Kompas (29/1/2020) menulis berita utama dengan judul: Kasus Harun Pertaruhan Kredibilitas. Keadaan inilah yang dihadapi pemerintah saat ini. Dalam menjalankan berbagai programnya, kredibilitas pemerintah tentu menjadi hal penting di mata masyarakat untuk menggerakkan dukungan dan partisipasi mereka.
Padanan kata trustworthiness mengindikasikan tingkat kepercayaan kepada seseorang ataupun suatu lembaga. Baik bagi para birokrat maupun anggota DPR dan juga penegak hukum, hal ini dikaitkan dengan sosok-sosok pribadi yang diharapkan memiliki integritas. Presiden Jokowi dalam suatu kesempatan wawancara dengan Kompas menyampaikan bahwa pembangunan SDM dimulai dengan meningkatkan budi pekerti.
Integritas seseorang dicerminkan antara lain menyatunya kata dengan perbuatan. Maka, menjadi hal yang menggelikan pada saat seorang menteri mengatakan bahwa tindakan yang dilakukannya, dengan memberhentikan seorang bawahannya, dimaksudkan untuk menghindari conflict of interest/benturan kepentingan.
Padahal minggu sebelumnya dengan entengnya dia menempatkan diri sebagai tim pembela partai yang menghadapi KPK. Penulis mengutip cuplikan ucapan Kennedy : My loyalty to my party ends when my loyalty to my nation begins. Hal inilah yang seharusnya menjadi pegangan para pembantu Presiden, loyal dalam melaksanakan tanggung jawab kesehariannya. Semoga.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jl Pariaman, Pasar Manggis, Setiabudi, Jakarta 12970
Pembakuan Kata
Di ”Surat Kepada Redaksi”, Sumantoro Martowijoyo mengeluhkan tiadanya pembakuan kata Indonesia (Kompas, 9/1/2020).
Keluhan itu menyiratkan nasionalisme dan kecintaan kepada bahasa persatuan kita, tetapi tak sejalan dengan semangat untuk mengembangkan dan membina bahasa kita, terutama kosakatanya.
Hal yang perlu dibakukan ialah ejaan dan istilah ilmiah/teknis, dan ini sudah kita lakukan, meskipun dari waktu ke waktu perlu ditinjau ulang dan dimutakhirkan seiring dengan perkembangan zaman.
Lafaz belum—dan mungkin tidak akan—dibakukan, sebab sulit sekali untuk mencapai mufakat dari jutaan orang Indonesia yang ”lidah”-nya beraneka ragam.
Pemungutan kata-kata asing dengan transkripsi/transliterasi, dan—kalau terpaksa—bahkan tanpa perubahan, kecuali penulisannya saja yang dimiringkan, memperkaya perbendaharaan kata kita. Pembakuan kata akan memasung kreativitas kita.
Kata asing, apa pun jenisnya—nomima, verba, adjektiva, dan lain sebagainya—dapat kita pungut, tetapi idealnya kata dasarnya saja. Pengembangan dan pemakaiannya sebagai kata jabaran—dengan mengulang dan/atau memberinya imbuhan (awalan/akhiran/sisipan)—harus sesuai dengan kaidah tata bahasa kita.
Sebagai salah satu contoh, kalau ”standard” kita pungut dan kita mudahkan pengejaan dan pelafazannya menjadi ”setandar”, jabarannya sebagai nomina abstrak perampat (abstract, generalizing noun) yang menyatakan proses ialah ”penyetandaran”, bukan ”standarisasi” atau ”standardisasi”, karena tidak ada akhiran ”isasi” dalam bahasa Indonesia!
Dalam hal tata bahasa, sebaiknya kita preskriptif, artinya tunduk kepada ”resep” (kaidah) yang ditetapkan para munsyi, terutama yang selain ahli juga memiliki otoritas, seperti mereka yang di Babangbinsa (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa). Sedangkan dalam hal kosakata, kita bersikap deskriptif, artinya menerima kata-kata yang ”hidup” dan lazim dipakai masyarakat pengguna bahasa kita. Dalam kosakata, pengguna bahasa adalah raja!
L Wilardjo
Klaseman, Salatiga