Kala Bola Voli Indonesia ”Menunggang” Gelombang Korea
Laga Indonesia versus Red Sparks memanfaatkan gelombang budaya Korea atau ”Hallyu” untuk kebangkitan industri bola voli.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·3 menit baca
Yosephin (30) menatap lekat-lekat potretnya bersama Koo Hee-jin, pelatih klub Liga Bola Voli Korea, Daejeon Jung Kwan Jang Red Sparks. Dengan wajah semringah, Yosephin menggeser foto di ponselnya dan melihat satu per satu potret bersama para pemain Red Sparks. Dia masih tak percaya bisa sedekat itu dengan skuad Red Sparks.
Yosephin merupakan satu dari puluhan penggemar yang mengikuti acara tanda tangan (fansign) bersama Red Sparks dan timnas bola voli putri Indonesia di Stadion Indonesia Arena, Jakarta, Sabtu (20/4/2024), siang. Kegiatan ini mengawali rangkaian acara laga ekshibisi antara timnas Indonesia dan Red Sparks yang bertajuk ”Fun Volleyball” yang digelar pukul 18.00 WIB. Untuk mengikuti fansign dan menonton pertandingan yang diinisiasi Lembaga Pengelola Dana dan Usaha Keolahragaan (LPDUK) Kementerian Pemuda dan Olahraga ini, penggemar harus mengeluarkan biaya tiket sebesar Rp 5,5 juta.
Biaya itu lebih besar bagi penggemar yang datang dari luar Jakarta, apalagi luar Indonesia seperti Yosephin. Warga Lampung yang bekerja di Kuala Lumpur, Malaysia, ini menyiapkan dana hingga Rp 10 juta untuk membiayai seluruh keperluannya dalam rangka menemui idola, terutama Park Hye-min dan Yeum Hye-seon. Kendati harus merogoh kocek dalam-dalam, dia tak mempermasalahkan hal itu karena merasa puas bisa menjumpai pevoli Red Sparks secara langsung.
Selama ini, Yosephin hanya bisa menyaksikan para pemain Red Sparks melalui tayangan di internet. Adapun awal mula ketertarikannya pada Red Sparks dan olahraga voli secara umum tak lepas dari aksi Megawati Hangestri Pertiwi di Liga Bola Voli Korea.
”Semua rasanya terbayar. Rasanya mirip-mirip saat ngefans ke member Blackpink atau BTS. Bedanya, ini puas banget karena bisa bertemu sangat dekat. Kalau konser K-Pop (musik Korea), biasanya (melihat) dari jauh. Makanya, ini senang sekali rasanya. Susah digambarkan lewat kata-kata,” ujar Yosephin, yang juga membawa bingkisan untuk para pemain berupa lukisan.
Kebahagiaan serupa dirasakan Fernanda (25) yang datang bersama orangtuanya, Anam (57) dan Wati (53). Wajah Fernanda semringah ketika semua tanda tangan dan foto telah didapatkan dari pemain Red Sparks dan timnas Indonesia.
Semua rasanya terbayar. Rasanya mirip-mirip saat ngefans ke member Blackpink atau BTS. Bedanya, ini puas banget karena bisa bertemu sangat dekat.
Sebenarnya, Fernanda awalnya tidak begitu menggemari olahraga bola voli. Justru orangtuanya yang menyenangi olahraga tersebut. Kegemaran Anam dan Wati akan bola voli dibuktikan dengan memberi nama anaknya tersebut dari nama depan pevoli putri asal Brasil, Fernanda Tome.
Fernanda sendiri lebih senang menonton drama Korea dan mendengar musik Korea. Hobinya itu membuat Fernanda familiar beberapa kata dalam bahasa Korea. Alhasil, ketika orangtuanya menonton pertandingan Red Sparks dan menonton vlog mereka, dia tahu apa yang sedang dibicarakan.
”Lama-lama, aku ikut menonton voli juga. Malah akhirnya jadi mencari tahu voli di Indonesia. Waktu ada info Red Sparks mau ke Indonesia, aku langsung war tiket. Ini hadiah juga buat hari jadi pernikahan ke-27 buat ayah dan ibu,” ujar Fernanda.
Pengaruh budaya Korea telah meluas ke seluruh dunia. Sejak pandemi, gelombang budaya Korea lewat tontonan drama bahkan semakin populer, termasuk di Indonesia.
Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kini Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada awal pandemi menunjukkan, jumlah penonton drama Korea bertambah dan lama waktu menonton menjadi 4,6 jam sehari, dari sebelumnya hanya 2,7 jam.
Di bidang musik, Indonesia juga menjadi salah satu pasar musik Korea (K-Pop). Berbagai boy band/girl band kerap mengadakan konser di Jakarta. Para penggemarnya pun rela merogoh kocek dalam-dalam agar bisa mengoleksi aksesori para idolanya.
Pengaruh budaya Korea ini yang kemudian dimanfaatkan sebagai pintu masuk untuk antusiasme terhadap bola voli. Pelaksana Tugas Direktur LPDUK Ferdinand K Tangkudun tak memungkiri pihaknya memanfaatkan gelombang Korea untuk menarik minat masyarakat terhadap acara ekshibisi timnas versus Red Sparks.
Rangkaian kegiatannya pun dibuat mirip seperti konser K-Pop, termasuk dengan diadakannya fansign. Umumnya, fansign dilakukan oleh tiap-tiap anggota grup idola dengan menandatangani album untuk para penggemarnya. Fansign biasanya digelar ketika grup idola atau solois K-Pop merilis album baru.
”Kami melihat, penggemar Red Sparks ini bukan hanya dari kalangan pencinta olahraga, tetapi juga ada yang memang senang K-Pop dan budaya Korea lainnya. Nah, kami akhirnya mengemasnya demikian,” tutur Ferdinand.
Ferdinand optimistis acara tersebut akan menjadi langkah awal membangun industri olahraga bola voli Tanah Air. Kebangkitan industri, menurut Ferdinand, akan turut berdampak pada perkembangan olahraga tersebut.
Alih-alih membendung gelombang Korea, yang tampaknya mustahil, tak ada salahnya ”menungganginya” demi kepentingan olahraga Tanah Air. Jika selama ini Korea menarik antusiasme warga Indonesia melalui gelombang budayanya, kini giliran Indonesia melalui olahraganya memanfaatkan balik gelombang Hallyu tersebut.