Menuju yang Terbaik di Antara yang Terbaik
Turnamen puncak yang juga penutup bagi petenis putra, Final ATP, akan berlangsung di Turin, Italia, 12-19 November 2023.
Menjadi juara Grand Slam menjadi pencapaian tak ternilai bagi petenis karena harus menang tujuh kali dalam rentang waktu persaingan selama dua pekan. Menjuarai Final ATP tak kalah bergengsi dengan alasan berbeda. Dalam ajang ini, petenis harus tancap gas sejak awal karena persaingan hanya berlangsung di antara delapan petenis dengan performa terbaik sepanjang tahun.
Final ATP, yang pertama kali diselenggarakan pada 1970, adalah turnamen yang hanya bisa diikuti delapan wakil tunggal dan ganda putra dengan syarat tertentu. Mereka yang ingin tampil pada ajang di pengujung musim kompetisi ini harus menempati peringkat delapan besar berdasarkan poin ranking yang dikumpulkan dari turnamen ATP Tour sepanjang tahun.
Tahun ini, turnamen tersebut digelar di Turin, Italia, untuk ketiga kali beruntun, pada 12-19 November. Novak Djokovic, petenis nomor satu dunia, menjadi yang paling berpengalaman ketika untuk ke-16 kalinya lolos. Dari 15 partisipasi sebelumnya, Djokovic enam kali menjadi juara.
Baca juga : Iga Swiatek, Petenis Putri Terbaik 2023
Dengan enam gelar itu, yang jumlahnya sama seperti milik Roger Federer, ditambah 24 gelar juara Grand Slam (tiga gelar di antaranya diraih pada 2023), Final ATP 2023 akan menjadi persaingan ”Djokovic dengan yang lain”.
Meski telah berusia 36 tahun, yang berarti lebih tua sembilan hingga 16 tahun dengan peserta lain, Djokovic tak memperlihatkan tanda akan segera menepi dari persaingan tenis profesional. Petenis Serbia ini dikenal selalu termotivasi membuat rekor. Sikap tersebut tak berubah hingga saat ini.
Melalui Final ATP 2023, Djokovic memiliki beberapa peluang untuk menambah data dalam catatan rekornya. Jika juara, dia akan melewati Federer sebagai juara Final ATP terbanyak, yaitu tujuh kali.
Bisa tampil di Final ATP adalah prestise. Anda menjadi salah satu dari delapan petenis terbaik. Bersaing dengan para petenis terbaik sejak pertandingan pertama menjadi keistimewaan turnamen ini. (Alexander Zverev)
Ayah dari dua anak tersebut juga bisa memperpanjang rekor sebagai petenis nomor satu dunia terlama yang berada di genggamannya dengan total 398 pekan. Hal ini sekaligus akan membuatnya berada di puncak peringkat dunia akhir tahun untuk kedelapan kali sebagai jumlah terbanyak. Status nomor satu dunia akhir tahun ini sangat bergengsi di kalangan petenis profesional karena menggambarkan prestasi mereka sepanjang tahun.
”Target saya adalah mengakhiri musim ini dengan hasil setinggi mungkin,” kata Djokovic yang mengatakan bahwa dia akan tetap aktif bertanding selama masih bisa bersaing di level elite.
Djokovic tiba di Turin bahkan sebagai petenis dengan persentase kemenangan tertinggi sepanjang 2023, yaitu 91 persen, hasil dari 51 kali menang dan lima kali kalah. Kemenangan itu menghasilkan enam gelar juara, tiga di antaranya dari Grand Slam Australia Terbuka, Perancis Terbuka, dan Amerika Serikat Terbuka.
Tiga dari lima petenis yang mengalahkannya juga akan tampil di Turin. Mereka adalah Daniil Medvedev (juara Final ATP 2020), serta dua petenis berusia 20 tahun, Carlos Alcaraz dan Holger Rune, yang menjalani debut pada turnamen dengan hadiah total Rp 235,6 miliar tersebut.
Berdasarkan hasil undian, Rune akan bersaing bersama Djokovic dalam penyisihan Grup Hijau yang juga dihuni Jannik Sinner dan Stefanos Tsitsipas. Adapun empat petenis di Grup Merah adalah Alcaraz, Medvedev, Andrey Rublev, dan Alexander Zverev.
Baca juga : Energi Djokovic dari Senyuman Anaknya
Tak hanya Djokovic, tiga petenis lainnya pernah merasakan menjadi juara Final ATP. Zverev bahkan menjadi petenis selain Djokovic yang menjuarai Final ATP lebih dari satu kali, yaitu pada 2018 dan 2021. Adapun Tsitsipas langsung menjadi juara saat pertama kali lolos, yaitu pada 2019.
”Bisa tampil di Final ATP adalah prestise. Anda menjadi salah satu dari delapan petenis terbaik. Bersaing dengan para petenis terbaik sejak pertandingan pertama menjadi keistimewaan turnamen ini,” ujar Zverev dalam laman resmi ATP.
Tsitsipas bahkan menilai menjadi juara Final ATP bernilai lebih besar dibandingkan menjuarai Grand Slam. Petenis Yunani ini menjuarai Final ATP 2019 di London, Inggris, dengan mengalahkan Medvedev dan Zverev pada penyisihan grup, Federer di semifinal, dan Dominic Thiem pada laga final.
Pengalaman pertama
Antusiasme dengan alasan berbeda dikemukakan Alcaraz dan Rune sebagai petenis termuda. Mereka akan mendapat pengalaman pertama tampil di Final ATP dengan format berbeda dari turnamen lain pada umumnya. Persaingan Final ATP dimulai dengan round robin pada penyisihan grup untuk menentukan dua peringkat teratas yang berhak tampil di semifinal.
Baca juga : Potensi Djokovic di Usia 36 Tahun
Meski kekalahan tak otomatis membuat petenis tersingkir, begitu pula sebaliknya. Kemenangan tak menjamin petenis langsung lolos ke semifinal. Setiap skor akan sangat bermakna untuk menentukan posisi dalam klasemen di grup.
Maka, seperti turnamen dengan sistem gugur, jalan teraman untuk menjadi juara adalah selalu menang. Apalagi, terdapat perbedaan hadiah yang cukup besar antara menjadi juara dan menjadi juara tanpa kalah.
Jika petenis menjadi juara, tetapi pernah kalah dalam penyisihan grup, hadiah yang diterimanya adalah Rp 34,5 miliar. Sementara petenis juara yang tak terkalahkan akan membawa pulang hadiah Rp 75,3 miliar.
”Setelah pada 2022 hanya menjadi pemain alternatif, saya senang pada tahun ini akhirnya bisa benar-benar lolos ke Final ATP. Saya akan berusaha agar tak terbeban dengan status turnamen ini, tetapi akan fokus pada apa yang harus dilakukan pada setiap pertandingan,” ujar Rune.
Djokovic unggul statistik
Rune tak memiliki pengalaman bertanding dalam Final ATP. Dia pun mencoba mengindentifikasi apa yang harus dilakukan berdasarkan pengalaman hadir di Turin pada Final ATP 2022 dan saat dipilih menjadi petenis untuk rekan latih tanding di Final ATP 2019.
Baca juga : Djokovic Lawan yang Berbeda untuk Shelton
”Bersaing di sini tak cukup hanya mengandalkan kemampuan dengan standar sendiri. Saya harus meningkatkan level permainan setiap hari dan jika ingin mendapat hasil besar harus melakukan hal yang juga besar,” katanya.
Juara ATP Masters 1000 Paris ini memiliki usia yang sama dengan Alcaraz, tetapi Rune bersaing di arena profesional dua tahun lebih lambat, yaitu pada 2020. Partisipasinya pada turnamen besar, yaitu Grand Slam dan sembilan turnamen ATP Master 1000, baru dilakukan secara penuh pada 2023.
Meski demikian, penggemar Federer dan Rafael Nadal ini memiliki statistik pertemuan yang terbilang baik dengan tujuh peserta lain di Turin. Rune memang baru bertemu sekali hingga empat kali dengan petenis lain, tetapi dia hanya tertinggal dari Andrey Rublev, yaitu sekali menang dan dua kali kalah. Rune bahkan unggul 2-1 atas Alcaraz dan memiliki statistik pertemuan imbang, 2-2, dengan Djokovic.
Saat menghadapi momen sulit, saya bisa lebih tenang, melupakan kesalahan, lalu kembali menjadi diri saya. Saya benar-benar fokus pada diri sendiri, bukan pada orang lain.
Satu-satunya petenis yang tak punya ”nilai merah” adalah Djokovic. Dari tujuh kompetitor, hanya Rune dan Alcaraz yang bisa mengimbanginya. Lima petenis lain selalu kesulitan mengimbangi kemampuan Djokovic, terutama ketangguhan mentalnya.
Djokovic bisa melakukan hal yang jarang bisa dilakukan petenis lain, yaitu mengubah atmosfer negatif di stadion menjadi energi positif baginya. Cinta penonton di hampir sebagian besar turnamen tak sebesar cinta mereka untuk kedua rivalnya, Federer dan Nadal. Namun, seperti yang terjadi pada Paris Masters, pekan lalu, ejekan dari penonton justru membesarkan api semangat dalam dirinya. Dia pun menjadi juara.
Dengan semangat juang tinggi seperti Nadal, seniornya, Alcaraz sebenarnya bisa menjadi pesaing tangguh Djokovic di Turin. Dia pun memiliki sisi positif yang muncul dari pengalaman bersaing sepanjang musim ini, yaitu belajar mengatasi tekanan dengan lebih baik.
”Saat menghadapi momen sulit, saya bisa lebih tenang, melupakan kesalahan, lalu kembali menjadi diri saya. Saya benar-benar fokus pada diri sendiri, bukan pada orang lain,” tuturnya.
Kemampuan itu menjadi faktor penting yang dibutuhkannya saat bersaing di Final ATP setelah batal bertanding pada 2022 (meski lolos) karena cedera otot perut. Alcaraz memulai kompetisi 2023 dengan baik meski sedikit terlambat karena cedera hamstring. Dia melewatkan Australia Terbuka, tetapi bisa mengumpulkan enam gelar juara, salah satunya Wimbledon setelah mengalahkan Djokovic di final.
Namun, setelah itu, performanya menurun karena terganggu cedera. Maka, bukan hal yang mudah baginya untuk menjadi juara dalam debutnya di Final ATP. Apalagi, persaingan dengan format best of three sets memunculkan peluang setara di antara setiap petenis yang bertanding. (AP/AFP)