Tiga ”Zamrud” dari Surabaya
Piala Dunia U-17 Indonesia bisa menjadi momentum bagi Surabaya, Jawa Timur, untuk mengenalkan perjalanan dan perkembangan sepak bola melalui keberadaan Persebaya, Assyabaab, dan NIAC Mitra.
Piala Dunia U-17 Indonesia, termasuk di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Jawa Timur, 10-21 November 2023, bisa menjadi momentum untuk mengenalkan perjalanan dan perkembangan sepak bola setempat.
Dalam perjalanan sepak bola nasional, di Surabaya pernah bersaing tiga klub, yakni Persebaya, Assyabaab, dan NIAC Mitra. Persebaya mengarungi kompetisi amatir atau Perserikatan. Sementara Mitra dan Assyabaab ke Galatama (Liga Sepak Bola Utama) yang semiprofesional. Meski berbeda kompetisi, ketiga klub ini punya kesamaan, yakni jersei kandang dominan hijau. Bolehlah mereka dijuluki tiga ”zamrud” dari Surabaya, ibu kota Jatim.
Baca juga : Perjuangan Abadi Persebaya Surabaya
”Saat masih anak dan remaja periode 1980-1997, saya senang bisa bergiliran menonton ketiga tim itu berlaga di Stadion Tambaksari,” kata Edi Sutanto (55), warga Surabaya, yang ditemui sebelum menonton laga penyisihan Grup A Piala Dunia U-17 antara Indonesia dan Panama yang berakhir 1-1 (0-1) di Gelora Bung Tomo, Senin (13/11/2023).
Tambaksari ialah nama jalan dan kecamatan di Surabaya sekaligus identitas stadion yang pernah menjadi rumah besar ketiga klub tadi. Nama stadion telah diubah menjadi Gelora 10 November atau G10N. Namun, selepas NIAC Mitra bubar pada 1990 dan Assyabaab turut bubar sebagai klub profesional pada 1997, Stadion Tambaksari menjadi kandang Persebaya yang juga pernah menguasai kompleks lahan di belakang arena tersebut, meliputi Wisma Persebaya, Gedung Persebaya, dan Lapangan Karanggayam.
Suprapto (70), warga Surabaya, mengenang salah satu laga fenomenal di Tambaksari ketika NIAC Mitra menang 2-0 (1-0) atas Arsenal, klub elite Liga Inggris, yang sedang menjalani tur Asia Tenggara pada 16 Juni 1983. ”Saat itu, Tambaksari penuh sesak dengan lebih dari 30.000 penonton dan saya ingat gol dicetak Fandi Ahmad dan Djoko Malis,” ujarnya.
Baca juga : ”Trendsetter” Itu Bernama Persebaya
Saat itu, Tambaksari penuh sesak dengan lebih dari 30.000 penonton dan saya ingat gol dicetak Fandi Ahmad dan Djoko Malis.
Bumiputra
Perkembangan sepak bola di Surabaya tidak lepas dari peran pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berkuasa sampai kedatangan Jepang pada 1942. Sejak awal abad ke-20, sepak bola menjadi olahraga paling terkenal dengan penyebaran terluas, termasuk di perkumpulan warga Belanda, Eropa, Tionghoa, Arab, dan bumiputra.
Mengutip Politik danSepak Bola di Jawa 1920-1942 karya Srie Agustina Palupi, olahraga permainan ini lambang kejantanan untuk kebugaran dan rekreasi. Sepak bola memungkinkan ”duel” dan adu kekuatan yang membangkitkan semangat kehormatan dan kegigihan. Sepak bola juga menjadi sarana pendidikan norma persatuan dan kesatuan komunitas (bangsa) untuk mengakhiri kolonialisme.
Di antara ketiga klub tadi, Persebaya lahir terlebih dahulu. Sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) 1951, Persebaya lahir pada 18 Juni 1927 dengan nama SIVB (Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond) oleh M Pamoedji dan Paidjo. Di sana dinyatakan, ”Persibaja didirikan di Surabaja pada tanggal 18 Djuni 1927, untuk waktu yang tidak ditentukan lamanja”.
Baca juga : ”Bajul Ijo” Menjaga Marwah Perserikatan
Namun, guru sejarah Fery Widyatama dalam buku SIVB: Pasang Surut Sepak Bola Bumiputera di Surabaya 1926–1942, menyatakan SIVB telah ada sejak tahun 1923, tetapi mengalami pasang surut sehingga dapat menjadi suatu perkumpulan yang dapat mewadahi warga pribumi. Majalah Sport edisi November 1923 memberitakan, SIVB menuntaskan suatu kompetisi dengan Inlandsche Voetbal Club.
Pada 1925, SIVB dibubarkan karena tak dapat lagi menjalankan organisasi. Namun, di tahun itu pula ada gagasan untuk mendirikan kembali SIVB oleh Soeroto yang ditujukan kepada semua klub bumiputra. Pada 16 Agustus 1925, panitia pendirian meresmikan klub baru dengan tetap memakai nama SIVB. Bisa dibilang ini SIVB kedua dengan Soeroto sebagai ketua. Nah, Soeara Oemoem, Pemandangan, dan Soerabajasche Handelsblad dan De Indische Courant pada Oktober 1936 memberitakan adanya perayaan ulang tahun ke-10 SIVB.
Dari SIVB, identitas klub ini berubah menjadi Persibaja, lalu Persebaja, dan kemudian menjadi Persebaya. Klub ini meraih empat gelar juara era Perserikatan (1951, 1952, 1978, 1988) dan dua gelar juara era Divisi Utama/Liga Indonesia (1997 dan 2004).
Baca juga : Pesan Damai dari Gelora Bung Tomo
Peranakan
Di kampung Ampel yang didominasi peranakan Arab, sejumlah tokoh masyarakat mendirikan An Nasher pada 1930. Klub ini untuk rekreasi penyaluran hobi warga sekaligus indikasi bahwa kaum peranakan Arab mampu mendirikan perkumpulan olahraga yang menaungi sepak bola, pencak silat, dan bola voli.
Mengutip ”Dari An Nasher hingga Assyabaab: Peranan Etnis Arab dalam Sepak Bola di Surabaya Tahun 1930-1948” oleh Nur Hidayat dan Gayung Kusuma, An Nasher bergabung dengan NIVB (Nederlandsch Indische Voetbal Bond) pada 13 Mei 1932 sehingga dapat mengikuti kompetisi oleh SVB (Soerabhaiasche Voetbal Bond). Di masa pendudukan Jepang 1942-1945, An Nasher berubah nama menjadi Al Faouz. Arti keduanya sama, yakni kemenangan.
Baca juga : Wisata Bola, Jangan Lewatkan Pelesiran Kuliner Surabaya
Fuad Alkatiri dalam buku My Assyabaab menyatakan, 16 Juni 1948, Al Faouz berubah nama menjadi Assyabaab. Nama ini diambil dari kata syabaab berarti pemuda. Assyabaab terdiri atas sembilan huruf yang melambangkan angka tertinggi atau superioritas. Kurun 1960-1970, Assyabaab merupakan salah satu klub sepak bola penyumbang pemain tim nasional. Sejumlah pemain juga berkiprah di luar negeri, terutama Hong Kong.
Sayangnya, kepergian para pemain mengakibatkan kemerosotan penampilan sampai dua dekade. Di musim 1990, Assyabaab bangkit dan menjadi juara Divisi Satu sehingga berhak mendapatkan promosi ke Galatama. Setahun kemudian, konglomerasi Salim Group membeli Assyabaab dan di kompetisi teratas menjadi Assyabaab Salim Group Surabaya (ASGS). Krisis keuangan yang menjadi krisis ekonomi pada 1997 mengakibatkan kebangkrutan Salim Group yang berimbas pada pembubaran klub profesional ASGS. Namun, sebagai klub amatir, Assyabaab masih bertahan.
Baca juga : Sepak Bola Indonesia: Dari Masa Kolonial hingga Milenial
Jagoan Galatama
Selepas 1970, pengusaha Agustinus Wenas mengakomodasi keinginan para karyawan yang mencintai sepak bola untuk berolahraga dan menyalurkan hobi. Kesukaan, bahkan kegilaan, pada sepak bola membuat Wenas kian serius mendorong hobi tersebut dengan mendirikan klub Mentos Surabaya.
Klub ini kemudian didaftarkan untuk mengikuti kompetisi internal Persebaya dengan nama baru, yakni PS Mitra, bahkan menjadi juara kelas 2 kurun 1975-1977. Tim ini kemudian menjadi juara di kelas 1 musim 1977-1978. Hasil ini meningkatkan keyakinan dan keseriusan Wenas yang kemudian mendirikan NIAC Mitra pada 14 Agustus 1978 untuk mengikuti kompetisi bergengsi, yakni Galatama. NIAC singkatan dari New International Amusement Center yang merupakan jaringan konglomerasi milik Wenas.
NIAC Mitra diperkuat sejumlah pemain bintang, yakni Djoko Malis, Rudy William Keltjes, dan Syamsul Arifin. Edisi perdana Galatama menjadi milik Warna Agung. Namun, dua musim berikutnya, kurun 1980-1983, gelar juara menjadi milik NIAC Mitra. Syamsul Arifin, sang penyerang, mencetak 30 gol semusim, capaian yang belum tertandingi hingga saat ini di Indonesia.
Baca juga : Liga Indonesia: Sejarah, Penyelenggara, Tim Juara, dan Pemain Terbaik
Selepas menjadi juara musim 1982-1983, penampilan NIAC Mitra menurun karena aturan PSSI bahwa tim-tim Galatama dilarang memakai jasa pemain asing. Dua penggawa, yakni Fandi Ahmad dan David Lee, hengkang. Selain itu, deretan pemain bintang, yakni Djoko Malis, Rudy Keltjes, dan Yadi Suryata, ”dibajak” dan pindah ke Yanita Utama Bogor, yang kemudian menguasai Galatama dua musim berikutnya.
Setelah empat musim puasa gelar, NIAC Mitra sukses menjadi juara Galatama 1987-1988. Namun, gelar itu rupanya hadiah perpisahan yang pahit, terutama bagi fans dan pendukung. Wenas kecewa dengan PSSI dan sudah lelah dengan sepak bola. NIAC Mitra dibubarkan pada 24 September 1990. Sepekan kemudian, atau 1 Oktober 1990, tim mengadakan laga perpisahan untuk pendukung di G10N. Saat itu, NIAC Mitra kalah 1-5 dari Johor Malaysia.
Keberadaan NIAC Mitra diteruskan oleh klub baru dengan pendanaan baru, yakni Mitra Surabaya. Klub baru ini masih mengikuti kompetisi Galatama dan Divisi Utama/Liga Indonesia sampai musim 1999. Dalam perjalanan, Mitra Surabaya berganti kepemilikan, nama, dan rumah menjadi Mitra Kalteng Putra, selanjutnya dibeli Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara menjadi PS Mitra Kukar sampai sekarang.
Baca juga : Rekam Jejak Ketua Umum PSSI Mengawal Prestasi Sepak Bola Indonesia
Bangga
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi pernah mengatakan, keberadaan tiga klub besar dari ibu kota Jatim, meski sekarang cuma bertahan Persebaya, membuktikan bahwa sepak bola menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah metropolitan tersebut.
”Sepak bola mendarah daging dan berkembang, tidak akan hilang dalam memori kolektif warga,” kata Eri. Untuk itu, menjadi salah satu tuan rumah Piala Dunia U-17 merupakan kehormatan bagi Surabaya. Apalagi, tim Indonesia memainkan tiga atau seluruh laga penyisihan Grup A di Surabaya. Ini memperlihatkan bahwa sepak bola Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perjalanan klub-klub Surabaya.