”I Can Feel You”
Dua minggu lalu saya mengunggah foto dengan keterangan mengapa akhir pekan itu cepat sekali berlalu. Mengapa saya harus kerja pontang-panting, mengapa ketika saya bekerja orang lain libur, dan ketika saya berlibur mereka tetap berlibur juga. Mengapa cari uang itu susahnya setengah mati dan mengapa enggak dibuat gampang saja.
Malas
Unggahan itu mendapat respons macam-macam. Tetapi, dari sekian yang masuk, ada yang berkomentar begini. ”I can feel you, Mas.” Komentar itu malah membuat saya jadi berpikir keras.
Apakah saya ini juga bisa merasakan sebuah kesedihan atau beban yang sedang dihadapi orang lain? Dengan kata lain, apakah saya bisa berempati kepada kondisi seseorang, terutama mereka yang sedang dalam keadaan terpuruk?
Ataukah saya ini hanya bisa menulis komentar semacam itu tanpa makna apa pun. Artinya, saya hanya berhenti setelah dapat merasakan kesedihan orang lain, tanpa harus melakukan sesuatu untuk mereka. Jadi ”feel” doang. Action-nya belum tahu kapan akan dilakukan atau bahkan tak ada aksi yang akan dilakukan.
Setelah membaca komentar di atas, saya mengirim pesan kepada seorang teman yang sedang belajar di Negeri Paman Sam. Saya ingin menanyakan kabar karena sudah cukup lama saya tak mendengar kabar beritanya. Dan pesan itu berakhir dengan curhat panjang teman saya yang seperti sedang menghadapi sebuah situasi yang melelahkan batinnya.
Sejujurnya saya adalah tipe orang yang ”feel” doang. Beberapa waktu lalu saya menjadi pembicara, dan dalam acara itu beberapa peserta ada yang membagikan pengalaman mereka menolong bahkan menjadi pendamping bagi mereka yang mendapat perlakuan tidak adil.
Pada saat mereka berbagi, saya mendengarkan dan sebuah pertanyaan muncul di dalam hati. ”Hebat banget ya ada orang yang mau berjuang seperti itu?” Diskusi itu berlangsung dari pukul 4 sore hingga nyaris pukul 7 malam.
Selama mendengar pengalaman itu saya merasa malu. Dan saya tahu sekali mengapa saya merasa malu. Semuanya karena satu alasan. Malas. ”Feel” itu tak perlu ada usaha yang dilakukan. Sementara aksi ada yang harus dilakukan. Namanya juga aksi, bukan?
”Feel” doang
Nah, karena ada yang harus dilakukan dan itu pasti membutuhkan perhatian, tenaga, dan dana, maka tiga hal itu membuat saya hanya memilih untuk merasakan penderitaan orang. Menolongnya dalam bentuk aktivitas fisik secara berkesinambungan tidak sama sekali. Karena yaa... malas itu.
Saya punya teman yang secara rutin melakukan kegiatan sosial. Saya hanya mendengar ceritanya dan terkagum-kagum atas apa yang diperbuatnya, bahkan di tengah kegiatan usahanya yang tak kalah sibuknya. Satu minggu lalu pada akhir pekan, saya ke luar kota, dan saya mengirimkan pesan untuk menanyakan kabar seorang teman lainnya.
Ia menjawab sedang melakukan aksi sosial di sebuah panti asuhan. Setelah membaca balasan itu, saya hanya berkomentar begini. ”Wah, kamu baik banget. Lain kali aku diajak, ya.”
Sejujurnya, komentar ”lain kali aku diajak” itu sudah berulang kali saya tuliskan sebagai penutup percakapan yang membuat saya merasa bersalah.
Kalimat penutup itu memang memperlihatkan saya memiliki niat yang baik. Pada kenyataannya, sama sekali tak saya lakukan ketika ada tawaran untuk melakukan aksi sosial. Ternyata, niat saja tidak cukup. Harus disertai dengan perbuatan. Apa akibatnya kalau saya ini malas?
Saya tak memberi kesempatan orang lain untuk hidup lebih baik, untuk menemukan solusi atas situasi pelik yang mungkin dihadapi. Rasa malas itu telah mengakibatkan saya menutup kesempatan bagi orang lain untuk tertolong, untuk dimengerti, untuk mendapatkan perhatian, untuk memiliki teman beberapa jam untuk curhat dan bermain, untuk punya waktu merasakan bahwa hidup itu adil.
Berdasarkan rasa malas itu saya memutuskan untuk melakukan aksi. Berdoa untuk mereka yang menghadapi masalah. Siapa pun mereka. Karena dengan melakukan aktivitas berdoa, saya tak harus ke mana-mana. Saya berpikir niat sudah ada, sekarang niat harus diterjemahkan ke dalam aksi.
Maka aksi yang paling mudah tanpa membutuhkan tenaga, dana, dan kelelahan adalah berdoa saja. Dan menurut otak saya yang jongkok ini, doa itu tak hanya bisa dilakukan di mana saja, tetapi dapat menjangkau manusia yang berada di mana pun.
”Dasar pemalas! Kalau doa dan ngomong doang, feel-feel doang itu mah gampang. Semoga suatu hari elo bisa mencerahkan diri elo sendiri dan tak melupakan bahwa orang yang pernah nolongin elo itu enggak cuma feel-feel doang. Mereka melakukan aksi dengan tenaga mereka, dengan tangan mereka, dan dengan dana mereka.”
”Masih ingat enggak siapa yang beliin elo tiga galon air mineral dan nganterin ke apartemen elo ketika elo enggak mampu bangun dari tempat tidur? Ingat enggak yang nganterin elo ke lapangan terbang pagi-pagi waktu elo mau cangkok ginjal? Mereka tuh enggak cuma ngomong I can feel you doang, tahu!”
Itu adalah suara nurani saya yang telah berhasil membuat saya tersinggung.