Intoleransi yang Mencemaskan
Praktik intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi selama ini dipengaruhi kemandulan peran negara dalam menerjemahkan konsep toleransi.
Bangsa kita sedang menghadapi ancaman intoleransi dan minimnya jaminan kebebasan beragama. Kelompok kecil yang tidak memiliki basis dukungan dari aparat kerap menjadi obyek kekerasan dan miskin perlindungan dari negara.
Setara Institute mencatat selama 12 tahun terakhir terdapat 2.400 pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan yang terjadi di tanah air.
Korban yang paling sering menjadi subyek pelanggaran adalah jamaah Ahmadiyah. Obyek pelanggaran terbanyak ialah gangguan terhadap rumah ibadah.
YB Mangunwijaya pernah mengatakan, setiap bangunan rumah ibadah punya bahasa masing-masing; punya warta tentang tugas bangunan itu sendiri, juga tentang siapa dan untuk siapa bangunan itu dibuat.
Sangat ironis, rumah ibadah yang mestinya dihormati karena merupakan tempat mewartakan dan menjalankan pesan agama justru menjadi obyek pemberangusan dan penyegelan. Tempat ibadah bukan lagi sarana peribadatan, melainkan menjelma sebagai simbol persaingan manakala setiap kelompok bercara pandang dan menghayati beragama yang beda.
Maka itu, penerapan konsep tidak ada paksaan dalam beragama sangat penting guna menghindari pola-pola konflik yang berbasis pada perebutan aset massa. Apalagi, ketika pergumulan penyiaran agama itu telah melampaui batas-batas demarkasi teologi agama masing-masing.
Sejarah mencatat konflik silang sengkarut antarumat beragama sedikit banyak dipengaruhi oleh praktik penyiaran agama yang bersifat difusi kultural. Implementasi teori difusi kultural lebih berorientasi pada pembenaran adanya dikotomi tentang konsep great and little tradition.
Dalam tataran aksi, great tradition diinterpretasikan sebagai agama besar yang meluberi agama kecil. Arti kata meluberi adalah melakukan invasi. Dengan demikian, konsep persebaran agama yang berorientasi pada difusi kultural cenderung intoleran dan penuh paksaan.
Faktor penyebab
Secara umum tingginya grafik intoleransi di Indonesia dipengaruhi beberapa faktor.
Pertama, naiknya intensitas politisasi agama sejalan dengan tahun politik elektoral, khususnya pilkada dan pilpres. Kedua, peningkatan intoleransi pada level individu dan kelompok warga akibat klaim kebenaran pada tataran sosial yang cenderung absolut.
Ketiga, kompleksitas persoalan pasal penodaan agama. Keempat, kebangkitan kelompok-kelompok kontranarasi radikalisme, ekstremisme kekerasan, terorisme, dan anti-Pancasila. Kelima, adanya pembiaran negara.
Soal politisasi agama, misalnya, Indonesia memiliki sejarah kelam tentang perselingkuhan agama dan politik. Perselingkuhan itu telah melahirkan kekerasan dari masa ke masa. Bukankah kita memiliki catatan yang panjang betapa simbol-simbol agama kerap digunakan partai politik untuk mencari dukungan massa dari penganut agama?
Maka, saat kefrustrasian masyarakat memuncak, pemeluk agama masing-masing membuat kelompok, yang mau tidak mau agama juga terseret dalam gelanggang kekerasan tersebut. Artinya, menjadikan agama sebagai kendaraan politik hanya akan menggiring warga dalam pertikaian.
Menghadapi situasi ini, aparat hukum tidak boleh terseret ke dalam hiruk pikuk percaturan politik yang panas. Aparat harus memiliki paradigma keadilan dan kesetaraan kepada semua orang tanpa membeda-bedakan suku, agama, jabatan, dan kasta sosial.
Pada saat bersamaan penerapan aturan hukum harus bisa dipastikan tidak membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi serta membungkam kekritisan dan kerja-kerja rasio dalam diskursus publik.
Lindungi minoritas
Kembali ke persoalan intoleransi dan kebebasan beragama yang kian mencemaskan, persoalan tersebut merupakan problem asasi yang hingga kini terus menjadi duri demokrasi. Negara harus mendorong aparatnya dalam menciptakan situasi yang kondusif dan adil tanpa terjebak pada dikotomi mayoritas-minoritas ataupun kepentingan politik tertentu.
Negara harus selalu hadir dengan melakukan pendekatan persuasif dan tidak memihak sehingga warga negara memiliki jaminan keamanan dari berbagai potensi penghasutan, kekerasan, provokasi, pengorganisasian, dan penyebarluasan yang didasarkan pada diskriminasi agama.
Praktik intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi selama ini dipengaruhi kemandulan peran negara dalam menerjemahkan konsep toleransi.
Betapa sering kita menyaksikan penerapan konsep toleransi yang cenderung artifisial. Masyarakat hanya dituntut toleran antara yang satu dan yang lain tanpa dibarengi dengan kesadaran untuk mengerti dan mempelajari agama lain.
Praktik intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi selama ini dipengaruhi kemandulan peran negara dalam menerjemahkan konsep toleransi.
Menurut Gus Dur dalam pidato pada 18 Juni 1996 di Surabaya, kondisi semacam ini masih rawan konflik karena tuntutannya hanya toleransi, bukan saling mengerti sehingga ketika unsur yang mendamaikan hilang, konflik yang lebih besar tidak dapat dihindarkan.
Hal sama dilakukan lembaga-lembaga keagamaan yang sering menyelenggarakan dialog dengan mengusung tema toleransi dan tenggang rasa. Namun, yang terjadi bukan dialog, melainkan monolog. Setiap lembaga membuat standar ganda.
Standar normatif untuk agamanya sendiri dan standar historis untuk menjustifikasi agama lain. Dengan begitu, dialog hanya berkutat pada persoalan konsep yang bersifat normatif dan tekstual, belum menyentuh persoalan praksis sehari-hari.
Menerjemahkan toleransi dengan benar dan merawatnya secara abadi sebagai sebuah karakter bangsa tentu harus dimulai dari pendidikan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ataupun Menteri Agama hendaknya mendesain kurikulum pendidikan agar tidak sekadar menghasilkan orang-orang yang hanya memiliki kerangka berpikir legal formalistis, halal-haram, hitam-putih, dan benar-salah.
Lembaga pendidikan harus melahirkan manusia kreatif yang memelopori pendidikan toleransi: mempertemukan beragam etnis dan agama, tetapi saling menghargai.
Menerjemahkan toleransi dengan benar dan merawatnya secara abadi sebagai sebuah karakter bangsa tentu harus dimulai dari pendidikan.
(Achmad Fauzi Aktivis Multikulturalisme; Alumnus UII, Yogyakarta)