Semakin Ramai, Dunia Internet Indonesia Belum Berikan Rasa Aman
RUU Perlindungan Data Pribadi diharapkan dapat disahkan tahun ini. Di sisi lain, masyarakat juga perlu meningkatkan literasi dan kewaspadaan dalam berselancar di dunia maya agar tidak mudah masuk dalam jebakan peretas.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Setahun ke belakang, netizen Indonesia bertambah ramai. Sayangnya, warganet Indonesia masih belum sepenuhnya aman. Selain mengimbau agar terus waspada dalam berselancar, pemerintah perlu segera menyiapkan aturan yang dapat menjadi landasan perlindungan bagi masyarakat.
We Are Social mencatat, jumlah netizen di Indonesia meningkat sebesar 1 persen selama setahun terakhir, dari 203 juta orang menjadi 204,7 juta orang. Peningkatan ini melanjutkan tren positif yang setidaknya telah berlangsung selama sewindu terakhir. Sejak 2016, jumlah pengguna internet di Indonesia bertambah hingga lebih dari dua kali lipat dari 90,7 juta menjadi 204,7 juta orang.
Secara spesifik, terdapat lonjakan pengguna internet baru di Indonesia yang cukup signifikan selama masa pandemi. Per Januari 2020, jumlah pengguna internet di Indonesia masih berada di kisaran 176 juta orang. Artinya, dalam dua tahun terakhir, terdapat peningkatan jumlah warganet Indonesia sebesar 16 persen.
Sumber informasi
Tren peningkatan jumlah netizen di Indonesia ini bisa jadi didorong oleh kebutuhan informasi yang semakin tinggi. Nyatanya, kegiatan mencari informasi (80,1 persen) dan mencari inspirasi (72,9 persen) menjadi tujuan utama netizen Indonesia ketika berselancar di internet. Selanjutnya, tak sedikit dari masyarakat Indonesia yang menggunakan internet untuk mengikuti kabar dan isu terkini yang tengah ramai diperbincangkan (61,4 persen).
Hal lain yang juga mendorong penggunaan internet di Indonesia ialah kebutuhan untuk bersosialisasi. Selama pandemi Covid-19 melanda, masyarakat mau tidak mau harus membatasi interaksi dengan sesama di ruang fisik. Dengan kian terbatasnya ruang di dunia nyata, masyarakat akhirnya menjadikan dunia maya sebagai medium untuk bersosialisasi. Tak heran, nyaris 70 persen dari netizen Indonesia menggunakan internet untuk bercengkerama dengan teman dan saudara.
Selaras, semakin terbatasnya ruang fisik juga membuat masyarakat Indonesia beralih ke dunia digital dalam urusan mencari hiburan. Hal ini tecermin dari tujuan masyarakat Indonesia dalam menggunakan internet, yakni untuk mengisi waktu luang (63,4 persen), menonton video, TV, serial atau film (58,8 persen), dan mendengarkan musik (56,7 persen). Beberapa kegiatan lain seperti bermain gim (41 persen) dan tayangan pertandingan olahraga (25,7 persen) juga menjadi pilihan kegiatan hiburan bagi masyarakat.
Serangan phishing menjadi salah satu pintu masuk terbesar bagi peretas yang memanfaatkan surel pribadi ataupun surel kantor.
Tren internet sebagai sumber hiburan masyarakat sebetulnya telah terekam semenjak masa awal pandemi. Pada akhir 2020, data dari McKinsey menunjukkan bahwa terdapat peningkatan keinginan warga Indonesia untuk mengonsumsi produk atau jasa yang berkaitan dengan kegiatan mencari hiburan di dalam rumah sebesar 13 persen.
Tidak hanya itu, sekitar 76 persen dari masyarakat juga sepakat untuk tetap mempertahankan konsumsi mereka pada jenis produk dan jasa tersebut bahkan hingga nanti masa pandemi Covid-19 telah usai.
Meskipun dunia internet semakin ramai, warganet Indonesia masih dihantui dengan berbagai aksi kejahatan siber yang mengancam. Data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan, terdapat lebih dari 90.000 aksi kriminal di dunia internet Indonesia selama 2021. Tak hanya individu, ancaman keamanan ini juga dirasakan oleh institusi di berbagai bidang, seperti keuangan, perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan bahkan pemerintah.
Dari berbagai aksi kejahatan tersebut, kebocoran data menjadi yang paling menonjol dengan jumlah lebih dari 84.000 kasus. Selanjutnya, kejahatan lain yang cukup kerap terjadi ialah kasus pengubahan halaman situs (web defacement) dengan jumlah 5.940 kasus.
Terakhir, terdapat pula kasus kejahatan digital yang relatif tradisional, yakni penipuan atau pengelabuan yang biasa disebut phishing sebanyak 264 kasus. Serangan phishing menjadi salah satu pintu masuk terbesar bagi peretas yang memanfaatkaan surel pribadi ataupun surel kantor.
BSSN juga melaporkan, sepanjang 2019, setidaknya terdapat 228 juta lalu lintas data yang anomali di Indonesia. Anomali dijadikan tanda untuk mengidentifikasi terjadinya peretasan data. Anomali ini meningkat dua kali lipat pada 2020 menjadi 495 juta. Kemudian, pada 2021 meningkat lagi menjadi 1,6 miliar.
Maraknya kasus kriminal, terutama soal pencurian data, di dunia digital ini semakin menguatkan urgensi bagi pemerintah untuk segera menyelesaikan regulasi. Walau Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny G Plate mengklaim telah ada 48 peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait perlindungan data, dengan setidaknya terdapat 51 kasus yang tengah diperiksa, kasus pelanggaran perlindungan data pribadi masih terlampau sering terjadi.
Sayangnya, RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang diidam-idamkan masyarakat masih saja belum bisa dituntaskan oleh DPR. Hal ini terutama disebabkan oleh masih terjadinya tarik ulur antara pemerintah dan DPR terkait kedudukan lembaga pengawas perlindungan data pribadi. Pemerintah menginginkan agar lembaga tersebut berkedudukan di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), berbeda dengan usulan DPR agar lembaga bersifat independen.
Semoga, ego sektoral yang terus menempatkan masyarakat dalam ancaman kriminalitas siber ini bisa segera dienyahkan dan RUU PDP dapat disahkan tahun ini. Di sisi lain, masyarakat juga perlu meningkatkan literasi dan kewaspadaan dalam berselancar di dunia maya agar tidak mudah masuk dalam jebakan peretas.