Atlet Indonesia prioritas Olimpiade tampil di Perancis Terbuka. Namun, tak ada di antara mereka yang lolos ke semifinal.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·3 menit baca
PARIS, JUMAT — Seandainya Perancis Terbuka di Adidas Arena, Paris, pada 5-10 Maret, adalah Olimpiade, Indonesia dipastikan gagal meraih medali. Atlet-atlet yang diprioritaskan untuk tampil di Olimpiade Paris 2024 tak ada yang mencapai semifinal.
Semifinal adalah tahap minimal yang harus dicapai atlet bulu tangkis untuk mendapatkan medali di ajang Olimpiade yang tahun ini akan berlangsung 26 Juli-11 Agustus. Itu pun belum menjamin mereka akan benar-benar meraih medali.
Atlet yang menang di semifinal mendapat peluang mengubah medali perak yang sudah di tangan menjadi emas, sedangkan yang kalah harus bertanding kembali memperebutkan medali perunggu. Kegagalan mendapat medali, meski sudah mencapai semifinal, terakhir kali dialami ganda putra Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan di Olimpiade Tokyo 2020. Hendra/Ahsan kalah dari Lee Yang/Wang Chi Lin (Taiwan) di semifinal dan kalah lagi dari Aaron Chia/soh Wooi Yik (Malaysia) dalam perebutan medali perunggu.
Dalam turnamen Perancis Terbuka Super 750, atlet-atlet top dunia berkumpul setelah terakhir kali bersaing pada satu turnamen di Malaysia Terbuka Super 1000 pada Januari. Perancis Terbuka digelar di Adidas Arena yang akan menjadi tempat persaingan memperebutkan lima medali emas bulu tangkis Olimpiade. Agar atlet bisa beradaptasi dengan tempat tersebut, jadwal Perancis Terbuka 2024 dimajukan dari yang biasanya digelar Oktober.
Indonesia pun memanfaatkan peluang tersebut dengan mengirim skuad terbaik, termasuk mereka yang berpeluang besar tampil di Paris 2024. Mereka adalah Anthony Sinisuka Ginting, Jonatan Christie, Gregoria Mariska Tunjung, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, dan Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva Ramadhanti. Namun, tak ada satu pun yang bisa menembus semifinal.
Tahap terjauh dicapai Fajar/Rian, itu pun hanya perempat final. Anthony, Gregoria, dan Apriyani/Fadia kalah pada babak kedua, sementara Jonatan pada babak pertama.
Kejutan dari pemain top negara lain memang tak terelakkan, seperti tersingkirnya ganda campuran nomor satu dunia, Zheng Si Wei/Huang Ya Qiong (China), pada perempat final. Ada pula Viktor Axelsen yang kalah pada babak kedua.
Namun, persaingan di semifinal, yang akan berlangsung Sabtu, setidaknya bisa menjadi gambaran bahwa persaingan di Olimpiade bisa saja dikuasai mereka. Tiket semifinal dimiliki banyak wakil China, yaitu enam, diikuti Jepang (4), Korea Selatan (3), serta Thailand, Taiwan, dan India, masing-masing, dengan dua wakil.
Indonesia meloloskan satu wakil ke semifinal, yaitu Chico Aura Dwi Wardoyo, yang bukan merupakan atlet prioritas Olimpiade. Chico mengalahkan pemain Denmark unggulan keempat, Anders Antonsen, 21-15, 21-8, pada perempat final yang berlangsung Jumat (8/3/2024) malam waktu setempat atau Sabtu dini hari waktu Indonesia. Tunggal putra nomor tiga Indonesia itu juga menyingkirkan unggulan, yaitu Kodai Naraoka (6), pada babak pertama dan akan melawan Shi Yu Qi (China) di semifinal.
Momen kritis bisa terjadi saat pemain unggul, lalu terkejar lawan. Ini terjadi karena mereka lengah.
Sementara itu, Fajar/Rian kalah dari Lee Jhe Huei/Yang Po Hsuan (Taiwan), 20-22, 19-21. Kekalahan itu dialami setelah Fajar/Rian selalu unggul pada gim pertama hingga kondisi berbalik setelah unggul 18-14. Adapun pada gim kedua, Fajar/Rian semakin kesulitan mengatasi kecepatan Lee/Yang yang menyingkirkan unggulan kedua, Liang Wei Keng/Wang Chang (China), pada babak kedua.
”Setelah kami unggul, lawan bermain sangat baik di depan net. Beberapa kali pengembalian kami terbaca oleh mereka. Selain itu, agresivitas dan power mereka sangat besar dan itu menyulitkan kami,” komentar Fajar yang juga mengatakan bahwa mereka bermain terburu-buru pada poin kritis.
Kalah momen kritis
Kekalahan dengan situasi seperti yang dialami Fajar/Rian ini menjadi sorotan legenda bulu tangkis Indonesia, Christian Hadinata, yang menjadi bagian dari tim ad hoc Paris 2024. Christian bercerita, berdasarkan performa dari beberapa turnamen terakhir, pemain Indonesia sering kalah bersaing dalam momen kritis.
Istilah momen kritis ini bisa diterapkan pada konteks berbeda, tetapi pada umumnya terjadi menjelang akhir setiap gim. Bagi Christian, momen kritis bisa terjadi sejak pemain mencapai poin 15 dengan selisih yang tak terlalu jauh dengan lawan.
Ketangguhan, terutama mental, pemain diuji sejak poin tersebut. Apalagi, permainan ganda putra bertempo sangat cepat. Lengah sedikit, situasi bisa berubah.
”Momen kritis bisa terjadi saat pemain unggul, lalu terkejar lawan. Ini terjadi karena mereka lengah. Mungkin pemain yang unggul menilai bahwa selisih poin cukup jauh, lalu saat lawan mendekat, mereka panik dan tertekan,” tutur Christian.
Ketika lawan mendekat atau saat terjadi skor ketat menjelang akhir gim, pemain harus bisa menenangkan diri. Christian menyebut ada trik yang bisa dilakukan guna mendapat waktu untuk mengembalikan fokus meski hanya beberapa detik, seperti meminta lapangan dikeringkan, meminta mengelap keringat, atau memintan izin mengganti kok. Selain menenangkan diri, ini bisa menjadi momen untuk memutus momentum lawan.
Namun, kemampuan pemain mengatasi momen kritis tak bisa didapat dengan tiba-tiba. Ini bisa diasah sejak latihan.
”Persaingan yang terjadi saat momen kritis, apalagi saat skor ketat, adalah adu mental. Atlet bisa membiasakan diri dalam situasi ini pada latihan, misalnya dengan melakukan simulasi sejak skor 15-15. Performa dan keputusan yang diambil atlet pada momen tersebut bisa dievaluasi,” ujar juara dunia ganda putra dan campuran pada 1980 tersebut.