Lewati ”Raja Terakhir”, Penanda Akhir Pubertas Arsenal
Kemenangan langka atas City memang hanya bernilai tiga poin. Namun. hal itu sangat berarti untuk Arsenal yang butuh validasi dan kepercayaan diri.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
LONDON, SENIN — Selama di bawah asuhan Manajer Mikel Arteta, Arsenal seperti terjebak fase pubertas. Mereka potensial dengan energi besar nan menggebu-gebu, tetapi belum cukup dewasa. Kemenangan langka atas Manchester City memperlihatkan sisi lain ”Si Meriam”, termasuk Arteta, yang tampak sudah matang.
Seisi Stadion Emirates, markas Arsenal, bergemuruh seusai peluit panjang yang ditiup wasit Michael Oliver pada Senin (9/10/2023) dini hari WIB. Oase yang sudah dinanti sekian lama akhirnya tercipta. Arsenal menang atas City 1-0 lewat gol tunggal penyerang pengganti Gabriel Martinelli di menit ke-86.
Arsenal memang hanya meraup tiga poin, sama seperti laga lain. Namun, kemenangan itu terasa berbeda. Mereka akhirnya mampu keluar dari rentetan 12 kekalahan beruntun di Liga Inggris setelah penantian 3.195 hari. Bagi Arsenal, City yang merebut trofi juara mereka musim lalu sudah seperti ”raja terakhir”.
Stadion Emirates yang biasa menjadi saksi ironi sisi inferior Arsenal terhadap City kini menjadi tempat proklamasi skuad asuhan Arteta. Martin Odegaard dan rekan-rekan seolah menegaskan, sudah lebih siap untuk perebutan gelar juara musim ini. Mereka bukan lagi remaja yang gampang ”rapuh”.
”Kemenangan ini terasa spesial. Sudah lama sejak kami bisa menaklukkan City (di liga). Kami bisa merasakan, hari ini adalah hari yang sudah lama kami nantikan. Kami hanya butuh performa hebat dari semua pemain dan mereka menjawab itu. Para pemain sangat disiplin. Atmosfernya luar biasa,” kata Arteta.
Martin Odegaard dan rekan-rekan seolah menegaskan, sudah lebih siap untuk perebutan gelar juara musim ini.
Kemenangan Arsenal jauh dari kata indah. Kualitas peluang mereka bahkan kalah dari City, 0,41-0,55 expected goals (xG), padahal mencatat tembakan tiga kali lipat lebih banyak (12 kali). Bahkan gol Martinelli berbau keberuntungan karena membentur Nathan Ake lebih dulu, sebelum masuk ke gawang.
Namun, kedewasaan Arsenal justru terpancar meskipun tanpa penyerang sayap Bukayo Saka yang tidak terlibat di pertandingan liga untuk pertama setelah 87 kali penampilan beruntun. Mereka sabar menanti peluang, tidak tergesa-gesa, sampai akhirnya momen itu datang saat laga tersisa 5 menit.
Sebagai konteks, laga berjalan membosankan. Kedua manajer beradu catur. Arsenal dan City saling bertahan dengan blok tinggi dan man to man untuk mengincar kesalahan lawan, saat membangun serangan dari bawah. Mereka pun sangat berhati-hati agar tidak kehilangan bola, lebih banyak melakukan umpan yang aman.
Dalam situasi seperti itu, musim-musim sebelumnya, Arsenal pasti terpancing. Mereka ingin lebih agresif untuk mencetak gol di depan publik sendiri. Contohnya adalah saat kalah 1-3 di Stadion Emirates, musim lalu. Namun, berbeda kali ini. Mereka tetap sabar dalam membangun serangan, hanya lebih intens saat menekan lawan.
Menurut Martinelli, poin penuh itu diraih karena skuad mereka lebih siap dari fisik, strategi, dan mental. ”Bukan karena saya. Saya hanya mencetak gol, tetapi ini berasal dari seisi skuad dan staf yang terlibat. Kami sangat bahagia dengan hasil ini,” ujar Martinelli yang menggantikan Leandro Trossard setelah turun minum.
Kematangan terlihat jelas di pertahanan. Bek William Saliba dan gelandang jangkar Declan Rice selalu berada di posisi tepat. Akibatnya, peraih ”sepatu emas” musim lalu Erling Haaland tidak mampu menciptakan satu tembakan pun. Di era Guardiola, sejak 2016, City baru pertama kali gagal mencetak gol versus Arsenal.
Kemenangan Arteta
Tidak hanya itu. Arteta yang terbilang pelatih baru juga semakin dewasa. Dia akhirnya bisa mengalahkan sang guru, Manajer City Josep Guardiola. Selama ini, dia selalu dinilai tidak mampu mengimbangi kepintaran Guardiola. Arteta menjawab tuntas dengan sudah menang atas semua lawan di liga (24 tim), termasuk City.
Arteta bisa membaca rencana Guardiola di pertengahan paruh kedua. City mengganti tiga pemain sekaligus pada menit ke-68, memasukkan bek John Stones, gelandang Matheus Nunes, dan sayap Jeremy Doku. Arteta menyadari, tim lawan ingin bermain lebih oportunistis, mengandalkan transisi serangan balik.
Arsenal juga memasukkan tiga pemain baru setelah itu. Bek Takehiro Tomiyasu, gelandang Thomas Partey, dan penyerang Kai Havertz dimainkan. Selain memperkuat pertahanan dengan mengganti Tomiyasu dengan Oleksandr Zinchenko, ternyata Arteta juga ingin bermain oportunistis.
Efektivitas pergantian Arsenal terlihat dalam proses gol yang melibatkan umpan jauh Partey, sundulan Tomiyasu, dan asis Havertz. Menariknya, Tomiyasu menerima umpan Partey di kotak penalti. Itu bukan posisi asli sang bek Jepang. Namun, dengan fisik prima, dia diinstruksikan untuk lebih maju saat penguasaan bola.
”(City) memberikan banyak masalah untuk kami. Jadi kami juga ingin membuat banyak masalah untuk mereka. Memang tidak mudah. Anda butuh waktu, pergerakan, dan momen tetap. Saya suka keberanian para pemain. Ini merupakan bagian dari perjalanan kami. Anda selalu harus belajar di setiap kekalahan,” ujar Arteta.
Arsenal saat ini berhasil menyamai poin pemuncak klasemen Tottenham Hotspur (20 poin). Kedua tim London Utara itu sama-sama belum terkalahkan dengan rekor 6 menang dan 2 imbang. Sementara itu, City (18 poin) menelan dua kali kekalahan beruntun di liga, setelah kalah juga dari Wolverhampton Wanderers pekan lalu.
City tidak pernah mengalami kekalahan beruntun di liga dalam lima musim terakhir. Adapun dalam rentetan buruk itu, mereka tidak diperkuat gelandang jangkar Rodri yang sedang menjalani sanksi akibat kartu merah. Pada laga ini, gelandang 18 tahun Rico Lewis ditunjuk sebagai pengganti Rodri.
Sejak 2019, persentase kekalahan City hanya 13,2 persen ketika Rodri tampil. Saat dia absen, angka tersebut naik hampir tiga kali lipat (37,5 persen). ”Kami tidak bisa melawan statistik itu. Rodri adalah pemain penting untuk tim ini. Saat ini, kami hanya bisa menatap ke depan,” jelas Guardiola. (AP/REUTERS)