Wilayah-wilayah perbatasan Indonesia sering kali diganggu oleh negara-negara tetangga. Jika disimak, kasus-kasus yang terjadi semuanya termotivasi oleh upaya penguasaan terhadap sumber daya alam tertentu.
Oleh
Alex Retraubun
·4 menit baca
Wilayah-wilayah perbatasan Indonesia sering kali diganggu oleh negara-negara tetangga dengan frekuensi yang cukup tinggi, yaitu minimal sekali per tahun. Agresi China sekarang di Laut Natuna adalah buktinya.
Kasus Sipadan dan Ligitan merupakan kejadian awal dan selanjutnya memicu terjadi kasus Ambalat akibat kekaburan batas maritim karena kehilangan status kepemilikan terhadap wilayah yang disengketakan. Tulisan ini berupaya menelaah kasus-kasus yang terjadi selama ini dan bagaimana menyikapi serta progres penyelesaiannya.
Jika disimak, kasus-kasus yang terjadi semuanya termotivasi oleh upaya penguasaan terhadap sumber daya alam tertentu yang dapat dikelompokkan atas beberapa jenis.
Pertama, upaya pemanfaatan sumber daya perikanan. Kelompok ini sangat dominan. Contoh kasus perikanan mayoritas terjadi di belahan utara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibandingkan dengan selatan karena di belahan ini kita berhadapan dengan banyak negara sehingga memicu kerawanan.
Menurut catatan penulis, dari 13 kasus, sebanyak 50 persen terjadi dengan Malaysia. Berikutnya dengan Filipina, Vietnam, dan Australia. Dengan Australia, kasusnya terkait dengan nelayan kita yang menarget ikan hiu.
Kedua, terkait dengan sumber daya nirhayati strategis. Kasus Ambalat adalah contohnya karena Malaysia ingin menguasai potensi minyak dan gas yang terkandung di landas kontinen kawasan tersebut.
Ketiga, kasus pencemaran lingkungan perairan perbatasan oleh Australia yang berdampak luas terhadap mata pencarian petani rumput laut dan nelayan di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Insiden ini terjadi karena bocornya pipa minyak akibat meledak dan terbakar tahun 2009. Kasus ini dikenal sebagai kasus Montara. Anjungan sumur ini menumpahkan 23 juta liter minyak selama 74 hari dan menyebar ke wilayah seluas 92 kilometer persegi serta merusak pesisir di 13 kabupaten dan kota di NTT.
Kelima, upaya pemanfaatan masyarakat perbatasan kita secara ilegal sebagai laskar Malaysia (Laskar Watania) karena status kemiskinan mereka.
Wilayah-wilayah perbatasan Indonesia sering kali diganggu oleh negara-negara tetangga dengan frekuensi yang cukup tinggi, yaitu minimal sekali per tahun.
Kasus Natuna
China mengawali agresinya di tahun 2016, namun intensitasnya meningkat akhir-akhir ini sehingga memicu naiknya suhu poilitik antara kedua negara. Agresi ini dilakukan dengan tujuan ganda yaitu ingin mengeksploitasi potensi sumber daya perikanan dan migas, sekaligus upaya penguasaan terhadap sebagian wilayah perairan Indonesia di sebagian Laut Natuna.
Bahkan, mereka mengklaim bahwa wilayah tersebut milik mereka di saat dunia internasional sendiri mengakui kepemilikan Indonesia atas wilayah tersebut, sesuai dengan Hukum Laut Internasional tahun 1982. Lebih unik lagi aktivitas mereka dikawal oleh armada pasukan penjaga pantai (Coast Guard)-nya sebagai simbol dukungan negara .
Progres penyelesaian
Dari semua jenis kasus yang terjadi ada sejumlah kebijakan nasional yang telah dihasilkan untuk pemberantasannya. Terkait kasus investasi secara ilegal dan isu penjualan pulau kecil, misalnya, sudah bisa dicegah via Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 juncto UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil beserta derivasinya dan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan Undang-Undang Pertanahan kita.
Yang belum terselesaikan sampai sekarang adalah kasus Montara dengan Australia, di samping isu kesenjangan pembangunan karena membutuhkan proses dan konsistensi. Isu penegakan hukum membutuhkan terobosan, demikian pula halnya dengan Blok Ambalat. Dengan Australia, kasusnya berkurang signifikan karena kecanggihan teknologi mereka dalam pengawasan di samping tekanan internasional terhadap bisnis sirip ikan hiu.
Fokus kebijakan
Untuk menyelesaikan kasus-kasus perbatasan fokus kebijakan seharusnya hanya pada tiga isu besar.
Pertama, soal delimitasi/demarkasi, khususnya kepastian batas secara fisik. Salah satu cara adalah mempelajari kepentingan China di Indonesia, kemudian digunakan sebagai posisi tawar perundingan. Cara ini pernah digunakan terkait perundingan perbatasan dengan Singapura.
Untuk menyelesaikan kasus-kasus perbatasan fokus kebijakan seharusnya hanya pada tiga isu besar.
Kedua, penegakan hukum. Tidak ada cara lain selain peningkatan kemampuan pengawasan kita searah dengan alokasi anggaran yang signifikan mengingat China sangat berniat mengancam kita. Ada indikasi turun naiknya kapal ilegal di Laut Natuna terkait keterbatasan pengawasan dan musim.
Ketiga, kesenjangan pembangunan wilayah perbatasan. Akar tingginya kejahatan perbatasan karena sepinya aktivitas kita di wilayah tersebut. Untuk itu, nelayan haruslah ditingkatkan kemampuannya untuk beroperasi di perbatasan di samping menyediakan infrastruktur untuk menumbuhkan industri di kawasan tersebut. Armada dan alat tangkap sekelas China harus diberikan kepada nelayan kita untuk mengusir nelayan China dari perairan Natuna.
(Alex Retraubun, Guru Besar Universitas Pattimura)