Parpol Indonesia di Masa Depan
Demi menjaga persatuan bangsa yang sangat heterogen ini, parpol perlu aktif membentuk budaya politik yang menjauhi penggunaan solidaritas suku, agama, ras, untuk pilihan politik, juga hoaks dan ujaran kebencian.
Partai politik (parpol) berperan sentral dalam sistem politik demokrasi multipartai yang kita anut sejak tahun 1999, dan menentukan sirkulasi elite politik di daerah dan di pusat.
Sebanyak 2.207 anggota DPRD provinsi, 17.610 anggota DPRD kabupaten/kota di berbagai daerah, 560 anggota DPR dan MPR serta presiden dan wakil presiden, bersama 17 dari 34 menteri Kabinet Indonesia Maju 2019-2024, dan tiga dari sembilan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang baru saja dilantik, adalah figur-figur yang mewakili parpol.
Sampai 2024, parpol akan terlibat dalam agenda strategis menyeleksi melalui fit and proper test di DPR pengisian jabatan kenegaraan: Hakim Agung, ketua MA, MK, pimpinan BPK, duta besar, Panglima TNI dan Kapolri, gubernur BI, komisioner KPK, KPU, BPJS dan lain-lain.
Juga Pilkada Serentak 2020,2021,2022 untuk memilih gubernur/wakil gubernur di 34 provinsi, bupati/wakil bupati di 416 kabupaten, walikota/wakil walikota di 98 kota. Di sekitar 2023 mulai menjaring caleg DPRD provinsi/kabupaten/kota, caleg DPR, dan presiden-wakil presiden untuk Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2024.
Jadwal politik kenegaraan kita sangat padat dan parpol memiliki tugas mulia menyiapkan putra-putri terbaik Indonesia untuk menduduki posisi kepemimpinan politik. Hal ini membuat tugas pimpinan partai di tingkat nasional tidak mudah dan amat berat.
Parpol harus dipimpin oleh tokoh nasional yang dikenal dan mengenal elite-elite politik nasional dan memiliki jaringan elite politik di daerah-daerah. Ia bertugas mengelola roda organisasi dan birokrasi partai, membina jajaran pengurus dan kader partai di seluruh Tanah Air, memimpin segenap kader partai untuk menyalurkan aspirasi rakyat, melahirkan gagasan baru untuk kemajuan bangsa, negara dan masyarakat di segala bidang, melakukan pendidikan politik untuk rakyat, mengartikulasikan gagasan, aspirasi, ide dari rakyat untuk diwujudkan dalam penyelenggaraan negara dan mensosialisasikan kebijakan negara.
Jadwal politik kenegaraan kita sangat padat dan parpol memiliki tugas mulia menyiapkan putra-putri terbaik Indonesia untuk menduduki posisi kepemimpinan politik.
Dinamika politik Indonesia begitu tinggi, karena besar dan beragamnya masyarakat kita. Karenanya, demi menjaga persatuan bangsa yang sangat heterogen ini, parpol perlu aktif membentuk budaya politik yang menjauhi penggunaan solidaritas suku, agama, ras, untuk pilihan politik, juga hoaks, pemutarbalikan fakta, caci-maki, fitnah, dan ujaran kebencian.
Semua partai bertanggung jawab membangun kehidupan politik yang sehat, agar kegiatan politik dan produk politik menambah energi sosial ekonomi rakyat. Di negara dengan kehidupan politik yang tak sehat, setiap kegiatan politik akan menguras energi sosial ekonomi rakyat. Perlu diwaspadai perkembangan kehidupan politik kita dengan melihat fakta menyebarnya hoaks, pernyataan politik yang membahayakan negara dengan pernyataan sebelum pemilu: “pasti akan menang; kalau kalah pasti ada yang mencurangi”, dan lain-lain.
Parpol memang harus mempraktikkan politik sebagai “bonnum commune” (berpolitik sebagai upaya mengantarkan gagasan kebaikan bersama untuk mewujudkan cita-cita publik secara berkelanjutan). Segenap parpol harus berupaya menghindari retrogresi politik, yaitu kemunduran kualitas demokrasi.
Membangun sistem ketatanegaraan adalah proses sistemik berjangka panjang dan tanggung jawab setiap generasi adalah menyerahkan negara ke generasi berikutnya dalam keadaan lebih baik, termasuk sistem ketatanegaraannya.
Semua partai bertanggung jawab membangun kehidupan politik yang sehat, agar kegiatan politik dan produk politik menambah energi sosial ekonomi rakyat.
Dicederai
Sejauh ini, posisi sentral parpol sering dicederai dari segi etis, moral dan kinerjanya. Paling sering elite parpol terjerat kasus korupsi, yang diperkirakan antara lain untuk membiayai kegiatan partai. Indonesia Corruption Watch mencatat ada 254 anggota legislatif jadi tersangka korupsi sepanjang 2014-2019; 22 orang di antaranya anggota DPR; dua di antaranya ketua dan wakil ketua DPR; empat ketua umum partai terpidana kasus korupsi dan suap.
Pimpinan partai juga harus memikirkan pemenangan caleg di tiap daerah pemilihan (dapil), dan calon kepala daerah di pilkada yang ongkosnya mahal. Biaya pemenangan gubernur perlu minimal Rp 50 miliar, bupati/walikota tak kurang dari Rp 15 miliar dan caleg minimal Rp 1,5 miliar. Mengelola partai memang sangat mahal di Indonesia yang wilayahnya seluas Eropa Barat. Untuk kongres, rapat kerja yang dihadiri banyak orang, diperlukan biaya untuk transportasi dengan pesawat udara dan akomodasi di hotel berbintang.
Kita yakin demokrasi adalah sistem yang tepat untuk membangun kestabilan dan kemajuan negara-bangsa kita. Karenanya, perlu pengaturan yang jelas mengenai pembiayaan parpol dan proses politik kenegaraan yang kian mahal ini. Jika tidak, pelanggaran etis, moral, dan hukum akan terus bermunculan.
Beberapa partai menempuh cara beragam untuk biayai partai, ada yang dari iuran tokoh-tokoh pimpinan pusatnya, kontribusi anggota DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota, sumbangan simpatisan dan dana pribadi ketua umumnya.
Pada waktu ini, negara telah ikut membiayai parpol. Untuk setiap perolehan suara partai pada pemilu terakhir diberikan dana Rp 1.000 setiap suara per tahun. Demikian juga di provinsi/kabupaten/kota. Di Indonesia belum ada partai yang mencapai kondisi ideal di mana kegiatan politiknya dibiayai gotong-royong dari iuran anggota.
Meningkatnya jumlah kelas menengah Indonesia menjadi sekitar 85 juta orang pada 2020, dapat mendorong pembiayaan kegiatan politik jadi lebih sehat. Kecenderungan saat ini, di mana tak sedikit pemilih menentukan pilihannya secara transaksional berdasarkan tawaran uang, diharapkan akan berkurang. Namun, keraguan atas hal itu juga besar, karena selama 20 tahun reformasi, angka transaksi politik terus meningkat.
Meningkatnya jumlah kelas menengah Indonesia menjadi sekitar 85 juta orang pada 2020, dapat mendorong pembiayaan kegiatan politik jadi lebih sehat.
Tanggung jawab parpol
Masalah lain yang perlu diperbaiki segera adalah citra DPR yang sangat memprihatinkan. Jumlah UU yang diselesaikan setiap tahun sangat sedikit, jauh di bawah target program legislasi nasional (prolegnas) dan tak sedikit yang dalam waktu singkat kalah dalam uji materi (judicial review) di MK.
Kepercayaan rakyat pada DPR menurun juga karena beberapa anggota tersangkut kasus suap dan korupsi dalam mega skandal yang tak terbayangkan besarnya, absensi rendah, ekspose kunjungan kerja ke luar negeri yang disorot televisi sedang belanja dan jalan-jalan, serta politik anggaran yang tak efektif meningkatkan kesejahteraan rakyat.
DPR 2014-2019, mengalami empat kali pergantian ketua, dari Setya Novanto ke Ade Komaruddin, kembali ke Setya Novanto dan beralih ke Bambang Soesatyo. DPR sibuk dengan dirinya sendiri, mengotak-atik UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) setelah ada hasil pemilu untuk kepentingan kelompok; MPR dipimpin satu ketua dan sembilan wakil; UU Pemilu yang setiap mau pemilu diubah, mengesankan DPR tak mampu buat UU berjangka panjang.
Sebagai salah satu pilar kekuasaan negara, parpol tak bisa membiarkan kinerja DPR/DPRD menurun, dan harus menjaga moral kader-kadernya yang duduk di lembaga politik. Di negara demokrasi, tujuan setiap partai ikut dalam pemilu adalah untuk mendapatkan porsi yang semakin besar dalam struktur kekuasaan negara.
Partai yang memperoleh suara lebih banyak, yang tergabung dalam koalisi pemenang pilpres, bisa menempatkan lebih banyak kadernya menjadi menteri dan pejabat publik lain seperti Jaksa Agung, duta besar, komisaris BUMN, kepala badan dan sebagainya. Oposisi, harus cukup puas dengan posisi di legislatif (Alat Kelengkapan DPR dan MPR).
Pemanfaatan posisi dalam struktur negara untuk kepentingan partai harus hati-hati karena rawan pelanggaran etika dan hukum. Yang paling sering, pemanfaatan jaringan birokrasi untuk pemenangan partai, fasilitas perizinan dan alokasi anggaran untuk kolega separtai.
Sebagai salah satu pilar kekuasaan negara, parpol tak bisa membiarkan kinerja DPR/DPRD menurun, dan harus menjaga moral kader-kadernya yang duduk di lembaga politik.
Bahwa fragmentasi politik telah menghasilkan proses politik yang tidak efisien, telah disadari sejak pemilu pertama di era Reformasi tahun 1999 yang diikuti 48 partai. Saat itu, lolos ke DPR 18 partai. Sebagai respons, terbentuk konsensus nasional untuk secara bertahap mengurangi jumlah parpol secara demokratis, dengan ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) yang secara bertahap meningkat. Untuk pertama kali, PT untuk kursi DPR berlaku di Pileg 2009, yaitu 2,5 persen.
Pemilu 2009 diikuti 44 parpol (dengan tujuh parpol lokal di Aceh); 28 parpol tak lolos ambang batas. Di Pemilu 2014 yang dikuti 15 parpol (dengan tiga parpol lokal di Aceh), PT dinaikkan menjadi 3,5 persen. Hasilnya, dua partai tak lolos ambang batas. Pada Pemilu 2019, ambang batas dinaikkan menjadi 4 persen.
Sebanyak 16 parpol menjadi peserta pemilu dan hanya sembilan lolos ke DPR. Yang tak lolos Perindo, Berkarya, PSI, Hanura, PBB, PKPI dan Garuda. Untuk Pemilu 2024, kenaikan PT secara bertahap baik untuk dilanjutkan, menjadi 4,5 persen. PDI Perjuangan juga sudah mengusulkan agar PT diberlakukan juga di tingkat DPRD.
Tak ada ketentuan mengenai jumlah partai yang ideal di parlemen nasional suatu negara. AS negara bersistem federal dan presidensial telah lama memiliki tradisi dua partai. China diperintah partai tunggal sejak 1949. Demokrasi parlementer di Jepang pasca-Perang Dunia II memiliki beberapa partai dengan satu partai (LDP) sebagai partai dominan. India negara federal-parlementer, saat ini ada 2.293 partai, tujuh di antaranya berstatus partai nasional.
Partai Kongres memimpin India selama 30 tahun sejak India merdeka. Malaysia, negara federal-parlementer, memiliki banyak partai, dengan UMNO bersama aliansinya, Barisan Nasional adalah kekuatan dominan dan pernah memimpin Malaysia 61 tahun.
Indonesia pernah menggunakan sistem tiga partai (Golkar, PPP, PDI). Ke depan, dengan menimbang heterogennya bangsa kita, mungkin cukup ideal bila ada lima partai di DPR. Jumlah itu akan membuat proses politik menjadi efisien dan cukup untuk mewadahi aspirasi rakyat yang heterogen ini.
Negara bakal sehat kalau parpolnya sehat; baik yang di pemerintahan maupun yang di oposisi. Setiap elite partai perlu menyadari bahwa negara kita yang wilayahnya luas dan penduduknya banyak ini hidup di dunia dengan dinamika yang semakin tinggi, dengan kompleksitas permasalahan yang rumit, disertai tarikan-tarikan kepentingan internasional yang begitu hebat.
Dalam situasi yang seperti itu, tanggung jawab parpol adalah mendorong terbentuknya lembaga-lembaga negara terutama DPR yang bermutu tinggi dan pemerintahan yang mampu memimpin negara bangsa ini melalui medan yang pelik. Parpol juga harus ikut mengawal berbagai perubahan yang diperlukan negara-bangsa Indonesia di dunia yang sedang maju dengan sangat pesat dan berubah dengan sangat cepat ini. Semoga.
( Siswono Yudo Husodo Ketua Pembina Yayasan Universitas Pancasila)