Panjang Umur
Saya menerima pesan di hari libur mengenai pembersihan plak dalam pembuluh darah yang disebabkan karena makanan. Saya tak tahu soal kebenaran dari pesan mulia itu. Yang jelas setiap pagi saya sarapan buah pepaya, yang menurut pesan itu dapat menjadi pembersih plak kolesterol dan plak asam urat.
Jane Fonda
Setelah membaca itu saya diliputi rasa senang karena merasa bahwa apa yang saya konsumsi benar-benar menjadi penolong. Tak lama setelah itu, seperti biasa, saya melakukan ritual pagi untuk berkeliaran di media sosial. Ritual ini menghabiskan waktu sekitar dua jam.
Kalau sudah masuk ke dunia yang satu itu, saya bisa lupa diri. Kondisi baterai yang 100 persen bisa sampai tinggal 40 persen baru saya berhenti. Nah, di tengah asyik melakukan ritual itu, saya membaca iklan untuk panjang umur dengan mengonsumsi sayuran.
Beberapa hari sebelumnya, saya makan siang bersama teman-teman, yang salah satunya sedang menjalankan satu jenis diet yang tampaknya sedang naik daun. Melihat caranya makan, saya merasa tersiksa. Namun, saya melanjutkan saja menikmati pesanan saya yang menunya mungkin dapat membuat teman saya itu sakit kepala.
Melihat kejadian itu, saya berpikir, jadi manusia itu, kok, susahnya setengah mati. Apakah saya harus panjang umur? Apakah saya harus dan mau sehat? Jawabannya sudah Anda ketahui. Saya ingin keduanya. Bahkan, belum lama ini saya menulis di akun media sosial, saya ingin tua seperti Jane Fonda. Saya tak hanya ingin terlihat bugar, terlihat sehat, badan tidak menjadi melar, tetapi juga terlihat bahagia.
Kemudian datang pertanyaan lagi. Apakah untuk menjadi bahagia saya harus menyiksa diri seperti teman saya itu? Apakah saya harus memaksa diri saya untuk mengonsumsi sayuran yang tak saya sukai? Apakah saya harus menjalankan diet yang buat saya sungguh menyiksa untuk menjadi bahagia? Apakah seperti pepatah mengatakan bahwa beauty is pain, maka saya harus juga pain untuk panjang umur dan memiliki kebahagiaan?
Apakah benar kesakitan mendatangkan kebahagiaan? Dan, kalau saya mau panjang umur dengan makan sayuran sesuatu yang tak saya sukai, dan katakan pada akhirnya saya menjadi panjang umur dan mampu mengelola kolom ini sampai usia 90 tahun, misalnya, apakah saya disebut bahagia? Lha wong saya menjalankannya dengan rasa tersiksa?
Hebat
Apakah seperti cinta untuk bahagia saya harus berkorban? Namanya juga berkorban pasti sesuatu yang terpaksa harus dilakukan. Dan, pengorbanan akan dilakukan karena ada cinta yang memberi semangat agar pengorbanan itu tampak ringan dijalankan.
Jadi, mengapa saya tak mencoba berkorban agar saya bisa meraih cita-cita saya seperti Jane Fonda dengan memakan sayuran, dengan mengurangi gula, mengurangi garam, menambah protein, dan sejuta kurang ini dan tambah itu?
Belum termasuk harus bangun pagi berolahraga. Seperti rekan kerja saya, ia berpuasa satu minggu dua kali, ia hanya makan sayur dan sangat sedikit makan daging. Saya yang melihatnya sungguh tersiksa. Mungkin karena saya belum mencintai diri sendiri. Cinta saya masih terlalu kecil, masih perlu dipertanyakan.
Saya hanya ingin seperti Jane Fonda, tetapi saya masih belum mau dan belum mampu membayar harganya. Mungkin yang harus saya lakukan adalah bukan membaca dan menjalani resep-resep untuk menjadi sehat, untuk melakukan olahraga untuk mengencangkan perut, tetapi saya harus mulai belajar untuk mencintai diri saya.
Mau jadi seperti Jane Fonda dan panjang umur itu ternyata yang pertama mungkin bukan soal makan sayurnya, tetapi mempunyai keinginan untuk bahagia. Setelah itu tebersit dalam pikiran saya, apakah teman saya seorang laki-laki yang kalau makan seperti orang kalap adalah orang yang tidak bahagia?
Kalau saja Anda bisa melihat bagaimana ia makan, saya pastikan Anda pasti jadi ketakutan. Saya saja yang kurang disiplin selalu deg-degan melihat bagaimana ia mengonsumsi makanan. Bisa jadi juga ia melakukan itu semua karena memang ia suka makan. Mungkin ia merasa tidak perlu untuk mengurangi kebahagiaannya meski begitu banyak orang ingin menjadi sehat.
Saya teringat akan dua gambar perempuan yang pernah dikirimkan kepada saya. Satu wanita tampak kurus, terlihat tua setelah melakukan diet dan menjaga asupan dan berolahraga. Satu lagi wanita kalau tidak salah seingat saya seorang juru masak. Di usia yang sama, dengan cara makan yang berbeda, juru masak kondang ini terlihat berisi, sehat, dan bugar.
Saya tak tahu pesan yang ingin disampaikan oleh kedua gambar itu. Namun, buat saya, setiap orang sejatinya harus merasa bahagia untuk mencapai apa yang diinginkan. Ia harus menjalankan kehidupannya tidak dengan cara menyiksa dirinya. Kalaupun ada yang mau membayar pengorbanan itu dengan rela hati, mungkin itu bahagianya. Mungkin ia tak lagi melihat itu sebagai sebuah pengorbanan karena ia telah membayangkan hasil yang akan didapatinya.
Berbahagia itu bukan seperti mengajarkan cara yang sama untuk menghitung satu tambah satu di sebuah kelas berisi 30 murid dengan tingkat intelektual yang berbeda-beda. Kemudian orang memberi predikat juara itu hebat dan yang tak juara tidak hebat. Bahagia untuk setiap orang itu hebat adanya.