Arsenal bagai petinju George Foreman saat berhadapan dengan Muhammad Ali. Mereka dominan, tetapi tidak mampu ”membunuh”.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
Alih-alih kesal karena tidak diumpan, kapten Arsenal Martin Odegaard malah menepuk kepala penyerang Kai Havertz yang membuang peluang emas begitu saja. Sang kapten tidak punya pilihan selain menunjukkan gestur suportif. Sebab, krisis gol Arsenal sudah berdampak terhadap psikologis para pemain di lini serang.
Frustrasi. Kata itu yang bisa mewakili situasi skuad Arsenal. Mereka sudah menciptakan 63 tembakan sejak hari Natal, dalam tiga pertandingan, tetapi hanya berbuah satu gol. Semua laga itu pun berujung kekalahan, termasuk disingkirkan Liverpool dari Piala FA di Stadion Emirates, Senin (8/1/2024) dini hari WIB.
Arsenal bagai petinju legendaris George Foreman saat berhadapan dengan Muhammad Ali di 1974. Foreman mendominasi sepanjang tujuh ronde hanya untuk dipukul jatuh dan kalah di ronde ke-8. Mereka tidak mampu ”membunuh”. Manajer Arsenal Mikel Arteta bahkan tidak punya jawaban konkret saat ditanya problem krisis gol. ”Karena bola tidak masuk ke gawang,” ujarnya.
Arsenal bagai petinju legendaris George Foreman saat berhadapan dengan Muhammad Ali di 1974. Foreman mendominasi sepanjang tujuh ronde hanya untuk dipukul jatuh dan kalah di ronde ke-8.
”Si Meriam”, julukan Arsenal, cukup beruntung. Setelah tiga kekalahan beruntun, termasuk hanya sekali menang dari tujuh laga di seluruh kompetisi, mereka bisa beristirahat sejenak. Odegaard dan rekan-rekan baru akan bertanding sekitar dua pekan lagi, yakni pada 20 Januari nanti.
Bagi Arsenal, masa ”hibernasi” itu menjadi momen paling tepat untuk refleksi diri. Khususnya mengevaluasi problem inefisiensi lini depan. Tidak ada yang lebih pas untuk berbenah selain saat ini sebab jendela transfer baru dibuka. Mereka bisa mencari solusi dengan pembelian penyerang baru, seperti keinginan para fans.
Ada satu pertanyaan besar yang belum terjawab Arteta sejak musim lalu, apakah penyerang tengah Gabriel Jesus dan Eddie Nketiah cukup untuk mengantar Arsenal berjaya? Di musim ini, jawabannya belum cukup. Laga versus Liverpool, saat Arsenal takluk 0-2 di depan publik sendiri, bisa menggambarkan problem tersebut.
Pertama adalah Jesus, striker yang didatangkan dari Manchester City di musim panas 2022. Keraguan terhadap dia semakin bertambah, bukan lagi hanya masalah penyelesaian akhir. Jesus kembali absen karena cedera saat menghadapi Liverpool. Dia bermasalah lagi dengan cedera lutut, masalah yang sama dengan di awal musim.
Ketersediaan Jesus menjadi tanda tanya baru. Dia sudah tiga kali cedera musim ini. Sebelumnya, Jesus melewatkan 10 pertandingan karena cedera lutut dan paha. Di musim lalu, dia juga terpaksa absen selama hampir 100 hari karena operasi lutut. Masalah lutut tersebut yang kembali kambuh di musim ini.
Jesus baru mencetak 3 gol dari 15 penampilan di liga musim ini. Penyerang tim nasional Brasil itu memang mampu menjadi katalis serangan dengan kelincahan, keunggulan visi, serta kepiawaan dribel dan retensi bola. Namun, tanpa produktivitas gol dan riwayat cedera, apakah dia cukup untuk memimpin lini serang Arsenal?
Selanjutnya, Havertz. Dia dipercaya mengisi peran Jesus sebagai ujung tombak di laga kemarin. Hasilnya tidak jauh berbeda. Havertz bisa membuka ruang dan mencari posisi dengan sangat baik di kotak penalti, tetapi tidak bisa mengeksekusi peluang. Dia mencatat enam tembakan tanpa satu pun menjadi gol.
Sangat jelas alasan Arteta memperkenalkan Havertz sebagai gelandang sejak datang di musim panas. Dia memang bukan penyerang murni. Hal itu sudah dibuktikan di Chelsea dan kembali terlihat dini hari tadi. ”Dia tidak terlihat natural di posisi nomor 9. Itu sangat jelas,” kata penyerang legendaris timnas Inggris, Gary Lineker.
Terakhir, Nketiah. Dia pencetak gol terbanyak Arsenal di liga (5) setelah Bukayo Saka. Masalahnya, dia sangat inkonsisten. Tidak pernah mencetak gol lagi setelah hattrick ke gawang Sheffield United, akhir Oktober. Posisinya di bangku cadangan saat Jesus tidak tersedia lawan Liverpool cukup menggambarkan penilaian Arteta kepadanya.
Akibat kombinasi masalah di ujung tombak itu, Arsenal hanya menempati peringkat ke-13 dalam catatan gol dari permainan terbuka di liga (20). Mereka tertolong karena banyak gol dari eksekusi bola mati. Meskipun begitu, Arsenal bukan Stoke City. Tidak cukup hanya mengandalkan bola mati untuk jadi juara.
Solusi inefisiensi
Tidak pelak, pembelian pemain merupakan solusi instan untuk Arsenal. Namun, Arteta berkata, nyaris tidak mungkin mendatangkan penyerang baru. ”Di momen ini, itu tampak tidak realistis. Tugas saya saat ini meningkatkan (kemampuan) para pemain. Berbeda antara yang kami butuh dan yang bisa dilakukan,” ucapnya.
Arsenal masih dibayangi financial fair play (FFP). Itu yang membuat transfer kiper David Raya di musim panas berstatus pinjaman dengan opsi pembelian. Mereka mesti menjual pemain terlebih dulu sebelum bisa belanja. Masalahnya, Arteta masih percaya dengan skuad saat ini, termasuk cadangan yang jarang tampil, seperti Emile Smith Rowe.
Juga, tidak banyak penyerang kelas dunia yang tersedia di bursa Januari. Jika ada, harganya tidak masuk akal. Seperti penyerang Brentford, Ivan Toney, yang dilabeli 100 juta poundsterling. Adapun Arsenal dikenal sebagai tim yang rela menunggu untuk pemain idaman. Bukan tipe yang melakukan pembelian karena panik.
Menurut Arteta, mereka akan fokus berbenah di dalam tim sendiri, bukan mencari solusi di luar. Arsenal, seperti musim-musim sebelumnya, akan menghabiskan jeda dengan berlatih di Dubai. Tim pelatih akan mengevaluasi skema serangan dan penyelesaian akhir para pemain.
”Jeda ini datang di waktu yang pas. Mari kita lihat reaksi mereka (para pemain) di latihan. Latihan (penyelesaian akhir) mungkin yang tersulit di sepak bola. Mulai dari waktu (menembak), jarak dengan bola, kebiasaan lawan, hingga posisi kiper. Itu kompleks, tetapi kami harus meningkatkan semuanya,” tutur Arteta.
Seperti kata Arteta, faktor untuk mencetak gol sangat banyak. Termasuk di antaranya adalah kepercayaan diri yang saat ini tidak dimiliki skuad Arsenal. Namun, jangan dilupakan, talenta merupakan faktor terpenting untuk pencetak gol ulung. Penyerang murni kelas dunia seperti sudah diberkahi insting gol.
Hal tersebut tidak jatuh dari langit. Tidak juga bisa tiba-tiba muncul karena dilatih. Kenyataannya, talenta seorang predator di depan gawang itu tidak dimiliki Arsenal saat ini. Karena itu, tidak perlu terkejut jika Arsenal akan kembali pada siklus kejatuhan yang sama di akhir musim jika tidak benar-benar refleksi diri di masa ”hibernasi” nanti. (AP/REUTERS)