Di tahun keempat Arteta, produktivitas Arsenal terlihat menurun. Namun, sebenarnya mereka lebih dominan dan mendekati rencana utopis sang manajer.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
”Kami harus bergairah, dominan, dan agresif. Saya ingin kami memegang bola, menyerang sebanyak mungkin. Juga, kami mesti membangun kultur dan lingkungan yang bagus untuk tim ini,” kata Mikel Arteta saat konferensi pers pertama sebagai manajer Arsenal, 20 Desember 2019.
Dulu, impian Arteta yang ingin membawa Arsenal kembali ke masa jaya itu lebih mirip bualan. Klub sedang terseok-seok setelah kepergian manajer legendaris Arsene Wenger pada 2018. Lalu, dia ditunjuk sebagai manajer baru di liga paling kompetitif sedunia dengan tanpa pengalaman melatih sekali pun.
Keraguan terhadap Arteta sempat terbukti pada tahun pertama dan kedua. Selain belum mampu merangkak ke papan atas, ide bermain juga masih belum jelas. Sang manajer belum punya pemain tepat untuk mendukung idenya. Seiring dengan pembelian banyak pemain di tahun ketiga, prestasi dan identitas tim mulai terlihat.
Tepat empat tahun setelah penunjukan Arteta, Rabu (20/12/2023), Arsenal sudah melesat jauh. Mereka kembali merebut status tim papan atas. Lihat saja saat ini, ”Si Meriam” mampu memuncaki klasemen Liga Inggris jelang paruh musim 2023-2024. Mereka juga sudah lolos ke 16 besar Liga Champions usai absen sejak 2017.
Menariknya, penampilan dominan yang diinginkan Arteta semakin terlihat setiap tahun. Banyak pihak, salah satunya mantan bek Liverpool, Jamie Carragher, menilai serangan Arsenal tidak setajam musim lalu. Hal itu terbukti dari statistik. Ketimbang musim lalu, setelah 17 laga, produktivitas Arsenal menurun dari 40 ke 35 gol.
Meskipun menurun dalam jumlah gol, Arsenal tetap pantas disebut lebih dominan musim ini.
Namun, menurut Orbinho, kualitas peluang Arsenal ternyata tidak berbeda jauh. Mereka mencatat 32,64 xG (expected goals) setelah 17 laga musim lalu. Musim ini menjadi 32,03 xG. Artinya, peluang Arsenal nyaris sama. Hanya efisiensi yang membedakan. Mungkin dipengaruhi adaptasi pemain baru seperti Kai Havertz.
Lebih dominan
Meskipun menurun dalam jumlah gol, Arsenal tetap pantas disebut lebih dominan musim ini. Semua karena pertahanan mereka yang semakin kokoh. Terbukti, mereka adalah tim paling sedikit dalam kemasukan, 15 gol, dan kualitas peluang lawan 13,03 xGA (expected goals against).
Ketangguhan lini pertahanan itu bukan datang dari pendekatan yang lebih defensif, seperti menggunakan blok superrendah atau ”parkir bus”. Akan tetapi, Martin Odegaard dan rekan-rekan menekan lawan lebih agresif hingga ke sepertiga akhir. Tujuannya, tim lawan tidak mampu melewati separuh lapangan selama mungkin.
Brighton and Hove Albion, salah satu tim terbaik dalam membangun serangan dari bawah, membuktikan itu sendiri pada akhir pekan lalu. Mereka gagal mencetak gol untuk pertama kali setelah tidak terhentikan selama 32 laga beruntun. Arsenal menekan lawan hingga tidak mampu membuat progres ke lini depan.
Brighton gagal mencatatkan satu pun tembakan selama 45 menit pertama, saat Arsenal menciptakan 15 tembakan. Menurut Manajer Roberto De Zerbi, dia tidak pernah melihat timnya menderita seperti itu. ”Musim ini, saya pikir Arsenal adalah tim terbaik di Liga Inggris,” ujarnya.
Agresivitas Arsenal dalam menekan lawan juga tecermin dalam data Squawka. Mereka mencatat jumlah tekel, intersepsi, dan blok umpan terbanyak di sepertiga akhir dibandingkan seluruh tim Liga Inggris (138 kali). Jumlah itu jauh meninggalkan tim di peringkat kedua, Spurs (112 kali).
Tujuannya adalah merebut kembali bola secepat mungkin. Arteta seperti mempraktikkan pelajaran yang didapatkan dari gurunya, Manajer Manchester City Josep Guardiola. Bagi Guardiola, penguasaan bola adalah cara terbaik untuk bertahan. Semakin banyak penguasaan tim sendiri, peluang lawan semakin sedikit.
Roy Keane, gelandang legendaris Manchester United, berkata, Arsenal jauh lebih kuat dari segi fisik pada musim ini. Itu tidak terlepas dari pembelian gelandang jangkar Declan Rice seharga 105 juta euro yang memecahkan rekor transfer klub. ”Rice menambahkan keunggulan fisik mereka,” katanya.
Rice, dengan tubuh kekar setinggi 1,85 meter, dikenal sebagai gelandang penjelajah yang tidak pernah lelah. Dia bisa membaca arah serangan lawan, lalu memotong umpan tiba-tiba dari belakang. Adapun tipe pemain seperti itu tidak dimiliki ”Si Meriam” pada musim-musim sebelumnya.
Arteta juga sudah berhasil menciptakan kultur dan lingkungan yang positif di dalam tim. Manajer asal Spanyol itu bisa mengombinasikan atmosfer kompetitif dan kekeluargaan di antara pemain. Semua pemain saling berebut posisi, tetapi bersaing sehat dan tetap mendukung satu sama lain.
Hampir selalu ada dua pemain andal di setiap posisi. Meskipun demikian, tidak ada kekecewaan berlebihan dari para pemain karena kurang menit bermain. Kiper Aaron Ramsdale sempat dikabarkan tidak bahagia dalam persaingan dengan David Raya. Namun, Ramsdale tampak sudah bisa menerima peran sebagai pelapis saat ini.
Kebersamaan skuad ”Si Meriam” selalu terlihat jelas di lapangan. Mereka selalu memberikan dukungan lebih pada pemain yang berbuat kesalahan. Bahkan di laga versus Bournemouth, Oktober lalu, Odegaard memberikan kesempatan eksekusi penalti pada Havertz yang kehilangan percaya diri sejak bergabung dari Chelsea.
Nuansa positif dalam skuad merupakan keinginan Arteta sejak bergabung. Dia selalu menekankan, tidak ada yang lebih besar dari kepentingan tim. Tidak ada juga pemain yang lebih besar dibandingkan yang lain. Semua memiliki peran dan posisi yang sama untuk mengangkat klub ke level selanjutnya.
”Kami harus membangun kultur yang bisa menopang hal lainnya. Jika Anda tidak memiliki itu, situasi sulit akan datang. Pohon Anda akan goyang. Jadi tugas saya adalah meyakinkan semuanya untuk hidup dengan cara yang sama jika ingin tetap berada di organisasi ini,” ujar Arteta dalam konferensi pers perdananya.
Tentu Arteta masih jauh dari sempurna. Sebagai salah satu manajer termuda di liga, 41 tahun, dia masih banyak kekurangan. Salah satunya belum berani memberikan kesempatan pemain muda dari akademi. Mungkin dia masih ingin mengincar pembuktian prestasi dulu sebelum masuk ke tahap itu.
Terlepas dari kekurangan itu, Arsenal seperti memenangi lotre dengan keberadaan Arteta. Tidak ada yang mengira, nasib Si Meriam bisa berubah drastis dengan manajer tanpa pengalaman. Ternyata, prinsip investasi juga bisa berlaku di sepak bola, high risk, high return. (AP/REUTERS)