Transisi sebuah era tidak pernah mudah, tetapi sejarah memihak Liverpool. Alonso atau De Zerbi bisa memuluskan transisi.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Pengumuman kepergian Manajer Liverpool Juergen Klopp ditangisi pendukung sendiri dan dirayakan penggemar tim rival. Dua ekspresi berbanding terbalik itu mengarah pada tanda tanya yang sama. Siapa yang akan meneruskan warisan Klopp? Apakah Liverpool akan tetap berjaya atau terjatuh seperti banyak tim lain?
Arsenal dan Manchester United membuktikan, transisi dari rezim manajer yang sukses dalam jangka panjang adalah hal rumit dan sulit. Arsenal butuh setidaknya empat musim sebelum menemukan keseimbangan seusai ditinggalkan Arsene Wenger. MU bahkan masih berjibaku hingga kini selepas Sir Alex Ferguson pensiun pada 2013.
Masalah transisi itu menghantui Liverpool saat ini seusai Klopp mengumumkan akan berpisah di akhir musim 2023-2024. Seperti diketahui, dia merupakan manajer tersukses Liverpool di abad ini. Setelah dipimpin Klopp sejak 2015, ”Si Merah” harus mencari manajer baru untuk musim depan.
Klopp, selama delapan setengah musim terakhir, telah menanamkan banyak hal, dari kultur pemenang, gaya bermain ”heavy metal”, skuad yang cocok dengan sistemnya, hingga terhubung dengan penggemar. Warisan itu bisa enyah begitu saja jika tidak ada pengganti yang tepat dalam empat bulan ke depan.
Tidak, mengapa harus saya? Kami telah membangun struktur yang kuat di belakang layar. Itu salah satu alasan saya bisa pergi. Banyak yang punya ide untuk menemukan solusi.
Tantangan Liverpool akan jauh lebih berat. Sebab, Klopp tidak akan membantu dalam perekrutan sang suksesor. ”Tidak, mengapa harus saya? Kami telah membangun struktur yang kuat di belakang layar. Itu salah satu alasan saya bisa pergi. Banyak yang punya ide untuk menemukan solusi,” katanya.
”Embrio” Klopp
Sudah banyak nama yang masuk kandidat suksesor Klopp. Di antara itu, dua sosok paling difavoritkan adalah Xabi Alonso (Bayer Leverkusen) dan Roberto de Zerbi (Brighton and Hove Albion). Alonso bahkan mendapatkan 89,2 persen dari 32.831 akun dalam pemungutan suara di akun X basis pendukung Liverpool, Anfield Watch.
Alonso, mantan gelandang Liverpool, merupakan manajer muda yang sedang naik daun saat ini. Dia membuat Leverkusen menjadi tim yang belum terkalahkan di seluruh kompetisi setelah separuh musim lebih berlalu. Mereka memainkan gaya modern yang dominan dalam penguasaan bola dan intens pada saat bersamaan.
Menurut analisis Markstats, Leverkusen adalah salah satu tim Eropa paling agresif saat kehilangan penguasaan. Mereka menekan lawan sangat tinggi dan mencatat kesuksesan yang lebih baik dari Bayern Muenchen. Bedanya dengan Liverpool, mereka tidak sungkan bermain pragmatis dengan garis pertahanan rendah.
Masih banyak lagi kemiripan Klopp dan Alonso. Mereka sama-sama piawai dalam memaksimalkan potensi pemain dan dana terbatas klub. Alonso juga dikenal punya hubungan baik dengan para penggemar selama berseragam Liverpool (2004-2009), sama seperti Klopp yang sudah melekat dengan warga kota pelabuhan itu.
Jamie Carragher, mantan kapten Liverpool, sependapat tentang Alonso. ”Dia mengenal klub dan kota ini. Selain apa yang dilakukan di Leverkusen, dia punya pengalaman berharga di bawah manajer terhebat seperti Rafael Benitez, Jose Mourinho, Carlo Ancelotti, dan Pep Guardiola. Dia pantas diberi kesempatan,” jelasnya.
Hanya saja, Liverpool harus sedikit berjudi jika ingin merekrut Alonso. Cukup riskan mengangkat manajer muda yang baru berpengalaman melatih dua musim di Liga Jerman. Dia akan langsung menghadapi persaingan level tertinggi di Liga Inggris dan juga ekspektasi super tinggi sebagai suksesor Klopp.
Media Inggris, seperti diketahui, dikenal kejam pada manajer-manajer di tim besar. Tekanan itu jauh berbeda dibandingkan di Jerman. Buktinya adalah gelandang Leverkusen, Granit Xhaka, yang pindah dari Arsenal di musim panas. Dia berkata, bisa menampilkan potensi terbaik karena tidak ada tekanan berlebih untuk juara.
Adapun Alonso hanya ingin fokus menyelesaikan musim di Leverkusen. ”Spekulasi itu normal. Fokus saya tetap di sini. Saya sangat bahagia di sini dengan para pemain saya. Tentu yang terjadi di Liverpool sangat mengejutkan. Saya menghormati Juergen dengan apa yang dilakukan di Liverpool,” ujar pria 42 tahun itu.
De Zerbi tidak memiliki ikatan dengan pendukung ataupun kota Liverpool. Namun, bisa dikatakan, dia merupakan pilihan yang lebih aman. Sang manajer terbukti bisa bersaing di Liga Inggris dengan kualitas pemain Brighton yang medioker. Dia juga mampu mereplikasi gaya bermain dominan seperti tim raksasa Manchester City.
De Zerbi pernah berkata tidak suka berjudi. Karena itu, dia lebih suka membangun serangan dari bawah dengan umpan pendek dibandingkan umpan panjang yang berisiko. Menurut Guardiola, De Zerbi telah mengubah sepak bola Inggris dengan kemampuan memaksimalkan sumber daya terbatas. Pujian itu datang langsung dari manajer paling revolusioner di dunia saat ini.
Liverpool bisa sedikit tersenyum jika melihat sejarah. Mereka pernah sukses besar saat transisi kepemimpinan manajer legendaris Bill Shankly pada 1974. Si Merah mampu meraih enam gelar liga domestik dan tiga gelar juara Eropa di bawah manajer pengganti, Bob Paisley. Semua berkat fondasi yang disiapkan Shankly.
Fondasi itu yang tidak terlihat dalam transisi di Arsenal dan MU. Kedua tim tersebut tidak dalam posisi membangun masa depan saat kehilangan manajer legendaris masing-masing. Klopp mencoba untuk membangun fondasi itu musim ini dengan rejuvenasi di lini tengah, termasuk mempromosikan banyak pemain akademi.
Tugas Liverpool tinggal mencari sosok Paisley selanjutnya. Sosok tersebut yang akan menjadi kunci untuk meneruskan fondasi yang diwariskan Klopp. ”Jam pasir” sudah dibalik, hitung mundur sudah dimulai. Dari desir pasir dalam jam itu seperti terdapat pesan, masa depan Liverpool bergantung pada empat bulan ke depan. (AP/REUTERS)