perempuan, misalnya, selalu mengakomodasi keinginan pasangannya, ia bisa menderita dan membuatnya mengunjungi konselor perkawinan. Ia akan bertanya, ”Apa yang salah pada diri saya?” Begitu pertanyaan yang sering diutarakan, bukan ungkapan yang seharusnya seperti berikut: ”Apa yang salah dalam hubungan saya dengan pasangan saya?”
Dalam hal tersebut, ia tidak mempertanyakan ”apa yang seharusnya dia lakukan sebagai pasangan perempuan dalam ikatan perkawinan”. Ia merasa bahwa dirinya selalu menjalankan tugas sebagai istri seperti apa yang dituntut budaya setempat. Bahkan, jika dilihat dari masa modern saat ini, apa yang dilakukan sebagai istri merupakan karikatur ”keperempuanan” yang sempurna.
Dalam kondisi seperti itu, ada kecenderungan untuk bersikap mengkhianati dirinya sendiri. Caranya, dengan tidak mengungkapkan apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan. Pengorbanan dirinya saat itu terkesan tidak jelas. Jadi, sebagai istri, ia dianggap melakukan hal-hal yang patut dilakukan seorang perempuan.
Dengan berjalannya waktu, harga yang dikorbankan menjadi sangat besar. Dalam artian, sebagai perempuan ia kehilangan kesempatan untuk bicara dan mendiskusikan masalahnya dengan berlandaskan posisi yang mantap. Ia tidak mampu mendiskusikan masalah yang dihadapinya. Cepat atau lambat perempuan itu akan mengalami depresi, cemas berkelanjutan, sakit kepala, kemarahan yang kronis.
Sering kali gejala mental tersebut merupakan gejala yang merefleksikan keinginan mendapatkan kebenaran secara tidak disadari, keinginan mendapatkan penghargaan diri yang sejujurnya, termasuk taraf kebutuhan untuk menyuarakan isi hati yang sebenarnya.
Terbiasa mengabaikan
Ketahuilah, kita perlu mendengar dengan baik-baik pada nilai positif dari gejala yang muncul dan mencoba menandai maknanya. Kebanyakan dari kita sudah terbiasa dengan bersikap terdiam, mengabaikan kondisi-kondisi yang tidak adil dan mencoba sekuat tenaga untuk berkompromi dengan kondisi yang tidak adil tersebut.
Padahal, dalam hati yang paling dalam, sebetulnya kita menolak kondisi tersebut. Sebaliknya, laki-laki yang kurang memiliki daya bangkit, sebagai kebalikan dari sikap perempuan yang berdiam seribu bahasa tersebut, akan memicu pasangan lelakinya lebih bersuara keras.
Konsekuensinya, laki-laki mencari jalan untuk memperoleh dukungan menjadi lelaki sejati, yang bersuara lebih keras dan terkesan tegas. Dalam hubungan dengan istrinya, dia tidak akan suka dipengaruhi pendapat istrinya. Hal ini merupakan kondisi umum ketika lelaki ingin mengungkapkan bahwa reaksi verbalnya jelas, kuat, dan menjadi satu-satunya cara menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Untuk penjelasan yang saya ungkapkan di atas, saya akan memberi contoh konkret di bawah ini: Ayah saya adalah seseorang yang kurang tegas, dan kondisi ini membuat ayah berada dalam dilema. Untuk itu, kami, anak-anaknya, mengakomodasi kondisi ayah dengan bersepakat, ”Daripada bertengkar, sebaiknya kita mengakomodasi cara ayah berkomunikasi”. ”Kami akan menjaga jarak dan tetap menikmati relasi dengan ayah”.
Kami melindungi diri dari kemungkinan konflik yang terjadi dengan ayah dengan cara tidak menyampaikan apa yang sebenarnya harus kami sampaikan. Itu adalah satu-satunya jalan untuk menjalin relasi dengan ayah. Dengan kata lain, kami menjaga jarak dengan menjauhkan diri dari koneksi yang autentik, karena tidak ada gunanya bertengkar dengan ayah.
Jadi, sudahlah kita tetap harus bertahan dengan cara leluhur kita dalam berkomunikasi. Bagaimanapun, suatu relasi tidak bisa menjadi sebuah relasi yang sehat jika kedua pihak yang berada dalam relasi itu tidak bisa ”memberi” dan ”mendapatkan” secara berimbang.