Tumbang dari Borneo, Persita Terjebak di Zona Degradasi
Nirmenang dalam lima laga membawa Persita Tangerang jadi penghuni baru zona degradasi.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Hal yang ditakutkan Persita Tangerang terjadi, Sabtu (2/3/2024). Kekalahan dari Borneo FC, 0-1, di pekan ke-27 BRI Liga 1 menjerumuskan ”Pendekar Cisadane” ke zona degradasi.
Lebih parahnya lagi, kepastian Persita menjadi penghuni baru zona merah di Liga 1 musim ini hadir setelah laga kandang di Stadion Arena Indomilk, Tangerang, Banten. Hasil negatif dari Borneo berkat gol tunggal penyerang, Felipe Cadenazzi, di menit ke-51 menyebabkan Persita tanpa kemenangan dalam lima gim beruntun.
Dalam periode itu, Persita hanya mampu mengemas dua poin dari maksimal 15 poin. Masuknya Pendekar Cisadane ke zona degradasi tidak lepas pula dari peningkatan signifikan yang dicatatkan Arema FC.
Sejak menunjuk Widodo C Putro sebagai pelatih ketiga di musim ini mulai pekan ke-25, Arema menyapu bersih tiga laga dengan kemenangan. Berkat tambahan sembilan poin, Arema beranjak meninggalkan zona merah dengan duduk di peringkat ke-15. ”Singo Edan” mengoleksi 30 poin dari 27 laga sehingga unggul dua poin atas Persita.
Langkah Persita untuk keluar dari ancaman turun kasta bakal berat. Di tujuh laga tersisa, mereka bakal menghadapi lawan-lawan sulit, seperti Madura United, Persib Bandung, Persik Kediri, dan Bali United, yang butuh poin untuk memperebutkan posisi empat besar demi melaju ke championship series.
Musim ini seperti perang besar. Kami harus terus berjuang (untuk keluar dari zona degradasi). Meski berat, kami harus membenahi kekurangan dan tetap percaya mampu keluar dari zona merah.
Lalu, Persita juga akan menjalani laga penentu melawan Arema di pekan ke-29. Duel langsung melawan sesama tim papan bawah akan memberikan pengaruh bagi nasib Persita di klasemen akhir musim ini.
Pelatih Persita Divaldo Alves mengungkapkan, timnya menargetkan tiga poin setelah sempat meraih hasil imbang beruntun kontra Persebaya Surabaya dan PSS Sleman. Namun, katanya, Borneo bisa membuktikan kualitas mereka sebagai pemuncak klasemen dengan mencetak gol kemenangan dari satu peluang terbaik yang didapatkan selama 90 menit.
Meski telah bekerja keras untuk menaklukkan pertahanan Borneo, Alves mengakui timnya tidak memilili efektivitas yang dibutuhkan untuk mengonversi peluang menjadi gol. Itu terwujud dari buruknya penyelesaian akhir pemain depan Persita, terutama pada 15 menit akhir babak kedua.
”Musim ini seperti perang besar. Kami harus terus berjuang (untuk keluar dari zona degradasi). Meski berat, kami harus membenahi kekurangan dan tetap percaya mampu keluar dari zona merah,” ujar Alves pada konferensi pers selepas laga.
Jack Brown, gelandang Persita, pun tidak ingin menyerah untuk menyelamatkan Pendekar Cisadane dari ancaman turun kasta. Menurut dia, seluruh pemain Persita hanya kurang menampilkan performa terbaik yang selalu mereka lakukan pada setiap sesi latihan.
”Masih ada beberapa laga. Jadi, kami tidak boleh menundukkan kepala. Kami harus tetap positif untuk segera memetik hasil positif,” kata Brown yang masuk di menit ke-85 dan sempat memberkan satu umpan kunci.
Ungkapan kekecewaaan
Tidak hanya pelatih dan pemain yang kecewa, sejumlah kelompok suporter Persita pun meluapkan kekecewaan mereka di Arena Indomilk. Di tribune timur, suporter membentangkan spanduk raksasa berwarna putih dengan tulisan ”Dikritik Merasa Dizolimi”. Itu adalah bentuk kecaman suporter Pendekar Cisadane kepada kinerja manajemen klub.
Kemudian, di sisi tribune utara, beberapa fans menyalakan suar atau flare pada masa perpanjangan waktu babak kedua yang berlangsung 5 menit. Asap suar sempat mengganggu pemain, utamanya aroma asap itu, sehingga wasit Thoriq Alkatiri sempat menghentikan laga sekitar 30 detik pada menit 90+4.
Alves menegaskan, dirinya dan skuad Persita selalu berusaha untuk memberikan hasil maksimal untuk suporter yang selalu mendukung mereka. Namun, lanjutnya, banyak aspek di dalam pertandingan yang membuat ambisi itu tidak selalu berjalan mulus.
Pada laga kontra Borneo, mayoritas tribune Arena Indomilk kosong. Hanya 1.635 pendukung yang hadir. Itu tak lepas dari buruknya performa Pendekar Cisadane di musim ini. Padahal, Persita bermain pada akhir pekan dan sore hari.
Kunci lini tengah
Keberhasilan Borneo memperpanjang rekor tanpa kalah di 16 pertandingan tidak lepas dari superioritas mereka di lini tengah atas Persita. Trisula lini tengah yang diisi Wiljan Pluim, Adam Alis, dan Kei Hirose menjadi nyawa permainan Borneo.
Pluim, misalnya, menghadirkan aliran-aliran bola yang krusial untuk memanjakan pemain depan tim berjuluk ”Pesut Etam” itu. Adapun Hirose dan Adam menjaga keseimbangan permainan Borneo dengan menjadi penghubung lini belakang dan depan.
Pieter Huistra, Pelatih Borneo, tidak terlalu puas dengan penampilan anak asuhannya. Ia menyoroti performa Borneo yang lambat dalam mengalirkan bola sehingga gagal menciptakan peluang di babak pertama.
”Kami bermain lebih baik di babak kedua dan bisa mencetak gol, tetapi kami seharusnya bisa jauh lebih baik dari penampilan ini,” kata Huistra.
Di sisi lain, Persita hanya mengandalkan operan-operan jauh. Pemain tengah Persita tidak bisa mengatur tempo dan menyajikan operan untuk membelah pertahanan Borneo.
Itu menyebabkan tim tuan rumah lebih banyak mengandalkan operan panjang menuju lini depan. Satu-satunya pemain menonjol di Persita adalah gelandang serang, Ezequiel Vidal. Pergerakan bebas Vidal membantunya bisa menyajikan umpan kunci di sepertiga akhir pertahanan Borneo, tetapi penyelesaian akhir pemain depan Persita yang tidak baik membuat usaha Vidal sia-sia.