Final Piala Asia tak lagi milik kekuatan lama. Aura pemerataan kekuatan mulai terasa meski masih terpusat di Asia Barat.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
DOHA, KAMIS — Final ideal Piala Asia yang diidam-idamkan publik gagal terwujud. Dua negara dengan tradisi sepak bola kuat, Korea Selatan dan Iran, gugur di semifinal melawan negara-negara yang selama ini kurang diperhitungkan. Kedigdayaan negara-negara yang telah lama mendominasi persepakbolaan Asia itu untuk sementara memudar.
Kemenangan tuan rumah Qatar atas Iran, 3-2, pada semifinal Piala Asia di Stadion Al Thumama, Doha, Qatar, Kamis (8/2/2024) dini hari WIB, memastikan final kali ini tanpa diwarnai negara-negara raksasa sepak bola Asia. Iran menyusul Korea Selatan yang pada laga sehari sebelumnya gagal mengatasi perlawanan Jordania.
Ini kompetisi yang berat. Level sepak bola Asia semakin tinggi.
Kegagalan Korea Selatan melaju ke final terbilang mengejutkan. ”Kesatria Taeguk” takluk dua gol tanpa balas kepada Jordania yang bahkan baru merasakan final pertama sepanjang sejarah sepak bola mereka. Kegagalan itu terasa ironis mengingat Korea Selatan merupakan salah satu favorit juara.
Sejarah panjang kekuatan Korea Selatan di Piala Asia sudah terentang sejak edisi pertama turnamen itu. Mereka adalah juara Piala Asia pertama, sekaligus negara pertama yang mampu mempertahankan gelar juara.
Korea Selatan, bersama Jepang dan Arab Saudi, sudah lama terlibat persaingan menguasai Asia. Jepang sementara unggul dengan koleksi empat gelar juara. Sementara Arab Saudi, Iran, dan Korea Selatan berada di bawahnya sebagai negara tersukses di Piala Asia.
Iran juga merasakan senja kala di Piala Asia edisi kali ini meski berhasil membuat publik terpana dengan tekad pantang menyerahnya. Di semifinal, Iran tidak bisa melampaui kekuatan Qatar yang mendapat sokongan luar biasa dari penonton di stadion.
”Tim Melli” harus merelakan satu tempat di final menjadi milik Qatar. Padahal, Iran amat berhasrat menambah koleksi gelar Piala Asia mereka menjadi empat kali, atau menyamai capaian Jepang. Kegagalan Iran menaklukkan Qatar juga menyebabkan untuk pertama kalinya dalam 25 tahun terakhir final Piala Asia tidak akan menampilkan raksasa-raksasa tradisional semacam Korea Selatan, Jepang, Iran, atau Arab Saudi.
Terkait tidak adanya wakil raksasa-raksasa Asia di final Piala Asia edisi kali ini, penyerang sekaligus kapten Korea Selatan, Son Heung-min, mengakui bahwa persepakbolaan Asia telah jauh berkembang. ”Saya tidak punya penyesalan karena sudah memberikan segalanya. Ini kompetisi yang berat. Level sepak bola Asia semakin tinggi,” ujar Son.
Hal serupa turut diutarakan Pelatih Iran Amir Ghalenoei. Setelah Iran tersingkir di semifinal, Ghalenoei menyampaikan permintaan maaf karena gagal membawa Iran melangkah lebih jauh. Menurut dia, Iran seharusnya bisa mencapai final. Namun, ketidakberdayaan para pemain Iran dalam mengonversi peluang menjadi gol membuat Qatar mampu menjaga keunggulan hingga laga usai.
”Dari segi teknis, kami menjalani pertandingan yang sangat kompetitif. Namun, turnamen ini telah menyaksikan beberapa tim mengalami nasib tersingkir secara tidak terduga, termasuk Arab Saudi, Korea Selatan, dan Jepang. Saya bertanggung jawab penuh atas kekalahan ini. Hari ini menandai salah satu hari terberat yang pernah saya alami dalam hidup saya,” kata Ghalenoei.
Kendati dipenuhi banyak kejutan dan pergeseran peta persaingan, Piala Asia masih didominasi oleh kekuatan-kekuatan sepak bola dari Asia Barat. Kekuatan-kekuatan baru sepak bola dari regional Asia Timur, Selatan, Tengah, atau Tenggara relatif belum tampak sejauh ini.
Asia Timur belum memiliki negara kejutan lain. Kawasan itu terus berada dalam hegemoni Korea Selatan dan Jepang. Adapun Asia Tenggara masih terkucilkan dari persaingan level elite sepak bola Asia. Hanya Thailand dan Indonesia yang sukses melaju ke fase gugur, tetapi langsung tersingkir.
Potensi pengganggu dominasi raksasa Asia sempat muncul dari Asia Tengah lewat wakilnya, Uzbekistan. Namun, Uzbekistan gagal melangkah lebih jauh setelah kalah dari Qatar di perempat final. Dengan perkembangan sepak bola Uzbekistan yang pesat dalam satu dasawarsa terakhir, bukan tidak mungkin mereka akan menjadi salah satu penantang serius di Piala Asia.
Beban untuk membuat pernyataan Son dan Ghalenoei semakin sahih terletak di pundak para pemain Jordania. Kemenangan Jordania di final tentu akan berefek lebih nyaring dibandingkan Qatar yang sudah pernah menjuarai Piala Asia pada 2019.
Gelar pertama Jordania bakal memberi bukti lebih terang bahwa persaingan sepak bola di Asia memang mulai sedikit merata, walau masih terkonsentrasi di Asia Barat, yang secara kontinental lebih dekat dengan Eropa. (REUTERS)